Minggu, 19 April 2020

Nadzar.

Nadzar. 

Nadzar secara bahasa adalah janji secara mutlak baik berupa perbuatan baik atau buruk. Sedangkan menurut syara’ adalah mewajibkan diri untuk melaksanakan suatu qurbah (ibadah) yang bukan fardhu ‘ain dengan sighat tertentu. Nadzar hanya berlaku pada ibadah sunnah (seperti shalat/puasa sunnah) atau fardhu kifayah (seperti shalat jenazah, jihad fi sabilillah, dll), sehingga tidak sah Nadzar pada ibadah fardhu ‘ain (seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, dll) atau yang bukan ibadah, baik pekerjaan mubah (seperti makan, tidur,dll), makruh (seperti puasa dahr bagi orang yang khawatir sakit) ataupun haram (seperti minum khomr, berjudi, dll).

Dalil yang Menunjukkan Terlarangnya Memulai Bernadzar.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernadzar, beliau bersabda: ‘Nadzar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

“Janganlah bernadzar. Karena Nadzar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)

Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ

“Sungguh Nadzar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil Nadzar itulah yang Allah takdirkan. Nadzar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernadzar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan. ” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Nadzar itu terlarang. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang memakruhkan bernadzar. Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan Nadzar, maka Nadzar tersebut tetap wajib ditunaikan.

Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nadzar.

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan Nadzar-Nadzar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)
Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu Nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270)

Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menunaikan Nadzarnya,

إِنَّ الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan Nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

“Barangsiapa yang bernadzar untuk taat pada Allah, maka penuhilah Nadzar tersebut. Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)

Dari ‘Imron bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

خَيْرُكُمْ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ – قَالَ عِمْرَانُ لاَ أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ – ثُمَّ يَجِىءُ قَوْمٌ يَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، …

“Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron berkata, ‘Aku tidak mengetahui penyebutan generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali’-. Kemudian datanglah suatu kaum yang bernadzar lalu mereka tidak menunaikannya, …. ” (HR. Bukhari no. 2651).

Hadits ini menunjukkan berdosanya orang yang tidak menunaikan Nadzar.

Dari ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah –seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa hukum Nadzar adalah sunnah.

Kompromi Pendapat.

Jika kita melihat dua pendapat di atas, yang satu mengatakan makruh dan yang lainnya sunnah. Pendapat jumhur (mayoritas ulama) juga ada sedikit problema. Padahal kita ketahui bersama ada kaedah, wasilah (perantara) kepada ketaatan, maka bernilai ketaatan dan wasilah pada maksiat, maka bernilai maksiat. Lalu kenapa berniat Nadzar bisa jadi makruh, padahal penunaiannya wajib?!

Cara kompromi yang lebih baik sehingga tidak muncul problema seperti di atas adalah kita katakan bahwa Nadzar itu ada dua macam:

Pertama, Nadzar mu’allaq untuk memperoleh manfaat. Maksud Nadzar ini adalah dengan bersyarat, yaitu jika permintaannya terkabul, barulah ia akan melakukan ketaatan. Contohnya, seseorang yang bernadzar, “Jika Allah menyembuhkan saya dari penyakit ini, maka saya akan bersedekah sebesar Rp.2.000.000.”

Kedua, Nadzar muthlaq, artinya tidak menyebutkan syarat. Contohnya, seseorang yang bernadzar, “Aku ikhlas pada Allah mewajibkan diriku bersedekah untuk masjid sebesar Rp.2.000.000”.

Kita katakan bahwa hadits-hadits yang menjelaskan larangan untuk bernadzar dimaksudkan untuk Nadzar macam yang pertama. Karena Nadzar macam pertama sebenarnya dilakukan tidak ikhlas pada Allah, tujuannya hanyalah agar orang yang bernadzar mendapatkan manfaat. Orang yang bernadzar dengan macam yang pertama hanyalah mau bersedekah ketika penyakitnya sembuh. Jika tidak sembuh, ia tidak bersedekah. Itulah mengapa dalam hadits disebut orang yang pelit (bakhil).

Perlu juga diketahui bahwa kenapa dilarang untuk bernadzar sebagaimana disebut dalam hadits-hadits larangan? Jawabnya, agar jangan disangka bahwa tujuan Nadzar itu pasti terwujud ketika seseorang bernadzar atau jangan disangka bahwa Allah pasti akan penuhi maksud Nadzar karena Nadzar taat yang dilakukan. Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa Nadzar sama sekali tidak menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,

النَّذْرُ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

“Nadzar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh Nadzar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1639)

Jadi larangan yang dimaksudkan dalam hadits-hadits yang melarang Nadzar adalah larangan irsyad (alias: makruh) untuk memberi petunjuk bahwa ada cara yang lebih afdhol, yaitu sedekah dan amalan ketaatan bisa dilakukan tanpa mesti mewajibkan diri dengan bernadzar. Atau kita bisa bernadzar dengan Nadzar yang tanpa syarat seperti kita katakan ketika penyakit kita sembuh, “Aku ingin bernadzar dengan mewajibkan diriku untuk berpuasa.” Di sini tidak disebutkan syarat, namun dilakukan hanya dalam rangka bersyukur pada Allah.

Syarat sah Nadzar.

Syarat-syarat nadzir (orang yang Nadzar) :
– Beragama Islam.
– Atas kehendak sendiri (bukan terpaksa).
– Orang yang sah tasharrufnya (baligh dan berakal).
– Memungkinkan untuk melaksanakan Nadzarnya.

Maka tidak sah Nadzar kafir (kerana kafir tidak sah berbuat kebajikan), anak kecil, orang gila, dalam keadaan dipaksa, melakukan perkara yang tidak memungkinkan untuk melaksanakannya seperti Nadzar puasa bagi orang yang sakit parah dan Nadzar orang kafir (khusus Nadzar tabarrur).

Syarat Ucapan yang diguna untuk bernadzar.

- Disyaratkan pada ucapan Nadzar hendaklah lafas yang memberi tahu melazimka (mewajibkan) sesuatu, seperti berkata seorang yang bernadzar “bagi Allah wajib atas ku puasa”. Puasa di sini sebagai contoh boleh dimasukkan yang lain.

- Tidak sah Nadzar dengan diniat didalam hati, kerana Nadzar termasuk dalam akad maka syaratnya mesti berlafas.

Macam Nadzar dan Hukumnya.

Nadzar dilihat dari hal yang diNadzari (al mandzur) dibagi menjadi dua macam:

Pertama, Nadzar taat.

Seperti seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji sunnah) atau melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernadzar untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).
Adapun jika seseorang bernadzar untuk melakukan shalat lima waktu atau melakukan puasa Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap Nadzar karena hal tersebut sudah wajib. Hal yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat Nadzar.

Hukum penunaian Nadzar taat.

Hukum penunaiannya adalah wajib, baik Nadzar tersebut Nadzar mu’allaq atau Nadzar muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya adalah,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa yang bernadzar untuk taat pada Allah, maka penuhilah Nadzar tersebut.” (HR. Bukhari no. 6696)

Dalil lainnya, dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,

أَنَّ عُمَرَ – رضى الله عنه – نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ – قَالَ أُرَاهُ قَالَ – لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوْفِ بِنَذْرِكَ »

“Dahulu di masa jahiliyah, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bernadzar untuk beri’tikaf di masjidil haram –yaitu i’tikaf pada suatu malam-, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, ‘Tunaikanlah Nadzarmu’.” (HR. Bukhari no. 2043 dan Muslim no. 1656)

Jika Nadzar tidak mampu ditunaikan.

Jika Nadzar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika Nadzar yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernadzar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika Nadzar seperti ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?

Barangsiapa yang bernadzar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka Nadzar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah.

Kafaroh sumpah adalah:
Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau
Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
Memerdekakan satu orang budak.

Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari.

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al Maidah : 89)

Kedua, Nadzar yang bukan bentuk taat.

Nadzar jenis kedua ini dibagi menjadi dua macam: (1) Nadzar mubah, (2) Nadzar maksiat.

(1) Nadzar mubah.

Seperti seseorang bernadzar, “Jika lulus ujian, saya akan berenang selama lima jam.” Nadzar seperti ini bukanlah Nadzar taat, namun Nadzar mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah Nadzar.

(2) Nadzar maksiat.

Seperti seseorang bernadzar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman mabuk-mabukan.” Nadzar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits,

وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ

“Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)

Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits,

النذر نذران : فما كان لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة يمين

“Nadzar itu ada dua macam. Jika Nadzarnya adalah Nadzar taat, maka wajib ditunaikan. Jika Nadzarnya adalah Nadzar maksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah.” (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi)

Wallahu a’lam bishowwab.

Referensi dari berbagai macam sumber.

Website : http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Instagram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi   
Telegram : @habibshulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Facebook : https://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.

Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس


Tidak ada komentar:

Posting Komentar