Zhihar.
Zhihar (Ejaan lain: zhihar, dzihar, dhihar; Arab, الظهار) adalah suami menyerupakan istri dengan perempuan mahram dinikah baik mahram karena nasab seperti ibu, saudara perempuan kandaung, bibi; atau mahram karena perkawinan seperti ibunya istri; atau mahram karena sesusuan (radha'ah). Hukum zihar adalah haram dan pelaku zihar harus membayar kafarat atau tebusan agar dia kembali dapat melakukan hubungan intim dengan istrinya. Dari segi pengucapan (sighat) zihar ada dua macam yaitu zihar sharih (jelas/eksplisit) dan dhihar kinayah (kiasan / implisit). Sebagaimana talak, zihar sharih tidak memerlukan niat. Sedang zihar kinayah memerlukan niat. Perkataan suami pada istri: "Engkau haram bagiku" bisa disebut zihar kinayah kalau diniati zihar. Bisa berarti talak kalau diniati talak.
ZIHAR (DHIHAR) ERA ARAB JAHILIYAH.
Dhihar atau zihar dalam pengertian bahasa adalah suami berkata pada istrinya: Kamu seperti punggung ibuku (أنت علي كظهر أمي). Kata dhihar (zihar) berasal dari kata dhahr atau zahr (Arab, الظهر) karena menyerupakan wanita dengan sesuatu yang dinaiki pada punggungnya. Karena suami menaikinya ketika hubungan intim. Walaupun saat menaiki pada perutnya bukan pada punggung. Perkataan ini pada zaman Arab pra Islam (Jahiliyah) memiliki akibat hukum yang serius yaitu suami dan pria lain haram berhubungan intim dengan istrinya selamanya.
Zihar pada masa Jahiliyah dipakai suami untuk mengharamkan menjimak (hubungan intim) istrinya. Hukumnya adalah haramnya hubungan badan selamanya baik antara perempuan itu dengan suaminya dan dengan pria lain.
ZIHAR (DHIHAR) MASA ISLAM.
Setelah Islam datang, praktik zihar tidak dihapus total hanya saja ada beberapa perubahan. Islam menjadikan zihar sebagai hukum akhirat dan hukum duniawi sekaligus. Yang dimaksud dengan hukum akhirat adalah bahwa melakukan zihar adalah haram dan pelakunya berdosa. Sedangkan hukum duniawi adalah bahwa haram hukumnya melakukan hubungan intim dengan istri yang di-zihar kecuali setelah mengeluarkan tebusan (kafarat) sebagai pembelajaran bagi suami.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim, terutama bagi mereka yang sudah berumah tangga, untuk memahami apa itu zihar dan akibat hukum yang terkait dengannya. Karena, tidak pantas menurut perspektif syariah seorang suami berkata pada istrinya: "Kamu bagiku seperti punggung ibuku" atau "Kamu bagiku seperti ibuku" atau "Kamu bagiku seperti saudara perempuanku" atau "Kamu bagiku seperti bibiku", dll. Karena kata-kata ini hukumnya haram dan berakibat adanya sanksi duniawi berupa kafarat yang relatif berat.
DALIL ZIHAR (DHIHAR)
Allah membahas masalah zihar dan hukumnya dalam beberapa ayat berikut:
- Haramnya Zihar (Dhihar) QS. Al-Mujadalah 58 : 2.
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَائِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَراً مِّنَ الْقَوْلِ وَزُوراً وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
- Kafarat (tebusan) bagi pelaku Zihar (dhihar) QS Al-Mujadalah 58 : 3.
والذين يظاهرون منكم من نسائهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا
Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
- Dalil hadits sebab disyariatkannya zihar adalah peristiwa Khaulah binti Tsa'labah yang di-zihar oleh suaminya yang bernama Aus bin Shamit.
DEFINISI ZIHAR DALAM ISTILAH ULAMA FIKIH.
Zihar (dhihar) menurut ulama madzhab Syafi'i adalah suami menyerupakan istrinya dengan wanita mahram dalam segi haramnya dinikah.
Sedangkan menurut ulama madzhab Hanbali Zihar (dhihar) adalah suami menyerupakan istrinya dengan wanita lain yang haram baginya selamanya atau sementara, atau suami menyerupakan istrinya dengan salah satu anggota tubuh dari wanita yang mahram dengan suami baik mahram selamanya atau mahram sementara atau diserupakan dengan anggota tubuh yang selain punggung atau suami menyerupakan istrinya atau anggota tubuh istrinya dengan seorang laki-laki atau anggota tubuh laki-laki sama saja laki-laki itu kerabatnya suami atau orang lain.
SYARAT DAN RUKUN ZIHAR (DHIHAR).
SYARAT ZIHAR (DHIHAR).
Syarat dan rukun zihar (dhihar) menurut ulama madzhab Syafi'i adalah sebagai berikut:
Syarat muzahir (mudhahir) atau pelaku zihar adalah : (a) suami, (b) berakal sehat alias tidak gila; (c) kehendak sendiri alias tidak terpaksa.
Syarat muzahar (mudhahar) minha atau perempuan yang di-zihar adalah: istri.
Syarat musyabbah bih (sosok yang dijadikan penyerupaan) ada tiga yaitu:
(a) Harus perempuan. Apabila yang dijadikan penyerupaan itu laki-laki baik kerabat dekat atau jauh maka itu tidak sah alias sia-sia karena mereka bukan tempat untuk istimta'
(b) Harus perempuan mahram yang tidak halal dinikah karena nasab seperti ibu, anak permepuan, atau karena sesusuan (radha'ah) seperti ibu susuan atau yang menyusui ayahnya; atau karena kemertuaan seperti ibu istrinya atau istrinya.
(c) Wanita itu tidak halal sebelumnya. Seperti perempuan yang dinikah oleh ayahnya sebelum atau bersamaan dengan kelahirannya. Adapun wanita yang dinikah ayahnya setelah lahirnya dia maka wanita itu halal baginya sebelum dinikah oleh ayahnya. Contoh lain, istri dari anaknya. Maka ia halal baginya sebelum dinikah oleh anaknya.
Syarat sighat (lafaz) adalah harus berupa kata atau kalimat yang mengandung arti zihar (dhihar).
Sighat (lafaz) Zihar ada dua macam :
(a) Zihar sharih (ekplisit / jelas) yaitu kalimat yang sudah umum diketahui dipakai untuk arti zihar (dhihar) seperti "Kamu bagiku bagikan punggung ibuku" atau "Kepalamu bagiku seperti punggung ibuku" atau "... seperti tangan ibuku"
(b) Zihar kinayah (implisit / kiasan / implisit) yaitu kalimat yang tidak umum dipakai untuk zihar. Seperti "Engkau seperti ibuku" atau "Engkau seperti mata ibuku" dan kalimat lain yang bisa dipakai untuk zihar dan memuji. Zihar kinayah tidak terjadi kecuali dengan niat.
Apabila suami berkata pada istri: "Engkau haram bagiku sebagaimana haramnya ibuku" ini termasuk zihar kinayah apabila niat zihar. Dan bisa juga menjadi talak kinayah apabila niat talak.
Apabila penyerupaan itu dengan salah satu dari bagian dalam yang tidak bisa di-istimta' maka itu tidak disebut zihar (dhihar). Disyaratkan juga dalam bagian anggota tubuh tersebut tidak boleh berupa benda lebih seperti susu, mani, air ludah, dll. Kalau suami menyamakan air ludah istrinya dengan punggung istrinya maka ziharnya tidak sah. Sedangkan bagian tubuh yang bertambah maka hukumnya sah zihar dengannya seperti kuku, rambut dan gigi. Intinya, setiap sesuatu yang tampak maka sah dijadikan penyerupaan. Dan setiap bagian yang tidak tampak (batin) yang tidak bisa dinikmati (istimta') maka penyerupaan dengannya tidak disebut zihar (dhihar).
RUKUN ZIHAR (DHIHAR).
Rukun zihar ada empat yaitu (a) muzahir (pelaku zihar) yaitu sumai; (b) muzahar minha (yang dizihar) yaitu istri; (c) musyabbah bih (orang yang dijadikan penyerupaan) yaitu wanita mahram; (d) shighat atau lafal (lafaz) atau kalimat zihar.
KAFARAT ZIHAR (DHIHAR).
Zihar adalah haram dan berdosa. Perilaku ini harus dijauhi oleh suami. Bagi yang terlanjur melakukannya, maka diwajibkan membayar kafarat atau tebusan. Kafaran zihar ada tiga macam yaitu:
(a) Memerdekakan budak (hamba sahaya) kalau ada dan mampu; atau
(b) Puasa dua bulan berturut-turut tanpa putus satu hari pun kalau mampu; atau
(c) Memberi makan 60 (enampuluh) orang miskin.
Catatan :
Menurut madzhab Syafi'i seorang dianggap tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut apabila memenuhi salah satu dari empat syarat yaitu: (a) menderita sakit yang menurut dokter akan terjadi selama dua bulan atau menurut kebiasaannya, apalagi kalau sakit parah yang sulit sembuh; (b) dikuatirkan sakitnya tambah parah karena puasa; (c) mengalami kesulitan berat kalau harus puasa selama 60 hari dalam arti tidak mampu menanggungnya; (d) memiliki kelemahan tertentu seperti tidak bisa menahan diri untuk melakukan hubungan intim selama masa puasa. Apabila demikian, maka kafarat pindah ke yang ketiga yaitu memberi makan 60 orang miskin.
REFERENSI DAN BACAAN LANJUTAN.
- Imam Syafi'i dalam Al-Umm.
- Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab.
- Al-Jaziri dalam Al-fiqh alal Madzahib Al-Baah.
Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/
Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
Penulis ulang : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.
محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس
Minggu, 16 Mei 2021
Zhihar.
Senin, 19 April 2021
Lafadz Niat Puasa Mana Yang Benar, Romadhona Atau Romadhoni ?
Lafadz Niat Puasa Mana Yang Benar, Romadhona Atau Romadhoni ?
Jawab :
Menurut gramatikal bahasa arab, lafadz رمضان adalah derivasi (musytaq) dari lafadz رمض yang berarti teramat panas, sedangkan bentuk jamaknya (plural) yaitu رمضانات و ارمضاء, artinya boleh dijamak muannas salimkan atau dijamak taksirkan (Ahmad Bin Muhammad Al Fayyumi dalam kitab Al Misbah)
Sedangkan menurut Sulaiman Bin As Suwaifi dalam kitab Tuhfatul Habib menjelaskan bahwa lafadzرمضان musytaq dari lafadz الرمض yang berarti membakar, tentu yang dikehendaki dalam konteksnya adalah membakar dosa.
Kalau kita mengupas lafadz رمضان dari sisi nahwunya kata ROMADHON termasuk Isim Ghairu Munshorif (karena isim alam dan tambahan alif dan nun), yang apabila dalam kondisi i’rob Jer maka alamatnya menggunakan FATHAH menjadi (ROMADHONA), namun apabila isim tersebut disandarkan kepada lafadz setelahnya (diidlofahkan) atau kemasukan Alif-Lam (AL) maka tanda i’rob Jernya menggunakan KASROH menjadi ROMADHONI (NI) bukan (NA).
Imam Ibnu Malik di dalam bait alfiyahnya berkata
وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ * مَا لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ أَلْ رَدِف
Dan dijerkan dengan FATHAH terhadap isim yang tidak menerima tanwin (Isin Ghairu Munshorif), selama tidak dimudhofkan atau berada setelah AL yang mengiringinya.
Jadi redaksi niat puasa Romadhon yang benar adalah sebagai berikut :
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّه تَعَالَى
NAWAITU ShOUMA GhODIN ‘AN ADAA-I FARDhI SyAHRI ROMADhOONI HADzIHIS SANATI LILLAAHI TA’ALA.
Yang kalau diterjemahkan adalah : aku niat puasa besok untuk melaksanakan kewajiban bulan Romadhon dari tahun ini, karena Allah ta’ala.
Nah, dalam redaksi niat di atas, apabila lafadz Romadlon dibaca Fathah (ROMADHONA) bukan (Ni) dengan tidak mengidlofahkan kepada lafadz setelahnya yaitu lafadz (HADZIHIS SANATI) maka lafadz (HADZIHIS SANATI) secara ilmu nahwu (gramatika bahasa arab) seharusnya menjadi Zhorof, yang harus dibaca HADZIHIS SANATA (TA) bukan (TI), karena status i’robnya adalah Nashob, sehingga redaksi niatnya menjadi sebagai berikut :
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ لِلّه تَعَالَى
NAWAITU ShOUMA GhODIN ‘AN ADAA-I FARDhI SyAHRI ROMADhOONA HADzIHIS SANATA LILLAAHI TA’ALA.
Maka jika redaksinya sebagaimana di atas ini, secara bahasa arab terjadi perubahan makna, menjadi sebagai berikut :
Aku niat puasa besok, untuk melaksanakan kewajiban bulan Romadhon, selama setahun ini.
Kenapa begitu ?
Karena lafadz HADZIHIS SANATA status sebagai Zhorof yang menunjukkan waktu dilaksanakannya suatu pekerjaan yang dalam hal ini pekerjaannya adalah niat atau puasa, padahal niat hanya membutuhkan waktu beberapa detik, demikian halnya puasa hanya butuh beberapa jam tidak sampai satu tahun.
Sehingga apa bila niat puasa menggunakan redaksi sebagaimana di atas ROMADHONA (NA) dan HADZIHIS SANATA (TA), maka redaksi yang salah.
Oleh karena itulah redaksi niat yang benar adalah sebagaimana yang pertama di atas yaitu :
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّه تَعَالَى
NAWAITU ShOUMA GhODIN ‘AN ADAA-I FARDhI SyAHRI ROMADhOONI HADzIHIS SANATI LILLAAHI TA’ALA.
Di dalam Kitab I’anatu at-Tholibin, juz 2/253, dijelaskan sebagai berikut :
يُقْرَأُ رَمَضَانِ بِالْجَرِّ بِالْكَسْرَةِ لِكَوْنِهِ مُضَافًا إِلَى مَا بَعْدَهُ وَهُوَ إِسْمُ اْلإِشَارَة
Romadhoni (ni) dibaca jer dengan KASROH karena statusnya menjadi Mudhof kepada kalimat setelahnya yaitu isim isyaroh.
Kitab I’anah Thalibin.
خبر عن أكملها: أي أكملها هذا اللفظ. (قوله: صوم غد) هو الـيوم الذي يـلـي اللـيـلة التـي نوى فـيها. (قوله: عن أداء فرض رمضان) قال فـي النهاية: يغنـي عن ذكر الأداء أن يقول عن هذا الرمضان. اهــــ. (قوله: بـالـجرّ لإِضافته لـما بعده) أي يقرأ رمضان بـالـجرّ بـالكسرة، لكونه مضافاً إلـى ما بعده، وهو اسم الإِشارة. قال فـي التـحفة: واحتـيج لإِضافة رمضان إلـى ما بعده لأن قطعه عنها يصير هذه السنة مـحتـملاً لكونه ظرفاً لنويت، فلا يبقـى له معنى، فتأمله، فإنه مـما يخفـى. اهــــ. ووجهه: أن النـية زمنها يسير، فلا معنى لـجعل هذه السنة ظرفاً لها. (قوله: هذه السنة) .(إن قلت) : إن ذكر الأداء يغنـي عنه. (قلت) لا يغنـي، لأن الأداء يطلق علـى مطلق الفعل، فـيصدق بصوم غير هذه السنة. وعبـارة النهاية: واحتـيج لذكره ــــ أي الأداء ــــ مع هذه السنة، وإن اتـحد مـحترزهما، إذ فرض غير هذه السنة لا يكون إلا قضاء، لأن لفظ الأداء يطلق ويراد به الفعل. اهــــ.وفـي البرماوي: ويسن أن يزيد: إيـماناً واحتساباً لوجه الله الكريـم عزّ وجلّ. اهــــ.
ROMADHONI dibaca jer dengan tanda kasroh, karena dimudhofkan pada lafadz setelahnya yaitu isim isyaroh (HADZIHI).
Keterangan :
Isim ghoiru munsharif itu tidak ditanwin dan tidak dikasroh karena punya illat yang menyebabkan sifat keisimannya lemah, lebih cenderung mirip fi’il. Namun ketika dimudhofkan maka sifat keisimannya menjadi kuat, sehingga tanda jer nya kembali memakai kasroh.-
Dalam Kitab Kasyifatussaja hlm 7, dijelaskan bahwa secara redaksi ada juga pendapat sebagian kecil ulama’ yang mengatakan bahwa kalau lafadz Romadhon dibaca kasroh (ROMADHONI) maka lafadz hadzihis sanah juga dibaca kasroh (HADZIHIS SANATI), jika di baca fathah (ROMADHONA) maka lafad setelah juga dibaca fathah (HADZIHIS SANATA), setatusnya tidak sebagai Zhorof tapi dibaca Nashob karena terjadi Qot’u atau pemutusan dari lafadz sebelumnya, dan menurut pendapat ini jika lafadz ROMADHON di idhofahkan kepada lafadz setelahnya itu sangat menjanggalkan karena ‘ALAM tidak bisa diidhofahkan.
(تنبـيه) (قَوْلُهُ : بِإِضَافَةِ رَمَضَانَ) أَيْ لِمَا بَعْدَهُ فَنُونُهُ مَكْسُورَةٌ ؛ لِأَنَّهُ مَخْفُوضٌ وَإِنَّمَا اُحْتِيجَ لِإِضَافَتِهِ إلَى مَا بَعْدَهُ ؛ لِأَنَّ قَطْعَهُ عَنْهَا يُصَيِّرُ هَذِهِ السَّنَةَ مُحْتَمَلًا لِكَوْنِهِ ظَرْفًا لِقَوْلِهِ : أَنْ يَنْوِيَ وَلَا مَعْنَى لَهُ ؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ زَمَنُهَا يَسِيرٌ ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : إنْ جَرَرْت رَمَضَانَ بِالْكَسْرِ جَرَرْت السَّنَةَ وَإِنْ جَرَرْته بِالْفَتْحِ نَصَبْت السَّنَةَ وَحِينَئِذٍ فَنَصْبُهَا عَلَى الْقَطْعِ ، وَعَلَيْهِ فَفِي إضَافَةِ رَمَضَانَ إلَى مَا بَعْدَهُ نَظَرٌ ؛ لِأَنَّ الْعَلَمَ لَا يُضَافُ فَلْيُتَأَمَّلْ ا هـ
Yang lebih salah lagi adalah redaksi niat yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu :
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّه تَعَالَى
Pada lafadz Romadhon dibaca ROMADHONA (NA) sementara pada lafadz Hadzihis sanah dibaca HADZIHIS SANATI (TI), ini secara ilmu gramatika bahasa Arab tidak ada jalurnya.
Lalu bagaimana dengan hukum puasanya jika redaksi niatnya salah ?
Puasanya tetap SAH walaupun terjadi kesalahan dalam membaca harokat di dalamnya, selama yang dikehendaki dengan HADZIHIS SANATI adalah bulan Romadhon tahun ini, karena letak niat itu di dalam hati, sebagaimana shalat Zhuhur dengan mengucapkan redaksi niat shalat Ashar akan tetapi niatnya dalam hati adalah shalat Zhuhur maka juga SAH sebagai shalat Zhuhur.
Namun apabila kita sudah tahu, maka hendaknya tidak salah dalam i’robnya dalam pengucapannya.
Sekian, semoga bermanfaat.
(Referensi dari berbagai sumber)
Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/
Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.
محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس