Senin, 19 April 2021

Lafadz Niat Puasa Mana Yang Benar, Romadhona Atau Romadhoni ?

Lafadz Niat Puasa Mana Yang Benar, Romadhona Atau Romadhoni ?

Jawab :

Menurut gramatikal bahasa arab, lafadz رمضان adalah derivasi (musytaq) dari lafadz رمض yang berarti teramat panas, sedangkan bentuk jamaknya (plural) yaitu رمضانات و ارمضاء, artinya boleh dijamak muannas salimkan atau dijamak taksirkan (Ahmad Bin Muhammad Al Fayyumi dalam kitab Al Misbah)

Sedangkan menurut Sulaiman Bin As Suwaifi dalam kitab Tuhfatul Habib menjelaskan bahwa lafadzرمضان  musytaq dari lafadz الرمض yang berarti membakar, tentu yang dikehendaki dalam konteksnya adalah membakar dosa.

Kalau kita mengupas lafadz رمضان dari sisi nahwunya kata ROMADHON termasuk Isim Ghairu Munshorif (karena isim alam dan tambahan alif dan nun), yang apabila dalam kondisi i’rob Jer maka alamatnya menggunakan FATHAH menjadi (ROMADHONA), namun apabila isim tersebut disandarkan kepada lafadz setelahnya (diidlofahkan) atau kemasukan Alif-Lam (AL) maka tanda i’rob Jernya menggunakan KASROH menjadi ROMADHONI (NI) bukan (NA).

Imam Ibnu Malik di dalam bait alfiyahnya berkata

وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ * مَا لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ أَلْ رَدِف

Dan dijerkan dengan FATHAH terhadap isim yang tidak menerima tanwin (Isin Ghairu Munshorif), selama tidak dimudhofkan atau berada setelah AL yang mengiringinya.

Jadi redaksi niat puasa Romadhon yang benar adalah sebagai berikut :

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّه تَعَالَى

NAWAITU ShOUMA GhODIN ‘AN ADAA-I FARDhI SyAHRI ROMADhOONI HADzIHIS SANATI LILLAAHI TA’ALA.

Yang kalau diterjemahkan adalah : aku niat puasa besok untuk melaksanakan kewajiban bulan Romadhon dari tahun ini, karena Allah ta’ala.

Nah, dalam redaksi niat di atas, apabila lafadz Romadlon dibaca Fathah (ROMADHONA) bukan (Ni) dengan tidak mengidlofahkan kepada lafadz setelahnya yaitu lafadz (HADZIHIS SANATI) maka lafadz (HADZIHIS SANATI) secara ilmu nahwu (gramatika bahasa arab) seharusnya menjadi Zhorof, yang harus dibaca HADZIHIS SANATA (TA) bukan (TI), karena status i’robnya adalah Nashob, sehingga redaksi niatnya menjadi sebagai berikut :

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ لِلّه تَعَالَى

NAWAITU ShOUMA GhODIN ‘AN ADAA-I FARDhI SyAHRI ROMADhOONA HADzIHIS SANATA LILLAAHI TA’ALA.

Maka jika redaksinya sebagaimana di atas ini, secara bahasa arab terjadi perubahan makna, menjadi sebagai berikut :

Aku niat puasa besok, untuk melaksanakan kewajiban bulan Romadhon, selama setahun ini.

Kenapa begitu ?

Karena lafadz HADZIHIS SANATA status sebagai Zhorof yang menunjukkan waktu dilaksanakannya suatu pekerjaan yang dalam hal ini pekerjaannya adalah niat atau puasa, padahal niat hanya membutuhkan waktu beberapa detik, demikian halnya puasa hanya butuh beberapa jam tidak sampai satu tahun.

Sehingga apa bila niat puasa menggunakan redaksi sebagaimana di atas ROMADHONA (NA) dan HADZIHIS SANATA (TA), maka redaksi yang salah.

Oleh karena itulah redaksi niat yang benar adalah sebagaimana yang pertama di atas yaitu :

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّه تَعَالَى

NAWAITU ShOUMA GhODIN ‘AN ADAA-I FARDhI SyAHRI ROMADhOONI HADzIHIS SANATI LILLAAHI TA’ALA.

Di dalam Kitab I’anatu at-Tholibin, juz 2/253, dijelaskan sebagai berikut :

يُقْرَأُ رَمَضَانِ بِالْجَرِّ بِالْكَسْرَةِ لِكَوْنِهِ مُضَافًا إِلَى مَا بَعْدَهُ وَهُوَ إِسْمُ اْلإِشَارَة

Romadhoni (ni) dibaca jer dengan KASROH karena statusnya menjadi Mudhof kepada kalimat setelahnya yaitu isim isyaroh.

Kitab I’anah Thalibin.

خبر عن أكملها: أي أكملها هذا اللفظ. (قوله: صوم غد) هو الـيوم الذي يـلـي اللـيـلة التـي نوى فـيها. (قوله: عن أداء فرض رمضان) قال فـي النهاية: يغنـي عن ذكر الأداء أن يقول عن هذا الرمضان. اهــــ. (قوله: بـالـجرّ لإِضافته لـما بعده) أي يقرأ رمضان بـالـجرّ بـالكسرة، لكونه مضافاً إلـى ما بعده، وهو اسم الإِشارة. قال فـي التـحفة: واحتـيج لإِضافة رمضان إلـى ما بعده لأن قطعه عنها يصير هذه السنة مـحتـملاً لكونه ظرفاً لنويت، فلا يبقـى له معنى، فتأمله، فإنه مـما يخفـى. اهــــ. ووجهه: أن النـية زمنها يسير، فلا معنى لـجعل هذه السنة ظرفاً لها. (قوله: هذه السنة) .(إن قلت) : إن ذكر الأداء يغنـي عنه. (قلت) لا يغنـي، لأن الأداء يطلق علـى مطلق الفعل، فـيصدق بصوم غير هذه السنة. وعبـارة النهاية: واحتـيج لذكره ــــ أي الأداء ــــ مع هذه السنة، وإن اتـحد مـحترزهما، إذ فرض غير هذه السنة لا يكون إلا قضاء، لأن لفظ الأداء يطلق ويراد به الفعل. اهــــ.وفـي البرماوي: ويسن أن يزيد: إيـماناً واحتساباً لوجه الله الكريـم عزّ وجلّ. اهــــ.

ROMADHONI dibaca jer dengan tanda kasroh, karena dimudhofkan pada lafadz setelahnya yaitu isim isyaroh (HADZIHI).

Keterangan :
Isim ghoiru munsharif itu tidak ditanwin dan tidak dikasroh karena punya illat yang menyebabkan sifat keisimannya lemah, lebih cenderung mirip fi’il. Namun ketika dimudhofkan maka sifat keisimannya menjadi kuat, sehingga tanda jer nya kembali memakai kasroh.-

Dalam Kitab Kasyifatussaja hlm 7, dijelaskan bahwa secara redaksi ada juga pendapat sebagian kecil ulama’ yang mengatakan bahwa kalau lafadz Romadhon dibaca kasroh (ROMADHONI) maka lafadz hadzihis sanah juga dibaca kasroh (HADZIHIS SANATI), jika di baca fathah (ROMADHONA) maka lafad setelah juga dibaca fathah (HADZIHIS SANATA), setatusnya tidak sebagai Zhorof tapi dibaca Nashob karena terjadi Qot’u atau pemutusan dari lafadz sebelumnya, dan menurut pendapat ini jika lafadz ROMADHON di idhofahkan kepada lafadz setelahnya itu sangat menjanggalkan karena ‘ALAM tidak bisa diidhofahkan.

(تنبـيه) (قَوْلُهُ : بِإِضَافَةِ رَمَضَانَ) أَيْ لِمَا بَعْدَهُ فَنُونُهُ مَكْسُورَةٌ ؛ لِأَنَّهُ مَخْفُوضٌ وَإِنَّمَا اُحْتِيجَ لِإِضَافَتِهِ إلَى مَا بَعْدَهُ ؛ لِأَنَّ قَطْعَهُ عَنْهَا يُصَيِّرُ هَذِهِ السَّنَةَ مُحْتَمَلًا لِكَوْنِهِ ظَرْفًا لِقَوْلِهِ : أَنْ يَنْوِيَ وَلَا مَعْنَى لَهُ ؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ زَمَنُهَا يَسِيرٌ ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : إنْ جَرَرْت رَمَضَانَ بِالْكَسْرِ جَرَرْت السَّنَةَ وَإِنْ جَرَرْته بِالْفَتْحِ نَصَبْت السَّنَةَ وَحِينَئِذٍ فَنَصْبُهَا عَلَى الْقَطْعِ ، وَعَلَيْهِ فَفِي إضَافَةِ رَمَضَانَ إلَى مَا بَعْدَهُ نَظَرٌ ؛ لِأَنَّ الْعَلَمَ لَا يُضَافُ فَلْيُتَأَمَّلْ ا هـ

Yang lebih salah lagi adalah redaksi niat yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu :

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلّه تَعَالَى

Pada lafadz Romadhon dibaca ROMADHONA (NA) sementara pada lafadz Hadzihis sanah dibaca HADZIHIS SANATI (TI), ini secara ilmu gramatika bahasa Arab tidak ada jalurnya.

Lalu bagaimana dengan hukum puasanya jika redaksi niatnya salah ?

Puasanya tetap SAH walaupun terjadi kesalahan dalam membaca harokat di dalamnya, selama yang dikehendaki dengan HADZIHIS SANATI adalah bulan Romadhon tahun ini, karena letak niat itu di dalam hati, sebagaimana shalat Zhuhur dengan mengucapkan redaksi niat shalat Ashar akan tetapi niatnya dalam hati adalah shalat Zhuhur maka juga SAH sebagai shalat Zhuhur.

Namun apabila kita sudah tahu, maka hendaknya tidak salah dalam i’robnya dalam pengucapannya.

Sekian, semoga bermanfaat.

(Referensi dari berbagai sumber)

Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/    
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/
LINE : shulfialaydrus    
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
    
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Minggu, 28 Maret 2021

Amalan Agar Rizkinya Bertambah Dan Di Berikan Kecukupan Sama Allah.

Amalan Agar Rizkinya Bertambah Dan Di Berikan Kecukupan Sama Allah.

من واظب على قراءته في كل يوم تسعا وثلاثين مرة زاد رزقه وصب عليه الخير من حيث لا يحتسب وأغناه الله عن خلقه

Barangsiapa membaca doa ini sebanyak 39x dalam setiap hari (bagusnya dibaca habis sholat Subuh atau tengah malam sehabis sholat Tahajud) maka dengan ijin Allah rizkinya bertambah, mendapatkan kebaikan yang tidak disangka-sangka dan insya Allah diberi kecukupan (tidak butuh bantuan atau pemberian makhluk), ini doanya yang dibaca sebanyak 39x :

وَصُبَّ عَليَّ الرِّزْقَ صُبَّةَ رَحْمَةٍ فَاَنْتَ رَجَا قَلْبِى الْكَسِيْرِ مِنَ الْخَبت

WA ShUBBA 'ALAYYAR RIZQO ShUBBATA ROHMATIN FA-ANTA ROJAA QOLBIL KASIIRI MINAL KhOBAT.

"(Ya Allah) Siramilah untukku dengan siraman rezeki dan siraman rahmat, dan Engkaulah harapan hati yang retak karena hancur/banyak dosa".

(Kitab Mambaul Ushulul Hikmah - Al Imam Al Hakim Abul Abbas Ahmad bin Ali Al Buniy, Bab Syarah Jaljalutiyyah Al Kubro, Hal.136, Penerbit Darul Kutub Ilmiyyah, dan Kitab Ijazah Kubro - KH. Ahmad Yasin bin Asymuniy Al Jarwaniy (Ponpes Hidayatuth Thulab), Juz 2, Hal.6, Penerbit Ponpes Hidayatuth Thulab - Kediri)

Silahkan di amalkan, Alfaqir (Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus) ijazahkan bagi siapa saja yang mau mengamalkannya, yang ijazahnya habib dapatkan kitab tersebut dari guru-guru Alfaqir, salah satunya Alm. Al Allamah Al Musnid KH. Rizqi Dzulqornain bin Asmad Al Batawiy dan Alm. Al Allamah KH. Ahmad Yasin Asmuni, yang insya Allah sanadnya bersambung melalui beliau berdua sampai ke Imam Ahmad bin Ali Al Buniy. Ajaztukum.

Adapun sanad muttashil (bersambung) sampai ke Syeikh Ahmad bin Ali Al Buniy pengarang kitab Mambaul Ushulul Hikmah sebagai berikut :

الحبيب محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس عن الحاج رزقي ذو القرنين اصمت عن العلامة كياهي الحاج عبد الرزاق امام خليل الجاوي عن العلامة المحدث حسن محمد المشاط المكي عن العلامة عبد الله بن محمد غازي الهندي المكي عن العلامة الحبيب حسين بن السيد محمد بن حسن بن عبد الله الحبشي العلوي عن الشريف محمد بن ناصر عن السيد عبد الرحمن بن سليمان بن يحيى بن عمر مقبول الاهدال عن العلامة عبد القادر بن خليل كدك زاده المدني عن العلامة محمد حياة السندي عن العلامة عبد الله بن سالم البصري عن العلامة ابي عبد الله محمد بن علاء الدين البابلي عن العلامة سالم بن محمد السنهوري عن النجم الغيطي عن الامام زكريا الانصاري عن العز عبد الرحيم بن الفرات عن التاج عبد الوهاب بن علي السبكي عن والده علي بن عبد الكافي السبكي عن الامام ابن عطاء الله السكندري عن العارف بالله ابي العباس احمد المرسي عن الامام احمد بن علي البوني المالكي رضي الله عنه

Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/  
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/  
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/   
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/ 
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/  

Donasi atau infak atau sedekah. 
Bank BRI Cab. JKT Joglo. 
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5. 
Penulis dan pemberi ijazah : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom. 

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس


Amalan Agar Menjadi Ahli Hikmah Dan Kasyaf.

Amalan Agar Menjadi Ahli Hikmah Dan Kasyaf.

من واظب على قراءته في كل يوم سبعا وأربعين مرة في الصباح ومثلها في المساء صار من أهل الحكمة والكشف

Al Imam Al Hakim Asy Syeikh Abul Abbas Ahmad bin Ali Al Buniy dalam kitabnya Mambaul Ushulul Hikmah berkata : 

Barangsiapa dengan istiqomah membaca setiap pagi hari (habis sholat Subuh) sebanyak 47x dan setiap sore hari (habis sholat Maghrib) sebanyak 47x amalan ini : 

وَصُبَّ عَلَى قَلْبِي شَآَبِيْبَ رَحْمَةٍ بِحِكْمَةِ مَوْلَانَا الْحَكِيْمِ فَأَحْكَمَتْ

WA ShUBBA 'ALAA QOLBII SyA-AABIIBA ROHMATIN BIHIKMATI MAULAANAL HAKIIMI FA-AHKAMAT.

"(Ya Allah) Siramilah atas hatiku dengan bertumbuhnya berbagai macam rahmat dengan hikmahMu (kebijaksanaanMu) Wahai Tuhan kami Yang Maha Bijaksana maka bijaksanakanlah hati aku".

Maka akan menjadi ahli hikmah dan dapat menyingkap rahasia alam ghaib (kasyaf).

(Kitab Mambaul Ushulul Hikmah - Al Imam Al Hakim Abul Abbas Ahmad bin Ali Al Buniy, Bab Syarah Jaljalutiyyah Al Kubro, Hal.116, Penerbit Darul Kutub Ilmiyyah)

Silahkan di amalkan, Alfaqir (Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus) ijazahkan bagi siapa saja yang mau mengamalkannya, yang ijazahnya habib dapatkan kitab tersebut dari guru-guru Alfaqir, salah satunya Alm. Al Allamah Al Musnid KH. Rizqi Dzulqornain bin Asmad Al Batawiy dan Alm. Al Allamah KH. Ahmad Yasin Asmuni, yang insya Allah sanadnya bersambung melalui beliau berdua sampai ke Imam Ahmad bin Ali Al Buniy. Ajaztukum.

Adapun sanad muttashil (bersambung) sampai ke Syeikh Ahmad bin Ali Al Buniy pengarang kitab Mambaul Ushulul Hikmah sebagai berikut :

الحبيب محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس عن الحاج رزقي ذو القرنين اصمت عن العلامة كياهي الحاج عبد الرزاق امام خليل الجاوي عن العلامة المحدث حسن محمد المشاط المكي عن العلامة عبد الله بن محمد غازي الهندي المكي عن العلامة الحبيب حسين بن السيد محمد بن حسن بن عبد الله الحبشي العلوي عن الشريف محمد بن ناصر عن السيد عبد الرحمن بن سليمان بن يحيى بن عمر مقبول الاهدال عن العلامة عبد القادر بن خليل كدك زاده المدني عن العلامة محمد حياة السندي عن العلامة عبد الله بن سالم البصري عن العلامة ابي عبد الله محمد بن علاء الدين البابلي عن العلامة سالم بن محمد السنهوري عن النجم الغيطي عن الامام زكريا الانصاري عن العز عبد الرحيم بن الفرات عن التاج عبد الوهاب بن علي السبكي عن والده علي بن عبد الكافي السبكي عن الامام ابن عطاء الله السكندري عن العارف بالله ابي العباس احمد المرسي عن الامام احمد بن علي البوني المالكي رضي الله عنه

Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/  
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/  
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/   
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/ 
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/  

Donasi atau infak atau sedekah. 
Bank BRI Cab. JKT Joglo. 
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5. 
Penulis dan pemberi ijazah : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom. 

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Amalan agar mendapatkan ilmu dihatinya, kedudukan tinggi, dicintai manusia dan berkah atas dirinya, harta bendanya dan pengikutnya.

Amalan agar mendapatkan ilmu dihatinya, kedudukan tinggi, dicintai manusia dan berkah atas dirinya, harta bendanya dan pengikutnya.

  علي عظيم يا عفو وعالم  * عليم فعلمني العلوم بما حوت

  من واظب على ذكر هذا البيت بعد كل صلاة ثمانية عشر مرة رزق الهيبة والقبول والعز والجاه وأحبه كل من رآه ونور الله بالعلوم قلبه وأنطق بها لسانه ونال خيرا كثيرا وبركة وسعة في نفسه وماله وأتباعه

Al Imam Al Hakim Asy Syeikh Abul Abbas Ahmad bin Ali Al Buniy dalam kitabnya Mambaul Ushulul Hikmah berkata : 

Barangsiapa menekuni / mengistiqomahkan atas dzikir bait nazhom ini : 

علي عظيم يا عفو وعالم * عليم فعلمني العلوم بما حوت

'ALIYYUN 'AZhIIMUN YAA 'AFUWWU WA 'AALIMU, 'ALIIMUN FA'ALLIMNII AL 'ULUUMA BIMAA HAWAT.

(Yaa Allah) Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung, Wahai Yang Memaafkan dan Mengetahui, Wahai Yang Maha Mengetahui, maka ajarkanlah kepadaku ilmu syariat dan haqiqat yang bermanfaat.

setiap habis sholat lima waktu sebanyak delapan belas (18) kali, Allah akan memberi kewibawaan, kemakmuran, kemuliaan, kehormatan, kecintaan setiap orang yang melihatnya, dan Allah memberikan cahaya ilmu di hatinya, dan pembicaraannya dengan cahaya ilmu dilisannya, dan memperoleh kebaikan yang banyak, dan mendapat keberkahan yang melimpah pada dirinya, hartanya dan pengikutnya. 

(Kitab Mambaul Ushulul Hikmah - Al Imam Al Hakim Asy Syeikh Abul Abbas Ahmad bin Ali Al Buniy, Halaman 224, Penerbit Darul Kutub Al Ilmiyyah)

Silahkan di amalkan, Alfaqir (Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus) ijazahkan bagi siapa saja yang mau mengamalkannya, yang ijazahnya habib dapatkan kitab tersebut dari guru-guru Alfaqir, salah satunya Alm. Al Allamah Al Musnid KH. Rizqi Dzulqornain bin Asmad Al Batawiy dan Alm. Al Allamah KH. Ahmad Yasin Asmuni, yang insya Allah sanadnya bersambung melalui beliau berdua sampai ke Imam Ahmad bin Ali Al Buniy. Ajaztukum.

Adapun sanad muttashil (bersambung) sampai ke Syeikh Ahmad bin Ali Al Buniy pengarang kitab Mambaul Ushulul Hikmah sebagai berikut :

الحبيب محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس عن الحاج رزقي ذو القرنين اصمت عن العلامة كياهي الحاج عبد الرزاق امام خليل الجاوي عن العلامة المحدث حسن محمد المشاط المكي عن العلامة عبد الله بن محمد غازي الهندي المكي عن العلامة الحبيب حسين بن السيد محمد بن حسن بن عبد الله الحبشي العلوي عن الشريف محمد بن ناصر عن السيد عبد الرحمن بن سليمان بن يحيى بن عمر مقبول الاهدال عن العلامة عبد القادر بن خليل كدك زاده المدني عن العلامة محمد حياة السندي عن العلامة عبد الله بن سالم البصري عن العلامة ابي عبد الله محمد بن علاء الدين البابلي عن العلامة سالم بن محمد السنهوري عن النجم الغيطي عن الامام زكريا الانصاري عن العز عبد الرحيم بن الفرات عن التاج عبد الوهاب بن علي السبكي عن والده علي بن عبد الكافي السبكي عن الامام ابن عطاء الله السكندري عن العارف بالله ابي العباس احمد المرسي عن الامام احمد بن علي البوني المالكي رضي الله عنه

Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/  
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/  
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/   
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/ 
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/  

Donasi atau infak atau sedekah. 
Bank BRI Cab. JKT Joglo. 
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5. 
Penulis dan pemberi ijazah : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom. 

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Senin, 28 Desember 2020

Tawasul Kirim Al Fatihah.

Bismillaahir rahmaanir rahiim 

Alfaatihah ilaa hadroti man arsalahullaahu rahmatan lil’aalamiina wa syafii’an lilmudznabiina sayyidil-anbiyaa-i wal-mursaliina wa khoiril-kholqi ajma’iina wa habiibi robbil-‘aalamiina al-mushthofaa habiibinaa wanabiyyinaa wa syafii’inaa maulaanaa sayyidinaa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam, wali’abaihil-kariimainith-thoohiriina sayyidinaa ‘abdullah ibni abdul muththolib, wa sayyidatinaa aaminah binti wahbin wa jamii’i aabaa-ihil-athhaari wa ikhwaanihi minal-anbiyaa-i wal-mursaliina wa aali kulli minhum. Wa ilaa arwaahi sayyidatinaa khodiijatal-kubroo wa sayyidinaa aliyyil-murtadhoo wa sayyidatinaa fathimataz-zahraa’i wabnaihimal-hasanaini sayyidinaal-hasani wa sayyidinaa husaini wa dzurriyyatihimaa was-sayyidati zainabi ukhtil-husaini wa sayyidinaa hamzah wal-‘abbaas, wa sayyidinaa ‘abdullah ibni ‘abbaas, wa sayyidinaa ja’far ibni abi thoolib, wa sayyidinaa ‘aqiil ibni abi thoolib, was-sayyidah ummi haani wa ummihim sayyidah fathimah binti asad, wajamii’i ahli baiti rasuulillaahi wa azwaajihi wa drurriyyatihi wa saadaatinaal-khulafaa’ir-roosyidiina abi bakrin wa ‘umara wa ‘utsmaana wa ‘aliyy, wash-shohaabati ajma’iina, wa kulli nabiyyin wa waliyyin wa shofiyyin wa habiibin wa qoriibin, allaahumma a’li darojaatihim fil-jannah wahsyurnaa fii zumrotihim wanfa’naa bibarokaatihim wa asroorihim wa anwaarihim wanafahaatihim wa ‘uluumihim wa barokaatihim fid-diini wad-dunyaa wal-aakhiroti bil-qobuuli, alfaatihah. 

Wa ilaa arwaahi sayyidinaa ‘aliy zainal-’aabidiin, wa sayyidinaa muhammad al-baaqiir, wa sayyidinaa ja’far ash-shoodiq, wa sayyidinaa ‘aliy al-‘uraidhi, wa akhiihi wa sayyidinaa muusaa al-kaazhimi wa ushuulihimaa wa furuu’ihimaa wa sayyidinaa muhammad ibni aliy al-‘uraidhi, wa sayyidinaa ‘iisaa ibni muhammad, wa sayyidinaa ahmad ibni ‘iisaa al-muhaajir, wa sayyidinaa ‘ubaidillaah ibni ahmad, wa sayyidinaa ‘alwiy ibni ubaidillaah, wa akhowaihi jadiid wa basyriy wa ushuulihim wa furuu’ihim wal-muntasibiina ilaihim, wa sayyidinaa muhammad ibni ‘alwiy, wa sayyidinaa ‘alwiy ibni muhammad ibni alwiy, wa sayyidinaa ‘aliy khooli qosam ibni ‘alwiy ibni muhammad, wa sayyidinaa muhammad shoohibi marbaath ibni ‘aliy ibni ‘alwiy’, wa sayyidinaa ‘alwiy ‘amil-faqiih ibni muhammad, wa sayyidinaa ‘aliy (abuul faqiihil muqoddam) ibni muhammad, wa sayyidinaal-faqiihil-muqoddam muhammad ibni ‘aliy baa-‘alawiy, wa aulaaduhul-khomsah saadatinaa ‘alwiy wa ‘abdullah wa ‘abdurrahmaan wa ahmad wa ummil-fuqoroo-i asy-syayyidah zainab (ummi aulaadi faqiihil muqoddam), wasy-syaikh sa’iid ibni ‘iisaa al-‘amuudiy wa ushuulihim wa furuu’ihim wal-muntasibiina ilaihim, wa saadaatiina asy-syaikh ‘abdul qodir al-jiilaaniy  wa sayyidinaa abil-hasan asy-syadziliy wa abii madyan al-maghribiy, wal-imaamil-ghazaaliy, wa sayyidinaa ahmad ar-rifaa’iy, wa sayyidinaa ahmad al-badawiy, wasy-syaikhul-imaamil-busyairiy, wa jamii’i masyaa-ikhish-shuufiyyah, wal-a’immatil-arba’ati abiy haniifah wa malik wasy-syaafi’iy wa ahmad ibni hanbal, wal-imaamil-bukhooriy wa muslim, wa jamii’i a’immatil-hadiitsi wa rijaali isnaadihim wa man fii thobaqootihim wa masyaa-ikhihim wal-akhidziina ‘anhum wal-muntasibiina ilaihim wa ushuulihim wa furuu’ihim, allaahumma a’li darojaatihim fil-jannah wanfa’naa bibarokaatihim wa nafahaatihim wa asroorihim wa anwaarihim wa ‘uluumihim wa barokaatihim wa salaamatihim fid-diini wad-dunyaa wal-aakhiroti bil-qobuuli, alfaatihah. 

Wa ilaa arwaahi sayyidinaa ‘aliy ibni ‘alwiy ibnil-faqiihil-muqoddam wa akhiihi sayyidinaa ‘abdullaah baa’alwiy, wa sayyidinaa muhammad (maulad-dawiilah) ibni ‘ali ibni ‘alwi, wa sayyidinaa ‘abdir-rahmaan as-saqoof ibni muhammad maulaad-dawiilah wa aulaadihits-tsalaatsata ‘asyaro sayyidinaa abi bakar as-sakran  wa sayyidinaa ‘umar al-muhdhor wa sayyidinaa ‘abdullah ibni ‘abdir-rahman wa ikhwaanihim, wa sayyidinaa ‘abdullah al-‘aydrus al-akbar ibni abi bakar as-sakran, wa sayyidinaa abi bakar al-‘adani ibni ‘abdullah al-‘aydrus, wa sayyidinaa ‘ali ibni abi bakar as-sakran, wa sayyidinaa abdir-rahman ibni ‘ali, wa sayyidinaa ahmad ibni abi bakar as-sakran wa ushuulihim wa furuu’ihim, wa sayyidinaa muhammad ibni hasan jamalul-lail, wa sayyidinaa muhammad ibni ‘ali khorid, wa sayyidinaa ahmad ibni ‘alwi baa jahdab, wasy-syaikh sa’din as-suwaini, wasy-syaikh ahmad balwa’aar, wasy-syaikh ‘abdir-rahman baa-jalahban, wasy-syaikh ‘umar ibni ‘abdullah baa-ghoriib, wasy-syaikh ma’ruf baa-jamaal, wasy-syaikh ‘umar baa-makhromah wa man fii thobaqootihim wa masyaa-ikhihim wal-akhodziina ‘anhum wal-muntasibiina ilaihim wa ushuulihim wa furuu’ihim, wa ilaa arwaahi sayyidinaa asy-syaikh al-fakhrul-wujud Abubakar ibni salim, wa sayyidinaa husain ibni asy-syaikh abubakar wa sayyidinaa hamid ibni asy-syaikh abubakar wa sayyidinaa ‘umar al-muhdhor ibni asy-syaikh abubakar wa ikhwaanihim wa ushuulihim wa furuu’ihim, wa saadaatinaa ahmad ibni muhammad al-habsyi, wa ‘abdur-rahman ibni muhammad al-jufriy, wa sayyidinaa yusuf ibni abid al-hasani, wa sayyidinaa thaha ibni ‘umar as-saqqaf, wa sayyidinaa ‘umar ibni sagaf as-saqqaf wa ushuulihim wa furuu’ihim, wa ilaa arwaahi sayyidinaa ‘aqil ibni salim, wal-habib ‘umar ibni abdir-rahman al-‘aththas, wal-habib salim ibni ‘umar al-‘aththas, wal-habib husain ibni ‘umar al-‘aththas wa ushuulihim wa furuu’ihim, wa ilaa ruuhi asy-syaikh ‘ali baa-ros, wa ilaa arwaahi al-habib ahmad ibni hasyim al-habsyi, wal-habib ‘iisa ibni muhammad al-habsyi, wal-habib muhammad ibni ‘alwi as-saqqaf wa ushuulihim wa furuu’ihim, wa ilaa arwaahi al-habib ‘abdullah ibni ‘alwi al-haddad, wal-habib hasan ibni ‘abdullah al-haddad, wal-habib ‘alwi ibni ‘abdullah al-haddad wa ushuulihim wa furuu’ihim, wa ilaa arwaahi al-habib abdur-rahman ibni ‘abdullah bal-faqiih, wal-habib ‘ali ibni ‘abdullah al-‘aydrus, wal-habib ahmad ibni ‘umar al-hinduwan, wal-habib ahmad ibni zain al-habsyi, wal-habib ‘umar ibni zain ibni saamith, wal-habib muhammad ibni zain ibni saamiith, wa man fii thobaqootihim wa masyaa-ikhihim wal-akhidziina ‘anhum wal-muntasibiina ilaihim wa ushuulihim wa furuu’ihim, allaahumma a’li darojaatihim fil-jannah wanfa’naa bibarokaatihim wa nafahaatihim wa asroorihim wa anwaarihim wa ‘uluumihim wa barokaatihim wa salaamatihim fid-diini wad-dunyaa wal-aakhiroti bil-qobuuli, alfaatihah. 

Tsumma ilaa arwahi ... (sebutkan wali/orang yang akan dikirimi kemudian dengan menambahi kata Wa, contoh Wasy-syaikh Hasan Al-Basri, wa sayyidinal-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali, dsb) wa ushuulihim wa furuu’ihim, allaahumma a’li darojaatihim fil-jannah wanfa’naa bibarokaatihim wa nafahaatihim wa asroorihim wa anwaarihim wa ‘uluumihim wa barokaatihim wa salaamatihim fid-diini wad-dunyaa wal-aakhiroti bil-qobuuli, alfaatihah. 


Ini nama-nama para Aulia Allah yang sering alfaqir kirimkan alfatihah sebagai wasilah dan kecintaan alfaqir kepada beliau semua.. 

Asy-Syaikh Hasan Al-Basri, Asy-Syaikh Sofyan Ats-Tsauri, Asy-Syaikh Ibrahim bin Adham, Asy-Syaikh Malik bin Dinar, Asy-Syaikh Fudhail bin Iyadh, Asy-Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Asy-Syaikh Zunnun Al-Mishri, Asy-Syaikh Sarri Al-Saqothi, Asy-Syaikh Abu Yazid Al-Busthami, Asy-Syaikh Junaid Al-Baghdadi, Asy-Syaikh Abubakar Asy-Syibli, Asy-Syaikh Ahmad Ar-Rifa'i, Asy-Syaikh Abul Hasan Asy-Syazili, Asy-Syaikh Jalaluddin Ar-Rumi, Asy-Syaikh Ahmad Al-Badawi, Asy-Syaikh Ibnu Athoillah As-Sukandari, Asy-Syaikh Bahauddin Muhammad Al-Naqsyabandi, Asy-Syaikh Ahmad bin Ali Al-Buny, Sayyidinal-Imam Quthbil-Robbani Asy-Syaikh Muhyiddin Abdul Qodir Al-Jaelani, Asy-Syaikh Muhammad Saman Al-Madani,  Asy-Syaikh Muhammad Taqiyudin Ad-Dimasqi Al-Hanbali,Asy-Sayikh Al-Imam Bushairy, Asy-Syaikh Ma'ruf Ba-Jamal, Asy-Syaikh Umar Ba-Makhromah, Al-Imam Al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasyqi,Al-Imam As-Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli Al-Maghrobi,Asy-Syaikh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani,Rabi'ah binti Ismail Al-Adawiyah, Sayyidinal-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali, Sayyidinal-Habib Maula Aidit bin Ali Shohibul Hauthoh, Sayyidinal-Habib Abdullah Ba-Faqih bin Muhammad Maula Aidit, Asy-Syaikh Kuro Karawang,Asy-Syaikh Mbah Kuwu Sangkan atau Pangeran Cakra Buana Cirebon, Asy-Syaikh Datul Kahfi Pasambangan Cirebon, Sunan Drajat (Syarifuddin), Sunan Kudus (Ja'far Shodiq), Sunan Muria (Umar Said), Sunan Giri (Ainul Yaqin), Sunan Ampel (Rahmatullah), Sunan Bonang (Makdum Ibrahim), Sunan Kalijaga (Abdusy-Syahid), Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sayyidinal-Sulthanul-Malaa'i Wa Imaamul-Auliaa'i Wa Ghautsul-Akaabiri Syamsusy-Syamuusi Wa Muhyin-Nufuusi Al-Habib Abdullah bin Abubakar Al-Aydrus Al-Akbar, Sayyidinal-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsy Sohibul Maulid Simthud-Durror, Sayyidinal-Habib Salim bin Abdurrahman Bin Syaikh Abubakar Inad, Sayyidinal-Habib Yusuf bin Ali Al-Anggawi Al-Hasani Telangu Sumenep, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Ali Al-Uraidhi Keramat Panjang Tangerang,Sayyidinal-Imam Al-Habib Husin bin Abubakar Al-Aydrus Sohibul Luar Batang wa H.Abdulqodir,Sayyidinal-Habib Ali bin Abdurrahman Ba-Alwi Kampung Bandan,Sayyidinal-Habib Muhammad bin Umar Al-Qudsi Kampung Bandan, Sayyidinal-Habib Alwi bin Abdurrahman Asy-Syatiri Kampung Bandan, Sayyidinal-Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad Tanjung Priuk, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Ali Al-Khirid, Sayyidinal-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Aidit, Sayyidinal-Habib Umar bin Segaf As-Segaf, Sayyidinal-Habib Thohir bin Umar Al-Haddad, Sayyidinal-Habib Thohir bin Husin Bin Thohir, Sayyidinal-Habib Hamid bin Umar Al-Hamid, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Ibrohim Bil-Faqih, Sayyidinal-Habib Idrus bin Umar Al-Habsy Gurfah,Sayyidinal-Habib Husin bin Muhammad Al-Habsy, Sayyidinal-Habib Abdulbari bin Syeck Al-Aydrus, Sayyidinal-Habib Abdurrahman bin Musthofa Al-Aydrus, Sayyidinal-Habib Husin bin Umar Bin Sahal, Sayyidinal-Habib Fadhil bin Alwi Bin Sahal Mauladdawilah, Sayyidinal-Habib Ali bin Hasan Al-Attas, Sayyidinal-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas Huroidhoh, Sayyidinal-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Attas Maula Amed, Sayyidinal-Habib Abubakar bin Abdullah Al-Attas, Sayyidinal-Habib Ja’far bin Muhammad Al-Attas, Sayyidinal-Habib Harun bin Hud Al-Attas, Sayyidinal-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Umar Bin Yahya, As-Sayyid Ahmad bin Zain Dahlan, Sayyidinal-Habib Ahmad bin Mukhsin Al-Haddar Inad, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Hadi As-Seggaf, Sayyidinal-Habib Ahmad bin Abdullah As-Seggaf, Sayyidinal-Habib Alwi bin Segaf Al-Jufriy, Sayyidinal-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Kaff, Sayyidinal-Habib Hasan bin Ahmad Baharun Bangil, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad Bangil, Sayyidinal-Habib Abdulqodir bin Alwi As-Seggaf Tuban, Sayyidinal-Habib Ja’far bin Syaikhan As-Seggaf Pasuruan, Sayyidinal-Habib Alwi bin Segaf As-Seggaf Pasuruan, Sayyidinal-Habib Husin Al-Qodri Pontianak, Sayyidinal-Habib Umar bin Ali Bin Syaikh Abubakar Cirebon, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Ali Bin Shihab Tarim, Sayyidinal-Habib Alwi bin Abdillah Bin Shihab Tarim, Sayyidinal-Habib Idrus bin Husin Al-Aydrus Palembang, Sayyidinal-Habib Utsman bin Abdullah Bin Yahya Mufti Betawi, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas Empang Bogor, Sayyidinal-Habib Musthofa bin Ahmad Al-Muhdor,Sayyidinal-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdor, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor Bondowoso, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsy Ampel,Sayyidinal-Habib Abubakar bin Muhammad As-Saqqof Gersik, Sayyidinal-Habib Sholeh bin Mukhsin Al-Hamid Tanggul, Sayyidinal-Habib Husin bin Hadi Al-Hamid Sembrani, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Husin Al-Aydrus Surabaya (Habib Neon), Sayyidinal-Habib Idrus bin Salim Al-Jufriy Sohibul-Ma'had Palu, Sayyidinal-Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsy Cikini Jakarta,Sayyidinal-Habib Ali bin Husin Al-Attas Bungur, Sayyidinal-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsy Kwitang, Sayyidinal-Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan, Sayyidinal-Habib Umar bin Muhammad bin Hud Al-Attas Cipayung, Sayyidinal-Habib Zein bin Abdullah Al-Aydrus AlHawi, Sayyidinal-Habib Abdulqodir bin Ahmad Bal-Faqih Malang, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Abdulqodir Bal-Faqih Malang, Sayyidinal-Habib Ahmad bin Ali Ba-Faqih Tempel Yogyakarta, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Thalib Al-Attas Pekalongan, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Husin Bin Thohir, Sayyidinal-Habib Hasan bin Abdurrahman Al-Musawa Semarang, Sayyidinal-Habib Alwi bin Tohir Al-Haddad Johor Malaysia, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Attas Krasak Bekasi, Sayyidinal-Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad Bogor, Sayyidinal-Habib Syekh bin Salim Al-Attas Cisaat Sukabumi, Sayyidinal-Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad Kalibata (Habib Kuncung), Sayyidinal-Habib Salim bin Thaha Al-Haddad Pasar Minggu, Sayyidinal-Habib Husin bin Muhammad Al-Haddad Tegal, Sayyidinal-Habib Hadi bin Abdullah Al-Haddar Banyuwangi, Sayyidinal-Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsy Solo, Sayyidinal-Habib Muhammad Anis bin Alwi Al-Habsy Solo, Sayyidinal-Habib Muhsin bin Ali Al-Hinduan Sumenep, Sayyidinal-Habib Nuh bin Muhammad Al-Habsy Singapura,Sayyidinal-Habib Utsman bin Muhammad Bin Yahya, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, Sayyidinal-Habib Abbas bin Abubakar Al-Aydrus Jakarta,Sayyidinal-Habib Abdulqodir bin Ahmad As-Seggaf Jeddah, Sayyidinal-Habib Husin bin Umar Bin Hud Al-Attas Jakarta, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Hadi As-Saqqof, Sayyidinal-Habib Thaha bin Hasan Bin Yahya,Sayyidinal-Habib Abubakar bin Umar Bin Yahya, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Muhammad Al-Haddad, Sayyidinal-Habib Mukhsin bin Muhammad Al-Attas, Sayyidinal-Habib Abdullah bin Salim Al-Attas, Sayyidinal-Habib Husin bin Abdullah Al-Attas Bogor, Sayyidinal-Habib Syaikh Ba-Fagih Surabaya, Sayyidinal-Habib Idrus bin Segaf Al-Jufriy Sumenep, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Ali Al-Habsy,Sayyidinal-Habib Abdullah bin Husin Syami Al-Attas, Sayyidinal-Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani Mekah, Sayyidinal-Habib Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani Mekah, Sayyidinal-Habib Novel bin Salim bin Ahmad Bin Jindan, Sayyidinal-Habib Al-Walid Abdurrahman bin Ahmad As-Saqqof Tebet, Sayyidinal-Habib Alwi bin Muhammad Al-Aydrus, Sayyidinal-Habib Agil bin Umar Al-Jufriy Qudus, Sayyidinal-Habib Ahmad bin Agil Al-Jufriy, Sayyidinal-Habib Hasan bin Agil Al-Jufriy Cimaggis Depok, Sayyidinal-Habib Ahmad bin Hasan Fad’aq Bekasi,Sayyidinal-Habib Hasan bin Abdullah Al-Aydrus, Sayyidinal-Habib Ahmad bin Hasan Al-Aydrus,Sayyidinal-Habib Abunawar bin Ahmad Al-Aydrus Joglo Jakarta Barat,Sayyidinal-Habib Abubakar bin Salim Bin Syaikh Abubakar Sumenep, Sayyidinal-Habib Abubakar Jamalullail Mangga Dua Kota, Sayyidinal-Habib Ja’far bin Ali Al-Aydrus Malaysia, Sayyidinal-Habib Syech bin Ali Al-Jufriy, Sayyidinal-Habib Segaf bin Mahdi Bin Syaikh Abubakar, Sayyidinal-Habib Hamid bin Abbas Bahasyim, Sayyidinal-Habib Alwi Jamalullail, Sayyidinal-Habib Zein Al-Jufriy Semarang, Sayyidinal-Habib Alwi Bahsin Palembang,Sayyidinal-Habib Muhammad Al-Jufriy Malang, Sayyidinal-Habib Hasan Al-Hinduan Surabaya, Sayyidinal-Habib Umar bin Muhammad Maulachela Jakarta, Sayyidinal-Habib Ahmad Hayqal bin Kholid Al-Kaff Rawabelong, Sayyidinal-Habib Umar bin Yusuf Al-Maghribi Bukit Bedugul Bali, Sayyidinal-Habib Ali bin Abu Bakar Al-Hamid Kusumba Kelungkung Bali, Sayyidinal-Habib Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi Kembar Karang Asem Bali, Sayyidinal-Habib Ali bin Zaenal Abidin Al-Aydrus Kembar Karang Asem Bali, Asy-Syaikh Sulthan Maulana Hasanudin Banten, Asy-Syaikh Sulthan Maulana Yusuf Banten, Asy-Syaikh Muhammad Sholeh bin Abdurrahman Gunung Santri Banten, Asy-Syaikh Asnawi Caringin Banten, Asy-Syaikh Mansuruddin Cikaduen Banten, Asy-Syaikh Abdul Muhyi Pemijahan Tasik,Asy-Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Banteni, Tubagus Atib bin Sultan Agung Tirtayasa Tajuk Tangerang, Kiyai Mustaqim bin Darda bin Abu Khoiruddin Fisabilillah Lengkong Tangerang,Kiyai Nur Sa’ad bin Musa Lengkong Tangerang, Asy-Syaikh Kholil bin 'Abdul Lathif Bangkalan Madura, Asy-Syaikh Junaid Al-Betawi, Asy Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjariy (Kalsel), Al Habib Salim bin Abdullah Asy Syatiriy (Yaman), Al Habib Umar bin Abdullah Al-Attas (Habib Melon Rawabelong Jakarta Barat), KH. Abdul Hamid Pasuruan, Al Habib Mundzir bin Fuad Al Musawa (Jakarta), Asy Syekh Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani Al Banjariy (Martapura, Kalsel), KH. Abdullah Syafi'ie Jakarta, KH. Al Muallim Muhammad Syafi'i Hadzami Jakarta, KH. Zainudin MZ (Jakarta), Ust. Jefri Bukhori, KH. Muhammad Arifin Ilham (Jakarta), KH. Syaifudin Amsir (Jakarta), KH. Rizqi Dzulqornain bin Asmad Al Batawiy (Jakarta),

Tsumma ilaa ruuhi..... (sebutkan nama ibu atau bapak atau saudara yang lain) wa ushuulihim wa furuu’ihim, allaahumma a’li darojaatihim fil-jannah wanfa’naa bibarokaatihim wa nafahaatihim wa asroorihim wa anwaarihim wa ‘uluumihim wa barokaatihim wa salaamatihim fid-diini wad-dunyaa wal-aakhiroti bil-qobuuli, alfaatihah. 

Tsumma ilaa arwahi jami’il anbiyai wal mursaliin, wa jami’il auliyai wa syuhadaai was sholihin wa jami’il malaikaatil mukorrobin wa khususan ilaa arwahi abaina wa ummahatina wajaddatina wa masyaikhina wa jami’il muslimiina wal muslimat wal mukminiina wal mukminaat, allaahumma a’li darojaatihim fil-jannah wanfa’naa bibarokaatihim wa nafahaatihim wa asroorihim wa anwaarihim wa ‘uluumihim wa barokaatihim wa salaamatihim fid-diini wad-dunyaa wal-aakhiroti bil-qobuuli, alfaatihah.

Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/  
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/  
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/   
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/ 
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/  

Donasi atau infak atau sedekah. 
Bank BRI Cab. JKT Joglo. 
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5. 
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom. 

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Rabu, 18 November 2020

Berpakaian panjang bagi wanita muslimah.

Pernah melihat muslimah yang berpakaian panjang hingga menyapu jalanan?

Ada yang bilang itu akan menjadi najis dan tidak sah shalatnya. Ada juga yang bilang itu sunnah.

Lantas Mana yang Benar? Berikut Penjelasanya!

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan mengenai bagian bawah pakaian, 

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا ذَكَرَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذُيُولَ النِّسَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرْخِينَ شِبْرًا قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ إِذًا يَنْكَشِفَ عَنْهَا قَالَ تُرْخِي ذِرَاعًا لَا تَزِيدُ عَلَيْهِ

Dari Ummu Salamah, bahwasanya ia pernah menanyakan tentang kain wanita kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal." Ummu Salamah berkata, "Jika begitu, maka kaki mereka akan terbuka!? Beliau menjawab: "Silahkan engkau panjangkan satu hasta dan jangan lebih." (HR. An Nasa’i No.5242 dan Abu Daud No.3590)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah bersabda: "Barangsiapa menjulurkan kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." 'Aisyah bertanya, "Lalu apa yang harus dilakukan kaum wanita dengan dzail (lebihan kain bagian bawah) mereka?" beliau menjawab: "Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal." 'Aisyah kembali menyelah, "Kalau begitu telapak kaki mereka akan terlihat!" beliau bersabda: "Mereka boleh memanjangkannya sehasta, dan jangan lebih." Abu Isa berkata, "Hadits ini derajatnya hasan shahih." (HR. At Tirmidzi No.1653)

Pada hakikatnya, Rasulullah sudah menganjurkan kepada kita untuk mengenakan pakaian muslimah yang sesuai dengan Al Qur'an dan As Sunnah.

Diperbolehkannya memanjangkan ujung kain gamis sampai batas maksimal dua jengkal.

Dari manakah ukuran sejengkal itu dihitung pada pakaian wanita?
Ukuran sejengkal tersebut dimulai dari bagian tengah betis wanita, sebagaimana dijelaskan dengan terang dalam kitab “‘Aunul Ma’bûd.”

Yakni, karena ketika Rasulullah saw. mengatakan, “sejengkal,”
Ummu Salamah r.a. masih bertanya, “Jika betisnya masih terbuka?”
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa sejengkal dari betis masih memungkinkan kain itu tersingkap dengan mudah.

Maka dari itu, Rasulullah saw. pun memberi keringanan padanya untuk memanjangkan bagian bawah pakaiannya hingga satu hasta.”

Bukankah pakaian tersebut rentan terkena najis?

Islam agama yang kamil (sempurna) dan syamil (lengkap) yang menjelaskan setiap urusan secara detail. 

Sehingga kita akan mengetahui berbagai solusi dari permasalahan yang kita hadapi dan belum kita ketahui. Ini sebagai bentuk kemudahan Islam.
عَنْ أُمِّ وَلَدٍ لِإِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهَا سَأَلَتْ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي فَأَمْشِي فِي الْمَكَانِ الْقَذِرِ فَقَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ

Dari seorang ibu putra Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
'‘Sesungguhnya aku adalah seorang perempuan yang biasa memanjangkan (ukuran) pakaianku dan (kadang-kadang) aku berjalan di tempat kotor?’. Jawab Ummu Salamah, bahwa Nabi pernah bersabda, “Tanah selanjutnya menjadi pembersihnya" (HR. Ibnu Majah No.524, Imam Malik No.41, dan At Tirmidzi, Hadits shahih).

Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa ketentuan berlaku apabila najis yang diinjak adalah najis yang kering sehingga tidak ada najis yang melekat padanya. Maksudnya, najis tidak terlihat jelas secara fisik melekat pada pakaian (tanah telah menyucikannya). 

Apabila najis yang diinjak adalah najis yang basah, maka harus tetap dibersihkan dengan air hingga bersih.

Artinya, saat muslimah sedang berjalan-jalan mengenakan gamis panjangnya. Dan menyapu jalanan sehingga sempat terkena debu atau kotoran maka yang menjadi pembersihnya adalah tanah berikutnya. 

Artinya, tidak terdapat najis pada kasus ini.

Lain halnya jika ujung pakaian terkena kotoran yang basah. Kita wajib membersihkannya.

Bagaimana Ketika Akan sholat?

Jika ujung pakaian terkena kotoran yang basah kemudian ingin dipergunakan untuk sholat.

Maka najis basah harus dibersihkan dengan air hingga bersih di bagian yang terkena najis saja. Setelah itu, boleh shalat seperti biasa.

Islam telah memberikan kemudahan yang sedemikian rupa kepada seorang wanita.

Sehingga wanita dapat berpenampilan baik di mata masyarakat, selain juga tetap menjaga kehormatan diri.

Demikian, Wallahu A'lam.

Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/  
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/  
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/   
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/ 
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/  

Donasi atau infak atau sedekah. 
Bank BRI Cab. JKT Joglo. 
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5. 
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom. 

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Minggu, 01 November 2020

Makna Kullu Menurut Para Ulama.

Makna Kullu Menurut Para Ulama.

Lafadz kullu selalu menjadi perbincangan menarik di kalangan umat Islam Indonesia bak seorang selebriti, itu lantaran penafsiran lafadz kullu dalam sebuah hadits Nabi menjadi titik krusial dalam menilai sebagian amalan-amalan umat Islam Indonesia, apakah amalan-amalan tersebut masuk kategori sesat atau tidak.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda dalam muqodimah khutbahnya:

فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، و"كل" بدعة ضلالة

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah (hal baru) adalah sesat” (HR. Muslim)

Juga dalam riwayat lain:

وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار

“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah (hal baru) adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka” (HR. An Nasa’i)

Memahami hadits butuh ilmu.
 
Untuk memahami kandungan sebuah hadits, apalagi yang berkaitan dengan hukum, seseorang tidak bisa seenaknya saja mengartikan maksud hadits dan menarik kesimpulan hukum tanpa dasar ilmu,

Ibnu Uyainah (w 198 H) berkata :

 الحديث مضلة إلاّ للفقهاء

“hadits itu menyesatkan kecuali bagi fuqoha”

Ibnu hajar al-Haitamiy (w 974 H) menjalaskan, maksud perkataan tesebut adalah, karena hadits-hadits Nabi itu seperti al-Qur’an, ada lafadz-lafadz yang umum tetapi maksudnya khusus, atau sebaliknya, ada juga lafadz-lafadz yang sudah di mansukh dan lain-lain, yang mana semua itu tidak diketahui kecuali oleh para fuqoha, adapun orang awam yang tidak mengetahui hal-hal ini, akan salah dalam memahami maksud sebuah hadits, sehingga tersesat. (Fatawa alhaditsiyah, hal. 283)

Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya, Nashihatu Ahli al-Hadits bercerita : 

Suatu ketika al-A’masy (w. 148 H) seorang muhadits, duduk bersama Imam Abu Hanifah (w. 150 H) seorang Imam ahli fiqih. Datanglah seorang laki-laki bertanya suatu hukum kepada al-A’masy. Al-‘Amasy berkata: “wahai nu’man (Imam Abu Hanifah), jawablah pertanyaan itu ” Akhirnya Imam Abu Hanifah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Al-A’masy kaget dan bertanya; “dari mana kamu dapat jawaban itu wahai Abu Hanifah?” Imam Abu Hanifah menjawab; “dari hadits yang engkau bacakan kepada kami”. Al-A’masy (w. 148 h) menimpali:

نعم نحن صيادلة وأنتم أطباء

“Benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya” (Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H), Nashihatu Ahli al-Hadits, (Maktabah al-Manar, 1408), hal. 44)

Imam Ahmad (w 241 H) berkata :

لا يستغنى صاحب الحديث من كتب الشافعى وقال: ما كان أصحاب الحديث يعرفون معانى أحاديث رسول الله ﷺ فبينها لهم

“Para ahli hadits tidak bisa terlepas dari kitab-kitab Imam Syafi’i, beliau berkata : para ahli hadits dahulu tidak paham makna-makna hadits, maka Imam Syafi’i menjelaskan maksudnya” (Tahdzib Al Asma wa Al Lughot (1/61))

Begitulah, para ulama dahulu sangat paham bagaimana menerima, menyampaikan, memahami dan mengamalkan sebuah hadits. Para periwayat hadits kadang tidak begitu paham apa maksud dari hadits yang diriwayatkannya, mereka hanya menyampaikan apa yang didengar sebagaimana adanya, ini karena mereka mengamalkan hadits Rosulullah ﷺ :

نضر الله امرأ سمع منا حديثا، فحفظه حتى يبلغه، فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه، ورب حامل فقه ليس بفقيه

“Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya kemudian dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu tidak memahaminya” (HR. Abu Daud)

Untuk memahami maksud dari sebuah hadits atau fiqh al-Hadits, kita harus bertanya kepada fuqoha (ahli fiqih), sebagaimana sudah disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy diatas. Kenapa bertanya kepada fuqoha, karena merekalah yang mampu meng-istinbath (menarik kesimpulan hukum) dari teks-teks syar’i baik itu al-Qur’an ataupun haduts Nabi.

Kembai ke lafadz “kullu”, untuk memahami lafadz kullu yang ada dalam hadits Nabi diatas kita harus merujuk kepada penjelasan para fuqoha, apa yang dikatakan mereka tentang maksud dari lafadz kullu ini.

Penjelasan ahli ilmu tentang “kullu bid’atin dlolalah”.
 
Imam Nawawi (w 676 H) berkata :

وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع

“Setiap bid’ah adalah sesat, lafadz setiap (kullu) disini adalah lafadz umum yang bermaksud khusus, yaitu maksudya sebagian besar bid’ah. (Al-Minhaj syarh shohih Muslim bin al-Hajaj (6/154))

Ibnu Hajar al-Asqolani (w 852 H) berkata :

والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام

“yang dimaksud dengan ucapan baginda Nabi ﷺ; “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang baru yang tidak punya dalil dari syari’at, baik dalil itu secara umum atau secara khusus. (Fathu Al Bari syarh shohih Al Bukhori (13/254))

Ibnu Taimiyah (w 728) berkata :

والبدع المكروهة ما لم تكن مستحبة في الشريعة. وهي أن يشرع ما لم يأذن به الله فمن جعل شيئا دينا وقربة بلا شرع من الله فهو مبتدع ضال. وهو الذي عناه النبي صلى الله عليه وسلم بقوله: كل بدعة ضلالة فالبدعة ضد الشرعة والشرعة ما أمر الله به ورسوله أمر إيجاب أو أمر استحباب وإن لم يفعل على عهده كالاجتماع في التراويح على إمام واحد وجمع القرآن في المصحف. وقتل أهل الردة والخوارج ونحو ذلك. وما لم يشرعه الله ورسوله فهو بدعة وضلالة

“Dan bid’ah yang dibenci adalah apa-apa yang tidak dianjurkan oleh syari’at, yaitu membuat syariat baru yang tidak diperintahkan Allah. Barangsiapa membuat sesuatu sebagai agama dan cara mendekatkan diri kepada Allah tanpa syariat dari Allah, maka dia seorang ahli bid’ah. Itulah bid’ah yang dimaksud dalam ucapan baginda Nabi ﷺ; “setiap bid’ah adalah sesat”. Jadi, bid’ah itu adalah lawan dari syari’at, syari’at itu adalah apa yang diperintah oleh Allah dan Rosul-Nya, baik itu perintah wajib atau anjuran, walaupun perkara itu belum pernah terjadi di masa Nabi, seperti tarawih berjama’ah, mengumpulkan al-Qur’an dalam mushaf, membunuh orang-orang murtad atau khowarij dan sebagainya. Apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya maka itu adalah bid’ah dan kesesatan” (Majmu’ Al Fatawa (23/133))

Jelas sudah dari kesimpulan penjelasan para ulama diatas, bahwa maksud dari hadits Nabi “kullu bid’atin dlolalah” adalah sebagian bid’ah; bid’ah yang sesat adalah bid’ah yang bertentangan dengan syari’at Islam dan tidak mempunyai landasan dalil, baik dalil itu sifatnya umum atau khusus, adapun bid’ah (hal baru) yang tidak bertentangan dengan syariat (karena memiliki substansi ajaran Islam) serta memiliki landasan dalil maka itu bukan bid’ah yang sesat.

Inilah kesimpulan yang dijelaskan oleh Mujtahid mutlak al-Imam Syafi’i --rodhiyallahu ‘anhu- (w 204 H) yang dinukil oleh Ibnu Hajar al-Asqolani:

البدعة بدعتان محمودة ومذمومة. فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم

“Bid’ah itu ada dua; mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela), apa yang sesuai dengan sunah adalah bid’ah terpuji sedang yang bertentangan dengan sunah adalah bid’ah tercela”

Ada juga riwayat dari imam al-Baihaqi (w 458 H):

المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال. وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة

“Perkara baru ada dua, yang pertama yang menyelisishi al-Qur’an dan sunah Nabi atau atsar sahabat atau Ijma’, maka perkara baru ini adalah bid’ah yang sesat. Yang kedua adalah perkara baru yang tidak menyelisishi hal-hal di atas, maka ini adalah bid’ah yang tidak tercela” (Fathu al-Bari syarh shohih al-Bukhori (13/253))

Mengapa para ulama bisa berkesimpulan seperti ini? Jelas karena mereka mamiliki ilmu yang luas dan perangkat untuk ber-istinbath. Dengan keluasan ilmu dan pemahaman yang dalam tentang cara menarik kesimpulan hukum inilah para ulama mampu melihat dengan jernih maksud dari teks-teks syar’i.

Lalu, Kullu itu maksudnya setiap atau sebagian ?

Mungkin ada yang bertanya, kalau makna dari kullu adalah sebagian, berarti ada sebagian kesesatan yang tidak di neraka alias di surga ? karena hadits Nabi berbunyi :”kullu dlolalatin fi an-Nar; setiap kesesatan di neraka”. Pertanyaan tersebut bisa dijawab baik secara naqli (teks syar’i), aqli (logika) ataupun bahasa.
Secara naqli, dalam memahami suatu teks syar’i baik itu al-Qur’an atau hadits Nabi, yang pertama dilakukan adalah mencari teks-teks sejenis atau yang berkaitan dengan teks yang akan dibahas tersebut.

Dalam hadits kullu bid’atin dlolalah, untuk memahami maksudnya adalah dengan mencari hadits-hadits lain yang serupa atau yang berkaitan, kemudian setelah terkumpul semua hadits yang sejenis diambil benang merahnya atau bahasa lainnya dikompromikan, istilah ini dalam ushul fiqih disebut al-jam’u wa at-taufiq.
Salah satu metode mengkompromi dalil-dalil apabila terlihat bertentangan adalah takhsis al-‘am, yaitu membawa makna hadits yang bersifat ‘am atau umum kepada hadits yang bersifat khos atau khusus. Tentang mengkhususkan dalil yang bersifat umum ini, Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata:

في الأدلة التي يخص بها العموم لا نعلم اختلافًا في جواز تخصيص العموم

“tentang dalil-dalil yang mengkhusukan dalil umum, kami tidak tau ada perselisihan ulama tentang bolehnya menkhususkan yang umum” (Roudloh an-Nadhir wa junnat al-Munadhir (2/59))

Pertanyaannya adalah; ada tidak hadits lain yang serupa dengan hadits ini? Ternyata ada, yaitu hadits Nabi yang berbunyi:
 
من سن في الإسلام سنة حسنة، فله أجرها، وأجر من عمل بها بعده، من غير أن ينقص من أجورهم شيء
 
“Barangsiapa membuat sunah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikuti perbuatan itu setelahnya tanpa dikurangi pahala mereka (yang mengikuti) sedikitpun” (HR. Muslim)
 
Sanna sendiri berarti melakukan sesuatu yang baru kemudian diikuti oleh orang lain, dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan:

وكل من ابتدأ أمرا عمل به قوم من بعده فهو الذي سنه

“setiap orang yang memulai suatu hal kemudian diikuti oleh orang lain maka dia sudah membuat sunah”. (Al-Mu’jam al-Wasith (1/455))
 
Tentu penilaian apakah perbuatan yang dia lakukan menjadi sunah yang baik atau tidak dilihat dengan kacamata syari’at.
 
Hadits lain yang serupa yaitu sabda Nabi ﷺ :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak”. (Muttafaq ‘alaihi)
 
Hadits di atas mafhumnya adalah, bahwa apabila perkara baru tidak berasal dari agama maka tertolak, tetapi apabila perkara baru tersebut ada asalnya dari agama maka tidak tertolak.
 
Hadits kullu bid’atin dlolalah adalah hadits umum, kenapa? Karena salah satu lafadz yang menunjukan keumuman adalah “kullu”, sebagaimana disebutkan para ulama ushul. (Roudloh an-Nadhir wa junnat al-Munadhir (2/13))

Sedangkan hadits “man sanna fi al-Islam” juga hadits “man ahdatsa” bersifat khusus, karena memberi informasi spesifik. Inilah yang dikatakan oleh Imam Nawawi:

هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع

“hadits ini hadits umum yang dikhususkan, maksudnya adalah sebagian bid’ah”
 
Dua hadits yang seolah bertentangan ini dikompromi dengan cara takhsis al-‘am alias mengkususkan yang umum, hasilnya adalah sebuah kesimpulan, bahwa tidak setiap hal baru (bid’ah) bersifat sesat, karena Nabi mengatakan ada hal baru yang bersifat baik.
 
Jadi, mengartikan lafadz kullu itu bukan masalah “semua” atau “sebagian”, tetapi ada tidak dalil takhsis (yang mengkhususkannya)? Apabila ada, maka maknanya sebagian, apabila tidak ada maka maknanya setiap atau semua, seperti “kullu dlolalatin fi an-nar”( setiap kesesatan akan masuk neraka), lafadz kullu disini tidak ada dalil lain untuk men-takhsisnya (mengkhsusukan maksudnya) sehingga maknanya “semua” atau “setiap”.
 
Secara aqli atau logika, apabila mengartikan kullu dalam hadits Nabi itu dengan “setiap” atau “semua” maka akan berakibat fatal, karena semua hal baru, baik bersifat keduniaan atau bersifat keagamaan, akan mendapat sifat bid’ah, dan segala sesuatu yang bid’ah akan masuk neraka. Kenapa ? karena redaksi hadits Nabi jelas mengatakan “setiap hal baru adalah bid’ah” tanpa membedakan antara masalah duniawi atau masalah agama;

وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

“Setiap hal baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”
 
Jadi, kalau mau konsisten mengartikan kullu bermakna semua dan tidak mau menerima dalil takhsis, maka mobil, HP, laptop dan semua hal baru yang belum ada di zaman Nabi adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah di Neraka. Tentunya syari’at Islam tidak bermaksud seperti itu.
 
Secara bahasa, kullu juga bisa bermakna semua juga bisa bermakna sebagian, imam al-Fairuz Abadi (w 817 M) seorang Imam ahli lughoh dalam mu’jamnya berkata:

الكل، بالضم: اسم لجميع الأجزاء، للذكر والأنثى، أو يقال: كل رجل، وكلة امرأة، وكلهن منطلق ومنطلقة، وقد جاء بمعنى بعض

“Kullu dengan kaf dhomah, adalah nama bagi semua bagian, baik bagi kata maskulin atau feminim. Ada pula yang mengatakan bagi maskulin kullu bagi feminim kullatu. (dikatakan) Kulluhunna muntholiq atau muntholiqoh. Dan kullu juga bisa bermakna sebagian”. (Mu’jam al-Muhith (1/1053))
 
Begitu juga Murtadho az-Zabidi (w 1205 H) mengatakan dalam kitabnya:
 
قال ابن الأثير: موضع كل، الإحاطة بالجميع، وقد جاء استعماله بمعنى بعض
 
“Berkata Ibnu al-Atsir (w 606 H) (Ulama Lughoh): topik dari lafadz kullu adalah makna yang mencangkup kesuluruhan, dan lafadz kullu juga digunakan untuk makna sebagian”. (Taj al-Arus (30/339))
 
Para ulama, baik ulama fiqih, ulama ushul maupun ulama lughoh (bahasa) bisa memahami bahwa kullu bisa bermakna sebagian karena mempunyai bukti dari al-Qur’an, mereka sangat memahami keluasan bahasa dan keindahan sastra dalam al-Qur’an.
 
Diantara hujah dalam al-Qur’an bahwa lafadz kullu bisa bermakna sebagian adalah ayat-ayat berikut:
 
 وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا 

“Dan di hadapan mereka ada raja yang akan merampas “setiap perahu”” (QS. Al Kahfi ayat 79)
 
Lafadz kullu dalam ayat di atas bermakna sebagian, yaitu raja hanya akan mengambil setiap perahu yang bagus saja, tidak semua perahu, karena perahu yang ditumpangi oleh Nabi Musa tidak diambil oleh raja karena sudah dirusak oleh Nabi Khidir, dan memang seperti itu fakta yang terjadi dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir”
 
 تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ 
 
“(angin) yang menghancurkan “segala sesuatu” dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (QS. Al Ahqof ayat 25)
 
Allah katakan bahwa angin yang dikirim kepada kaum ‘Ad menghancurkan segala sesuatu, padahal kenyataannya bekas-bekas bangunan mereka masih ada, tanah, pepohonan dan gunung-gunung masih ada dan tidak hancur, jelas sudah bahwa maksud kullu dalam ayat di atas adalah sebagian, bukan semua.
 
 إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ 
 
“Sungguh kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugrahi “segala sesuatu” serta memiliki singgasana yang besar”. (QS. An Naml ayat 23)
 
Dalam ayat di atas Allah menghikayatkan ucapan burung Hudhud yang mengatakan bahwa ratu Bilqis dianugrahi segala sesuatu, padahal kenyataanya tidak seperti itu, karena ratu Bilqis tidak dianugrahi kerajaan Nabi Sulaiman. Jelas bahwa lafadz kullu dalam ayat bukan bermakna “semua” tetapi sebagian.
 
Masih banyak lagi ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menjadi hujjah bahwa lafadz kullu tidak selamanya bermakna “setiap” atau “semua” atau “segala”, lafadz kullu bisa bermakna “sebagian” tergantung konteks dan ada tidaknya dalil yang mentakhsis maknanya.
 
Terakhir, penulis ingin menyampaikan, agar cara beragama kita benar, cara memahami dalil-dalil juga benar, maka kembalilah kepada manhaj para ulama, itulah jalan yang lebih selamat.

Penulis : Ustadz Galih Maulana, Lc.

Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/  
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/  
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/   
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/ 
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/  

Donasi atau infak atau sedekah. 
Bank BRI Cab. JKT Joglo. 
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5. 
Penulis ulang : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom. 

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس