Minggu, 05 April 2020

Tanya jawab seputar puasa.


Tanya jawab seputar puasa.

Berikut ini adalah kumpulan tanya jawab seputar puasa yang pernah di tanyakan kepada Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus.

Tanya : Apakah wajib berniat shaum di bulan Ramadhan setiap harinya ataukah cukup satu kali niat saja untuk sebulan penuh? Dan kapan sempurnanya hal itu ?

Jawab : Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Setiap amalan bergantung pada niat dan bagi setiap seseorang (akan mendapatkan) apa yang dia niatkan”.

Maka ini adalah dalil tentang keharusan niat dalam amalan-amalan. Dan yang jelas adalah seseorang harus berniat di setiap harinya.

Tanya : Bolehkah niat puasa Ramadhan sesudah waktu subuh?

Jawab : Tidak boleh, kecuali puasa sunnah, Niat bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan di niatkan pada waktu malam sampai sebelum subuh, dan niat pada puasa sunnah boleh diniatkan pada waktu malam hari sampai sebelum waktu dzuhur.

Tanya : Apabila seseorang bangun dari tidurnya setelah terbit fajar pada hari pertama di bulan Ramadhan kemudian dia makan, sedang dia dalam keadaan tidak mengetahui kalau hari itu adalah awal bulan Ramadhan dan diberitahukan setelahnya. Apakah ia terus berpuasa atau berbuka ?

Jawab : Ya, ia berpuasa dan tidak ada mudharat baginya karena ia mengira masih ada sisa malam kemudian dia berpuasa dan puasanya benar.

Tanya : Apakah boleh bagi seorang yang ragu akan awal masuknya bulan Ramadhan untuk berpuasa sehari sebelumnya?

Jawab : Dari kalangan Al Hanbali (pengikut-nya madzhab Ahmad bin Hanbal) ada yang berpendapat seperti itu akan tetapi yang benar adalah tidak dibolehkan puasa sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam:
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan shaum sehari sebelumnya atau dua hari sebelumnya”.

Dan dari sahabat Ammar bin Yasir
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari syakk (ragu-ragu) maka telah bermaksiat kepada Abul Qasim”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Berpuasalah kalian dengan melihat ru’yah dan berbukalah dengan melihat ru’yah. Jika tertutupi awan maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban 30 hari”.

Tanya : Apabila seseorang sedang makan sahur kemudian muadzin mengumandangkan adzan apakah wajib baginya untuk membuang/mengeluarkan apa-apa yang ada di mulutnya ataukah memakannya ?

Jawab : Adapun yang ada di mulutnya maka tidak boleh untuk mengeluarkannya akan tetapi tidak boleh memakan sesuatu apapun setelahnya kecuali air, bahwa Nabi berdasarkan hadits sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Apabila muadzin telah mengumandangkan adzan, sedangkan bejana masih dalam tangan seseorang, maka hendaklah dia mengambil keperluan darinya.”

Maka dengan hadits ini tidak mengapa seseorang untuk meminum apabila telah dikumandangkan adzan oleh muadzin dengan syarat air tersebut masih dipegang oleh tangannya.

Tanya : Apa boleh orang berpuasa keramas disiang hari ?

Jawab : Keramas bukanlah termasuk hal-hal yang membatalkan puasa, oleh karena itu, keramas ketika sedang berpuasa tidak apa-apa, alias boleh, dengan catatan air tidak masuk kedalam tubuh atau ketelan.

Tanya : Bolehkah memakai siwak dan sikat gigi/odol disiang hari ?

Jawab : Adapun memakai siwak dari batangnya maka ini tidak mengapa, walaupun warna-nya hijau. Adapun odol atau sikat gigi maka kami menasehatkan untuk meninggalkannya di bulan Ramadhan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

وبالِغُ فَي الأِستِنشاقإِلاَّ َأنْ تكُونَ صائِما

“Dan sempurnakanlah pada waktu istinsyaq kecuali dalam keadaan shaum.”

Karena sesungguhnya apabila dia dalam keadaan shaum maka ditakutkan akan mengalir atau masuk airnya ke dalam perutnya.

Tanya : Apa hukumnya memakai obat-obatan yang berupa tetes mata atau tetes telinga atau untuk hidung ?

Jawab: Saya katakan sesungguhnya keluar dari perkara ini adalah dengan cara berbuka dan sungguh dia sudah diperbolehkan untuk berbuka sesuai dengan firman Allah Ta’ala,

{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِیْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُ مِنْ أَیَّامٍ أُخَر}

“Barangsiapa yang di antara kalian dalam keadaan sakit atau bepergian, maka hendaknya diganti dengan hari-hari yang lainnya.”

Maka apabila dia terbukti sakit sedang dia membutuhkan kepada pengobatan maka kami nasehatkan supaya berbuka dan menqadha. Dan apabila telah dinyatakan oleh para dokter satu obat di siang hari di bulan Ramadhan, maka jika dia tidak berbuka tidak membatalkannya kecuali apa-apa yang sampai pada tenggorokannya. Dan kebanyakannya orang yang diobati matanya dengan obat tetes kadang-kadang mendapat-kan rasanya pada tenggorokannya, maka hendaknya untuk menjauhi akan hal ini walaupun hal tersebut tidak membatalkan puasa.

Tanya : Apa hukumnya seorang perempuan merasakan masakannya ketika ia memasak makanan dengan ujung lidahnya supaya mengetahui apa yang kurang dari bumbu-bumbu masakan tersebut ?

Jawab: Tidak mengapa tentang hal itu, insya Allah. Dan jangan sampai ada yang masuk ke tenggorokannya sesuatu apapun, karena hal tersebut dapat membatalkan puasa.

Tanya : Apakah bermimpi disiang hari sehingga mengeluarkan mani membatalkan puasa?

Jawab : Tidak membatalkan puasa, hanya saja untuk mandi mengangkat hadats besar bila ingin melakukan sholat dan perbuatan ibadah lainnya, kecuali keluar mani disiang hari dikarenakan berjimak, menonton film porno, terangsang karena melihat aurat atau menghayal jorok maka hal tersebut membatalkan puasa,

Tanya : Jika malam bersetubuh atau mimpi basah lalu belum mandi mengangkat hadats besar sehingga sudah masuk waktu subuh apakah batal puasanya?

Jawab : Puasanya sah, hanya saja untuk mandi mengangkat hadats besar bila ingin melakukan sholat dan perbuatan ibadah lainnya.

Tanya : Bolehkan orang yang bepergian setelah fajar membatalkan puasa?

Jawab : Tidak boleh, karena bolehnya membatalkan puasa bagi musâfir, jika berangkatnya sebelum fajar. namun menurut Imam Muzâni tetap diperbolehkan membatalkan puasa.

Tanya : Sahkah puasa tanpa sahur walupun kuat berpuasa?

Jawab : Sah, tetapi bila puasa tanpa sahur dia tidak mendapat pahala ibadah sahur.

Tanya : Apakah boleh menggabung puasa antara mengqodho puasa Ramadhan dengan puasa sunnah hari senin atau hari kamis kebetulan saat menqodhonya bertepatan dengan hari itu, di gabung dengan satu niat?

Jawab : Bisa atau boleh, apabila keduanya diniati, diperbolehkan menggabung antara puasa wajib dengan puasa sunnah atau menggabung antara puasa sunnah dengan puasa sunnah, yang tidak boleh menggabung antara puasa wajib dengan puasa wajib, seperti contoh : menggabung niat puasa qodho Ramadhon dengn puasa nadzar, maka hal tersebut tidak boleh, dan dalam menggabung antara puasa yang wajib dengan sunnah maka niat yang di dahulukan adalah yang wajibnya, baru mengikuti yang sunnah, ulama mengatakan jika niatnya sunnah dahulu baru mengikuti yang wajib maka sunnahnya tidak dapat hanya dapat wajibnya.

Tanya : “Terpaksa” sering dibuat alasan sebagai pembenaran atas semua tindakan. Sebagaimana realita yang terjadi di sekeliling kita. Walaupun sudah tahu bulan puasa, masih saja ada yang berjualan makanan disiang hari. Bolehkah menjual makanan disiang hari pada saat bulan Ramadhan?

Jawab : Tidak boleh, karena mendorong terjadinya maksiat. Kecuali menjual makanan untuk persiapan buka puasa.

Tanya : Apakah masuknya air tanpa disengaja pada bagian anggota tubuh semisal telinga dapat membatalkan puasa?

Jawab : Membatalkan puasa, kecuali ketika mandi wajib atau sunah.

Tanya : Bila seseorang bertaubat dan kita ingin mengqodho puasa Ramadhan, berapakah puasa yang harus di-qadha’, bila seseorang lupa jumlah puasa yang ditinggalkannya?

Jawab : Wajib mengqadho’ puasa sampai yakin sudah dikerjakan semua.

Tanya : Apabila kita sedang menjalani ibadah puasa, lantas kita ngupil (mengkorek hidung) atau mengkorek telinga, bagaimana status hukumnya? Batalkah puasa kita?

Jawab : Pada dasarnya puasa bisa menjadi batal apabila ada sesuatu yang masuk kedalam tubuh kita melalui lubang-lubang pada tubuh semisal mulut, hidung, telinga, anus, maupun kemaluan. Ngupil (mengkorek hidung) atau mengorek telinga bisa menjadikan batal puasanya jika mengoreknya terlalu dalam dan dengan disengaja, batasan dalam adalah rogga hidung.

Tanya : Bagaimana cara mengqodho puasa yang sudah lama belum diqodho sudah masuk puasa selanjutnya?

Jawab : Puasa yang belum diqodho dan sudah lewat dari waktunya dan sudah masuk puasa berikutnya, maka dia wajib mengqodho puasanya yang belum diqodho dan juga untuk mengeluarkan fidhiyah dari jumlah banyaknya puasa yang belum diqodhonya, dan setiap tahun bertambah fidhiyah dari puasa yang belum di qodhonya tersebut.

Contoh : Kita pernah tidak puasa pada tahun 2014 sebanyak 10 hari, pada tahun tersebut kita belum mengqodhonya, lalu sudah masuk puasa tahun 2015 berapa yang harus diqodho? Selain wajib mengqodho 10 puasa juga harus mengeluarkan fidhiyah sebanyak 10 fidhiyah (memberi makan 10 orang dengan ukuran 1 mud perorang) karena sudah masuk puasa berikutnya.

Pada tahun 2015 kita baru bisa mengqodho 3 puasa yang tahun 2014 maka tersisa 7 puasa dan belum juga mengeluarkan fidhiyah yang 10 dan sudah masuk puasa tahun 2016, berapa yang harus dibayar sedangkan di tahun 2015 tidak ada tanggungan puasa (puasa full)? Selain wajib mengqodho sisa puasa tahun 2014 sebanyak 7 kali juga mengeluarkan fidhiah sebanyak 17 fidhiyah (fidhiyah tahun 2014 sebanyak 10, dan fidhiyah di tahun 2015 sebanyak 7) kenapa fidhiyah menjadi bertambah sedangkan puasanya tetap? Karena setiap tahun fidhiyah bertambah dari jumlah puasa yang belum diqodhonya. Oleh sebab itu qodholah segera puasa Ramadhan yang pernah ditinggalkannya sebelum masuk Ramadhan berikutnya karena fidhiyah bertambah setiap tahun dari jumlah puasa yang belum diqodhonya.

Tanya : Berapakah ukuran 1 Mud?

Jawab : Satu mud adalah seperempat sha’. Dan sha’ yang dimaksud ialah sha’ nabawi, yaitu sha’-nya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu sha’ nabawi sebanding dengan 480 (empat ratus delapan puluh) mitsqal dari biji gandum yang bagus. Satu mitsqal, sama dengan 4,25 gram. Jadi 480 mitsqal seimbang dengan 2040 gram. Berarti satu mud adalah 510 gram. (Majalisu Syahri Ramadhan, 162 dan Syarhul Mumti’ (6/176))

Menurut pendapat Syaikh Abdullah Al Bassam, satu sha’ nabawi adalah empat mud. Satu mud, sama dengan 625 gram, karena satu sha’ nabawi sama dengan 3000 gram. (Taudhih Al Ahkam (3/178))

Berdasarkan ukuran yang telah disebutkan, maka kita bisa memperkirakan bahwa satu mud dari biji gandum bekisar antara 510 hingga 625 gram. Para ulama telah menjelaskan, fidyah dari selain biji gandum, seperti beras, jagung dan yang lainnya adalah setengah sha’ (dua mud). Dan kita kembali kepada ayat, bahwa orang yang melebihkan di dalam memberi makan kepada orang miskin, yaitu dengan memberikan kepada orang miskin lainnya, maka itu adalah lebih baik baginya.

Tanya : Bolehkah fidhiyah dengan uang?

Jawab : Sebagian besar ulama tidak membolehkan fidhiyah dengan uang melainkan dengan memberi makan faqir atau miskin.

Tanya : Kalau mau bayar fidyah hanya dengan beras mentahan saja itu berapa kg?

Jawab : Membayar fidyah bisa dengan dua cara :

1. Mentahnya, dengan ukuran beras kurang lebih satu kg, dan hendaknya diberi tambahan lauk seperti telur, ikan kaleng, dan yang semisalnya.

2. Makan jadi, dengan mengundang orang miskin makan dirumahnya hingga kenyang.

Tanya : Apakah dibolehkan berjimak dengan istri di bulan Ramadan?

Jawab : Boleh jika dilakukan pada malam hari sampai sebelum waktu subuh, dan di haramkan serta berdosa besar jika dilakukan disiang hari, dan wajib selain mengqodho juga untuk membayar kafarat bagi orang sedang berpuasa Ramadhan melakukan jimak disiang hari.

Tanya : Apakah kafarat bagi orang (suami istri) yang berjimak disiang hari dibulan Ramadhan?

Jawab : Kafaratnya bagi orang (suami istri) yang berjimak disiang hari dibulan Ramadhan adalah membebaskan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberikan makan kepada 60 faqir atau miskin.

Tanya : Bolehkah memakai sifat saat sedang berpuasa ?

Jawab : Memakai celak saat berpuasa hukumnya boleh dan tidak membatalkan puasanya.

Tanya : Bolehkah memakai Lipstik, lipgloss dan makeup saat berpuasa?

Jawab : Boleh, karena itu semua berada disekitar luar.

Tanya : Bolehkah memakai Inhaler?

Jawab : Menggunakan inhaler saat puasa dapat membatalkan puasa, karena inhaler bukan semata bau tanpa 'ain atau zat di dalamnya. Sebagaimana didefinisikan oleh ahli farmasi bahwa inhaler adalah sebuah alat kesehatan yang digunakan untuk mengantarkan obat ke dalam tubuh melalui paru-paru.

Tanya : Apakah membatalkan puasa memakai obat kumur seperti obat kumur antiseptik dan lainnya?

Jawab : Tidak membatalkan puasa asalkan tidak masuk kedalam tenggorokan (tertelan).

Tanya : Apa hukum memakai Obat yang ditempatkan di bawah lidah saat berpuasa, apakah membatalkan puasa?

Jawab : Obat yang ditempatkan dibawah lidah tidak membatalkan puasa asalkan tidak adanya cairan obat tersebut yang masuk ketenggorokan (tertelan), jika tertelan maka membatalkan puasa, hendaknya kalau memang dalam keadaan sakit maka untuk berbuka dan untuk mengqodho puasanya di lain waktu disaat sehat..

Tanya : Apa hukumnya menggunakan suppositoria (obat yang dimasukkan ke anus atau vagina atau lubang atau celah pada tubuh lainnya) di siang hari bulan Ramadhan jika orang yang berpuasa mengalami sakit?

Jawab : Memakai obat dengan cara suppositoria maka membatalkan puasa, sebab yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke dalam jauf, yaitu rongga yang terbuka, dengan sengaja, bukan terpaksa dan mengetahui keharaman tindakan tersebut.

Tanya : Batalkah puasa jika muntah?

Jawab : Jika seseorang muntah dengan sengaja maka batallah puasanya, dan jika muntah tidak dengan sengaja, maka tidak batal.

Tanya : Apakah mimisan membatalkan puasa?

Jawab : Mimisan tidak membatalkan puasa walaupun banyak, karena perisitwa itu terjadi tanpa disengaja.

Tanya : Apakah hukum berkumur ketika sedang puasa disiang hari?

Jawab : Hukum berkumur saat berpuasa di siang hari adalah makruh, bahkan bisa membatalkan puasa jika berlebihan dalam berkumur yang dapat menyebabkan masuknya air kedalam tenggorokan.

Tanya : Apakah hukum berkumur dalam wudhu di saat berpuasa?

Jawab : Hukum berkumur dalam wudhu saat berpuasa adalah sunnah, asalkan tidak berlebihan. Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama Syafi’iyah dan pendapat Imam Syafi’i tetap disunnahkan bagi orang yang berpuasa saat berwudhu untuk berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung, sebagaimana yang tidak berpuasa disunnahkan demikian. Akan tetapi bagi yang berpuasa disyaratkan tidak berlebih-lebihan (mubalaghah). Yang terjadi perselisihan, ketika masuk air dalam rongga tubuh saat berkumur-kumur atau memasukkan air dalam hidung. Pendapat ulama Syafi’iyah adalah batal jika memasukkan airnya berlebihan. Namun jika tidak berlebihan, tidaklah batal.” (Al-Majmu’, 6: 230)

Pertanyaan : Jika kita ragu (belum yakin) apakah sudah Maghrib atau belum, bolehkah kita berbuka puasa?

Jawaban : Tidak boleh, haram baginya untuk berbuka sehingga dia berijtihad dan mempunyai zhon (keyakinan yang kuat) bahwa waktu sudah Maghrib atau mendapatkan informasi bahwa sudah masuk waktu Maghrib dari orang yang tahu yang telah diyakini kebenarannya oleh kita.

Tanya : Apakah bekam dan suntik pada saat puasa bisa membatalkan puasa?

Jawab : bekam tidak membatalkan puasa, namun sebagian mengatakan makruh jika membuat lemah tubuh hingga membuatnya kesusahan saat puasanya, Namun Rasul saw berbekam di bulan puasa, maka hal itu sunnah dilakukan walau dibulan puasa jika tidak mempengaruhi ketahanan tubuhnya, jika membuatnya lemah maka makruh.

mengenai suntikan jika cairan obat hanya di lokal saja, tak membatalkan puasa, namun jika masuk ke Jauf (jauf= mulai dada hingga dubur), maka membatalkan puasa, suntikan itu umumnya masuk ke aliran darah lalu ke jantung maka membatalkan puasa.

Instagram : @shulfialaydrus
Instagram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : @habibshulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/gsayyiroups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.

Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس


Fiqih Puasa (Kitab Fathul Qorib).


Fiqih Puasa (Kitab Fathul Qorib).

وَهُوَ وَالصَّوْمُ مَصْدَرَانِ مَعْنَاهُمَا لُغَةً الْإِمْسَاكُ
وَشَرْعًا إِمْسَاكٌ عَنْ مُفْطِرٍ بِنِيَةٍ مَخْصُوْصَةٍ جَمِيْعَ نَهَارٍ قَابِلٍ لِلصَّوْمِ مِنْ مُسْلِمٍ عَاقِلٍ طَاهِرٍ مِنْ حَيْضٍ وَنِفَاسٍ

Lafadz shiyam dan shaum adalah dua bentuk kalimat masdar, yang secara bahasa keduanya bermakna menahan.

Dan secara syara’ adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai niat tertentu sepanjang siang hari yang bisa menerima ibadah puasa dari orang muslim yang berakal dan suci dari haidh dan nifas.

(وَشَرَائِطُ وُجُوْبِ الصِّيَامِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَحِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ
(الإِسْلَامُ وَالْبُلُوْغُ وَالْعَقْلُ وَالْقُدْرَةُ عَلَى الصَّوْمِ)
وَهَذَا هُوَ السَّاقِطُ عَلى نُسْخَةِ الثَّلَاثَةِ
فَلَا يَجِبُ الصَّوْمُ عَلَى الْمُتَّصِفِ بِأَضْدَادِ ذَلِكَ

Syarat-syarat wajib berpuasa ada tiga perkara. Dalam sebagian redaksi ada empat perkara.
1. Islam,
2. Baligh,
3. Berakal,
4. Mampu berpuasa.

Dan ini (mampu berpuasa) tidak tercantum di dalam redaksi yang mengatakan syaratnya ada tiga perkara. Maka puasa tidak wajib bagi orang yang memiliki sifat yang sebaliknya.

(وَفَرَائِضُ الصَّوْمِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ)
أَحَدُهَا (النِّيَةُ) بِالْقَلْبِ
فَإِنْ كَانَ الصَّوْمُ فَرْضًا كَرَمَضَانَ أَوْ نَذْرًا فَلاَ بُدَّ مِنْ إِيْقَاعِ النِّيَةِ لَيْلًا
وَيَجِبُ التَّعْيِيْنُ فِيْ صَوْمِ الْفَرْضِ كَرَمَضَانَ
وَأَكْمَلُ نِيَةِ صَوْمِهِ أَنْ يَقُوْلَ الشَّخْصُ نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
(وَ) الثَّانِيَ (الْإِمْسَاكُ عَنِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ) وَإِنْ قَلَّ الْمَأْكُوْلُ وَالْمَشْرُوْبُ عِنْدَ التَّعَمُّدِ
فَإِنْ أَكَلَ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلًا لَمْ يُفْطِرْ إِنْ كَانَ قَرِيْبَ عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ أَوْ نَشَأَ بَعِيْدًا عَنِ الْعُلَمَاءِ وَإِلاَّ أَفْطَرَ
(وَ) الثَّالِثُ (الْجِمَاعُ) عَامِدًا
وَ أَمَّا الْجِمَاعُ نَاسِيًا فَكَالْأَكْلِ نَاسِيًا
(وَ) الرَّابِعُ (تَعَمُّدُ الْقَيْئِ) فَلَوْ غَلَبَهُ الْقَيْئُ لَمْ يَبْطُلْ صَوْمُهُ

Fardhu-fardhunya puasa ada empat perkara.

Pertama : Niat di dalam hati.

Jika puasa yang dikerjakan adalah fardhu seperti Romadhon atau puasa nadzar, maka harus melakukan niat di malam hari.

Dan wajib menentukan puasa yang dilakukan di dalam puasa fardhu seperti puasa Romadhon.

Niat puasa Romadhon yang paling sempurna adalah seseorang mengatakan, “saya niat melakukan puasa esok hari untuk melaksanakan kewajiban bulan Romadhon tahun ini karena Allah Ta’ala”.

Kedua : Menahan dari makan dan minum walaupun perkara yang dimakan dan yang diminum hanya sedikit, hal ini ketika ada unsur kesengajaan.

Jika seorang yang berpuasa melakukan makan dalam keadaan lupa atau tidak mengetahui hukumnya, maka puasanya tidak batal jika ia adalah orang yang baru masuk Islam atau hidup jauh dari ulama’. Jika tidak demikian, maka puasanya batal.

Ketiga : Menahan dari melakukan jima’ dengan sengaja.

Adapun melakukan jima’ dalam keadaan lupa, maka hukumnya sama seperti makan dalam keadaan lupa.

Keempat : Menahan dari muntah dengan sengaja. Jika ia terpaksa muntah, maka puasanya tidak batal.

(وَالَّذِيْ يُفْطِرُ بِهِ الصَّائِمُ عَشْرَةُ أَشْيَاءَ)
أَحَدُهَا وَثَانِيْهَا (مَا وَصَلَ عَمْدًا إِلَى الْجَوْفِ) الْمُنْفَتِحِ (أَوْ) غَيْرِ الْمُنْفَتِحِ كَالْوُصُوْلِ مِنْ مَأْمُوْنَةٍ إِلَى (الرَّأْسِ)
وَالْمُرَادُ إِمْسَاكُ الصَّائِمِ عَنْ وُصُوْلِ عَيْنٍ إِلَى مَا يُسَمَّى جَوْفًا
(وَ) الثَّالِثُ (الْحُقْنَةُ فِيْ أَحَدِ السَّبِيْلَيْنِ)
وَهِيَ دَوَاءٌ يُحْقَنُ بِهِ الْمَرِيْضُ فِيْ قُبُلٍ أَوْ دُبُرٍ الْمُعَبَّرِ عَنْهُمَا فِي الْمَتْنِ بِالسَّبِيْلَيْنِ
(وَ) الرَّابِعُ (الْقَيْئُ عَمْدًا) فَإِنْ لَمْ يَتَعَمَّدْ لَمْ يَبْطُلْ صَوْمُهُ كَمَا سَبَقَ
(وَ) الْخَامِسُ (الْوَطْءُ عَمْدًا فِي الْفَرْجِ)
فَلَا يُفْطِرُ الصَّائِمُ بِالْجِمَاعِ نَاسِيًا كَمَا سَبَقَ
(وَ) السَّادِسُ (الْإِنْزَالُ) وَهُوَ خُرُوْجُ الْمَنِيِّ (عَنْ مُبَاشَرَةٍ) بِلَا جِمَاعٍ
مُحَرَّمًا كَإِخْرَاجِهِ بِيَدِّهِ أَوْ غَيْرَ مُحَرَّمٍ كَإِخْرَاجِهِ بِيَدِّ زَوْجَتِهِ أَوْ جَارِيَتِهِ
وَاخْتَرَزَ بِمُبَاشَرَةٍ عَنْ خُرُوْجِ الْمَنِيِّ بِاحْتِلَامٍ فَلَا إِفْطَارَ بِهِ جَزْمًا
(وَ) السَّابِعُ إِلَى آخِرِ الْعَشْرَةِ (الْحَيْضُ وَالنِّفَاسُ وَالْجُنُوْنُ وَالرِّدَةُ)
فَمَنْ طَرَأَ شَيْئٌ مِنْهَا فِيْ أَثْنَاءِ الصَّوْمِ أَبْطَلَهُ

Hal-hal yang membuat orang berpuasa menjadi batal ada sepuluh perkara.

Pertama dan kedua adalah sesuatu yang masuk dengan sengaja ke dalam lubang badan yang terbuka atau tidak terbuka seperti masuk ke dalam kepala dari luka yang tembus ke otak.

Yang dikehendaki adalah seseorang yang berpuasa harus mencegah masuknya sesuatu ke bagian badan yang dinamakan jauf (lubang).

Ketiga adalah Al Huqnah (menyuntik) di bagian salah satu dari qubul dan dubur.

Huqnah adalah obat yang disuntikkan ke badan orang yang sakit melalui qubul atau dubur yang diungkapkan di dalam matan dengan bahasa “sabilaini (dua jalan)”.

Keempat adalah muntah dengan sengaja. Jika tidak sengaja, maka puasanya tidak batal seperti yang telah dijelaskan.

Kelima adalah wathi’ dengan sengaja di bagian farji.

Maka puasa seseorang tidak batal sebab melakukan jima’ dalam keadaan lupa seperti yang telah dijelaskan.

Keenam adalah inzal, yaitu keluar sperma sebab bersentuhan kulit dengan tanpa melakukan jima’

Baik keluar sperma tersebut diharamkan seperti mengeluarkan sperma dengan tangannya sendiri, atau tidak diharamkan seperti mengeluarkan sperma dengan tangan istri atau budak perempuannya.

Dengan bahasa “sebab bersentuhan kulit”, mushannif mengecualikan keluarnya sperma sebab mimpi basah, maka secara pasti hal itu tidak bisa membatalkan puasa.

Ketujuh hingga akhir yang kesepuluh adalah haidh, nifas, gila dan murtad.

Maka barang siapa mengalami hal tersebut di tengah-tengah pelaksanaan puasa, maka hal tersebut membatalkan puasanya.

(وَيُسْتَحَبُّ فِي الصَّوْمِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ)
أَحَدُهَا (تَعْجِيْلُ الْفِطْرِ) إِنْ تَحَقَّقَ الصَّائِمُ غُرُوْبَ الشَّمْسِ
فَإِنْ شَكَّ فَلَا يُعَجِّلُ الْفِطْرَ
وَيُسَنُّ أَنْ يُفْطِرَ عَلَى تَمْرٍ وَإِلاَّ فَمَاءٍ
(وَ) الثَّانِيْ (تَأْخِيْرُ السَّحُورِ) مَالَمْ يَقَعْ فِيْ شَكٍّ فَلَا يُؤَخِّرُ
وَيَحْصُلُ السَّحُوْرُ بِقَلِيْلِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ
(وَ) الثَّالِثُ (تَرْكُ الْهَجْرِ) أَيِ الْفُحْشِ (مِنَ الْكَلَامِ) الْفَاحِشِ
فَيَصُوْنُ الصَّائِمُ لِسَانَهُ عَنِ الْكَذِبِ وَالْغِيْبَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ كَالشَّتْمِ
وَإِنْ شَتَمَهُ أَحَدٌ فَلْيَقُلْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا إِنِّيْ صَائِمٌ
إِمَّا بِلِسَانِهِ كَمَا قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْأَذْكَارِ
أَوْ بِقَلْبِهِ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيِّ عَنِ الْأَئِمَّةِ وَاقْتَصَرَ عَلَيْهِ.

Di dalam puasa ada tiga perkara yang disunnahkan.

Salah satunya adalah segera berbuka jika orang yang berpuasa tersebut telah meyaqini terbenamnya matahari (sudah masuk waktu Maghrib).

Jika ia masih ragu-ragu, maka tidak diperkenankan segera berbuka.

Disunnahkan untuk berbuka dengan kurma kering. Jika tidak maka dengan air.

Yang ke dua adalah mengakhirkan sahur selama tidak sampai mengalami keraguan (masuknya waktu Shubuh). Jika tidak demikian, maka hendaknya tidak mengakhirkan sahur.

Kesunahan sahur sudah bisa hasil dengan makan dan minum sedikit.

Yang ke tiga adalah tidak berkata kotor.

Maka orang yang berpuasa hendaknya menjaga lisannya dari berkata bohong, menggunjing orang lain dan sesamanya seperti mencela orang lain.

Jika ada seseorang yang mencaci dirinya, maka hendaknya ia berkata dua atau tiga kali,“sesungguhnya aku sedang berpuasa.”

Adakalanya mengucapkan dengan lisan seperti yang dijelaskan Imam An Nawawi di dalam kitab al Adzkar.

Atau dengan hati sebagaimana yang dinuqil oleh imam ar Rafi’i dari beberapa imam, dan hanya mengucapkan di dalam hati.

(وَيَحْرُمُ صِيَامُ خَمْسِ أَيَّامٍ الْعِيْدَانِ) أَيْ صَوْمُ يَوْمِ عِيْدِ الْفِطْرِ وَعِيْدِ الْأَضْحَى
(وَأَيَّامُ التَّشْرِيْقِ) وَهِيَ (الثَّلَاثَةُ) الَّتِيْ بَعْدَ يَوْمِ النَّحْرِ

Haram melakukan puasa di dalam lima hari. Yaitu dua hari raya, maksudnya puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Dan di hari-hari Tasyrik, yaitu tiga hari setelah hari raya kurban (setelah idhul Adha yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah).

(وَيُكْرَهُ) تَحْرِيْمًا (صَوْمُ يَوْمِ الشَّكِّ) بِلَا سَبَبٍ يَقْتَضِيْ صَوْمَهُ
وَأَشَارَ الْمُصَنِّفُ لِبَعْضِ صُوَرِ هَذَا السَّبَبِ بِقَوْلِهِ (إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ عَادَةً لَهُ) فِيْ تَطَوُّعِهِ
كَمَنْ عَادَتُهُ صِيَامُ يَوْمٍ وَإِفْطَارُ يَوْمٍ فَوَافَقَ صَوْمُهُ يَوْمَ الشَّكِّ وَلَهُ صِيَامُ يَوْمِ الشَّكِّ أَيْضًا عَنْ قَضَاءٍ وَنَذْرٍ
وَيَوْمُ الشَّكِّ هُوَ يَوْمُ الثَّلَاثِيْنَ مِنْ شَعْبَانَ إِذَا لَمْ يُرَى الْهِلَالُ لَيْلَتَهَا مَعَ الصَّحْوِ وَ تَحَدَّثَ النَّاسُ بِرُؤْيَتِهِ وَلَمْ يُعْلَمْ عَدْلٌ رَآهُ أَوْ شَهِدَ بِرُؤْيَتِهِ صِبْيَانٌ أَوْ عَبِيْدٌ أَوْ فَسَقَةٌ

Hukumnya makruh tahrim melakukan puasa di hari Syak tanpa ada sebab yang menuntut untuk melakukan puasa pada hari itu.

Mushannif memberi isyarah pada sebagian contoh-contoh sebab ini dengan perkataan beliau, “kecuali jika kebiasannya melakukan puasa bertepatan dengan hari tersebut”.

Seperti orang yang memiliki kebiasaan puasa satu hari dan tidak puasa satu hari, kemudian giliran puasanya bertepatan dengan hari Syak. Seseorang juga diperkenankan melakukan puasa di hari Syak sebagai pelunasan puasa qadha’ dan puasa nadzar.

Hari Syak adalah hari tanggal tiga puluh Sya’ban ketika hilal tidak terlihat di malam hari sebelumnya padahal langit dalam keadaan terang, sedangkan orang-orang membicarakan bahwa hilal telah terlihat namun tidak ada orang adil yang diketahui telah melihatnya, atau yang bersaksi telah melihatnya adalah anak-anak kecil, budak atau orang-orang fasiq.

(وَمَنْ وَطِئَ فِيْ نَهَارِ رَمَضَانَ) حَالَ كَوْنِهِ (عَامِدًا فِي الْفَرْجِ) وَهُوَ مُكَلَّفٌ بِالصَّوْمِ وَنَوَى مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ آثِمٌ بِهَذَا الْوَطْءِ لِأَجْلِ الصَّوْمِ(فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَارَةُ
وَهِيَ عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ) وَفِيْ بَعْضِ النُّسَحِ سَلِيْمَةٍ مِنَ الْعُيُوْبِ الْمُضِرَّةِ بِالْعَمَلِ وَالْكَسْبِ
(فَإِنْ لَمْ يَجِدْ) هَا (فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ) صَوْمَهُمَا (فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا) أَوْفَقِيْرًا
(لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ) أَيْ مِمَّا يُجْزِئُ فِيْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ
فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْجَمِيْعِ اسْتَقَرَّتِ الْكَفَارَةُ فِيْ ذِمَّتِهِ فَإِذَا قَدَرَ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى خَصْلَةٍ مِنْ خِصَالِ الْكَفَارَةِ فَعَلَهَا

Barang siapa melakukan jima’ di siang hari bulan Romadhon dalam keadaan sengaja melakukannya di bagian farji, dan dia adalah orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan telah niat melakukan puasa di malam harinya serta dia dianggap berdosa melakukan jima’ tersebut karena berpuasa, maka wajib baginya untuk mengqadha’ puasanya dan membayar kafarat.

Kafarat tersebut adalah memerdekakan budak mukmin. Dalam sebagian redaksi ada penjelasan “budak yang selamat dari cacat yang bisa mengganggu di dalam bekerja dan beraktifitas”.

Jika ia tidak menemukan budak, maka wajib melakukan puasa dua bulan berturut-turut.

Jika tidak mampu melakukan puasa dua bulan, maka wajib memberi maka enam puluh orang miskin atau faqir.

Masing-masing mendapatkan satu mud, maksudnya dari jenis bahan makanan yang bisa mencukupi di dalam zakat fitrah.

Jika ia tidak mampu melakukan semuanya, maka kafarat tersebut tetap menjadi tanggungannya. Ketika setelah itu ia mampu melakukan salah satunya, maka wajib baginya untuk melakukannya.

(وَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ) فَائِتٌ (مِنْ رَمَضَانَ) بِعُذْرٍ كَمَنْ أَفْطَرَ فِيْهِ لِمَرَضٍ وَلَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ قَضَائِهِ كَأَنِ اسْتَمَرَّ مَرَضُهُ حَتَّى مَاتَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ فِيْ هَذَا الْفَائِتِ وَلَا تُدَارَكُ لَهُ بِالْفِدْيَةِ
وَإِنْ فَاتَ بِغَيْرِ عُذْرٍ وَمَاتَ قَبْلَ التَّمَكُّنِ مِنْ قَضَائِهِ (أُطْعِمَ عَنْهُ) أَيْ أَخْرَجَ الْوَلِيُّ عَنِ الْمَيِّتِ مِنْ تِرْكَتِهِ (لِكُلِّ يَوْمٍ) فَاتَ (مُدُّ) طَعَامٍ
وَهُوَ رِطْلٌ وَثُلُثٌ بِالْبَغْدَادِيِّ وَهُوَ بِالْكَيْلِ نِصْفُ قَدَحٍ مِصْرِيٍّ
وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ هُوَ الْقَوْلُ الْجَدِيْدُ
وَالْقَدِيْمُ لَايَتَعَيَّنُ الْإِطعَامُ بَلْ يَجُوْزُ لِلْوَلِيِّ أَيْضًا أَنْ يَصُوْمَ عَنْهُ بَلْ يُسَنُّ لَهُ ذَلِكَ كَمَا فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ
وَصَوَّبَ فِي الرَّوْضَةِ الْجَزْمَ بِالْقَدِيْمِ

Barangsiapa meninggal dunia dan masih memiliki hutang puasa Romadhon yang ia tinggalkan sebab udzur seperti orang yang membatalkan puasa sebab sakit dan belum sempat mengqadha’inya semisal sakitnya terus berlanjut hingga ia meninggal dunia, maka tidak ada tanggungan dosa baginya di dalam puasa yang ia tinggalkan ini, dan tidak perlu ditebus dengan fidyah.

Jika hutang puasa tersebut bukan karena udzur dan ia meninggal dunia sebelum sempat mengqadla’inya, maka wajib memberikan makanan sebagai ganti dari hutang puasanya. Maksudnya bagi seorang wali wajib mengeluarkan untuk mayat dari harta peninggalannya. Setiap hari yang telah ditinggalkan diganti dengan satu mud bahan makanan.

Satu mud adalah satu rithl lebih sepertiga rithl negara Bagdad. Dan dengan takaran adalah separuh wadah takaran negara Mesir.

Apa yang telah disebutkan oleh mushannif adalah qaul Jadid.

Sedangkan menurut qaul Qadim, tidak harus memberi bahan makanan, bahkan bagi wali juga diperkenankan untuk melakukan puasa sebagai pengganti dari orang yang meninggal, bahkan hal itu disunnahkan bagi seorang wali sebagaimana keterangan di dalam kitah Syarh Al Muhadzdzab.

Dan di dalam kitab Ar Raudlah, Imam An Nawawi membenarkan kemantapan dengan pendapat qaul Qadim.

(وَالشَّيْخُ الْهَرَمُ) وَالْعَجُوْزُ وَالْمَرِيْضُ الَّذِيْ لَا يُرْجَى بُرْؤُهُ (إِذَا عَجَزَ) كُلٌّ مِنْهُمْ (عَنِ الصَّوْمِ يُفْطِرُ وَيُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا)
وَلَايَجُوْزُ تَعْجِيْلُ الْمُدِّ قَبْلَ رَمَضَانَ وَيَجُوْزُ بَعْدَ فَجْرِ كُلِّ يَوْمٍ

Orang laki-laki tua, wanita lansia, dan orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh, ketika masing-masing dari ketiganya tidak mampu untuk berpuasa, maka diperkenankan untuk tidak berpuasa dan memberi bahan makanan sebanyak satu mud sebagai ganti dari setiap harinya.

Tidak diperkenankan menta’jil pembayaran mud (fidhiyah) sebelum masuk bulan Romadhon, dan baru boleh dibayarkan setelah terbit fajar setiap harinya.

(وَالْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِنْ خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا) ضَرَرًا يَلْحَقُهُمَا بِالصَّوْمِ كَضَرَرِ الْمَرِيْضِ (أَفْطَرَتَا وَ) وَجَبَ (عَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ
وَإِنْ خَافَتَا عَلَى أَوْلَادِهِمَا) أَيْ إِسْقَاطِ الْوَلَدِ فِيْ الْحَامِلِ وَقِلَّةِ اللَّبَنِ فِي الْمُرْضِعِ (أَفْطَرَتَا وَ) وَجَبَ (عَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ) لِلْإِفْطَارِ (وَالْكَفَارَةُ) أَيْضًا
وَالْكَفَارَةُ أَنْ يُخْرَجَ (عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ وَهُوَ) كَمَا سَبَقَ (رِطْلٌ وَثُلُثٌ بِالْعِرَاقِيِّ) وَيُعَبَّرُ عَنْهُ بِالْبَغْدَادِيِّ

Bagi wanita hamil dan menyusui, jika keduanya khawatir terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri sebab berpuasa seperti bahaya yang dialami oleh orang sakit, maka diperkenankan untuk tidak berpuasa dan wajib bagi mereka berdua untuk mengqadha’inya.

Jika keduanya khawatir pada anaknya, maksudnya khawatir keguguran bagi wanita hamil dan sedikitnya air susu bagi ibu menyusui, maka keduanya diperkenankan tidak berpuasa dan wajib bagi keduanya untuk mengqadha’i sebab membatalkan puasa dan juga membayar kafarat (fidhiyah).

Kafaratnya adalah setiap harinya wajib mengeluarkan satu mud. Satu mud, seperti yang telah dijelaskan, adalah satu rithl lebih sepertiga rithl negara Iraq. Dan diungkapkan dengan negara Baghdad.

(وَالْمَرِيْضُ وَالْمُسَافِرُ سَفَرًا طَوِيْلًا) مُبَاحًا إِنْ تَضَرَّرَا بِالصَّوْمِ (يُفْطِرَانِ وَيَقْضِيَانِ)
وَلِلْمَرِيْضِ إِنْ كَانَ مَرَضُهُ مُطْبِقًا تَرْكُ النِّيَةِ مِنَ اللَّيْلِ
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُطْبِقًا كَمَا لَوْ كَانَ يَحُمَّ وَقْتًا دُوْنَ وَقْتٍ وَكَانَ وَقْتُ الشُّرُوْعِ فِي الصَّوْمِ مَحْمُوْمًا فَلَهُ تَرْكُ النِّيَةِ
وَإِلَّا فَعَلَيْهِ النِّيَةُ لَيْلًا فَإِنْ عَادَتِ الْحُمَى وَاحْتَاجَ لِلْفِطْرِ أَفْطَرَ

Orang yang sakit dan bepergian jauh yang hukumnya mubah, jika ia merasa berat untuk berpuasa, maka bagi keduanya diperkenankan untuk tidak berpuasa dan wajib mengqadha’inya.

Bagi orang sakit, jika sakitnya terus menerus, maka baginya diperkenankan untuk tidak niat berpuasa di malam hari.

Dan jika sakitnya tidak terus menerus, seperti demam dalam satu waktu dan tidak di waktu yang lain, namun di waktu memasuki pelaksanaan puasa (menginjak pagi hari) demamnya kambuh, maka baginya diperkenankan untuk tidak niat berpuasa (di malam hari).

Jika tidak demikian, maka wajib baginya untuk niat di malam hari. Kemudian jika demamnya kambuh dan ia butuh untuk membatalkan puasa, maka diperkenankan untuk membatalkan puasanya.

وَسَكَتَ الْمُصَنِّفُ عَنْ صَوْمِ التَّطَوُّعِ وَهُوَ مَذْكُوْرٌ فِي الْمُطَوَّلَاتِ
وَمِنْهُ صَوْمُ عَرَفَةَ وَعَاشُوْرَاءَ وَتَاسُوْعَاءَ وَأَيَّامِ الْبِيْضِ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ

Mushannif tidak menjelaskan tentang puasa sunnah. Dan puasa sunnah disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas pembahasannya.

Di antaranya adalah puasa Arafah, Asyura’, Tasu’a’, Ayyamul Bidh (tanggal 13, 14, 15), dan puasa enam hari di bulan Syawal.

(Kitab Fathul Qorib – Asy Syaikh Al Imam Al Alim Al Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al Ghozi Asy Syafi’I, Bab Hukum Puasa, Hal.58, Penerbit Darul Kutub Al Islamiyyah)

Instagram : @shulfialaydrus
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : @shulfialaydrus          
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/habibshulfialaydrus
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/gsayyiroups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
           
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس