Rabu, 18 November 2020

Berpakaian panjang bagi wanita muslimah.

Pernah melihat muslimah yang berpakaian panjang hingga menyapu jalanan?

Ada yang bilang itu akan menjadi najis dan tidak sah shalatnya. Ada juga yang bilang itu sunnah.

Lantas Mana yang Benar? Berikut Penjelasanya!

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan mengenai bagian bawah pakaian, 

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا ذَكَرَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذُيُولَ النِّسَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرْخِينَ شِبْرًا قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ إِذًا يَنْكَشِفَ عَنْهَا قَالَ تُرْخِي ذِرَاعًا لَا تَزِيدُ عَلَيْهِ

Dari Ummu Salamah, bahwasanya ia pernah menanyakan tentang kain wanita kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal." Ummu Salamah berkata, "Jika begitu, maka kaki mereka akan terbuka!? Beliau menjawab: "Silahkan engkau panjangkan satu hasta dan jangan lebih." (HR. An Nasa’i No.5242 dan Abu Daud No.3590)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah bersabda: "Barangsiapa menjulurkan kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." 'Aisyah bertanya, "Lalu apa yang harus dilakukan kaum wanita dengan dzail (lebihan kain bagian bawah) mereka?" beliau menjawab: "Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal." 'Aisyah kembali menyelah, "Kalau begitu telapak kaki mereka akan terlihat!" beliau bersabda: "Mereka boleh memanjangkannya sehasta, dan jangan lebih." Abu Isa berkata, "Hadits ini derajatnya hasan shahih." (HR. At Tirmidzi No.1653)

Pada hakikatnya, Rasulullah sudah menganjurkan kepada kita untuk mengenakan pakaian muslimah yang sesuai dengan Al Qur'an dan As Sunnah.

Diperbolehkannya memanjangkan ujung kain gamis sampai batas maksimal dua jengkal.

Dari manakah ukuran sejengkal itu dihitung pada pakaian wanita?
Ukuran sejengkal tersebut dimulai dari bagian tengah betis wanita, sebagaimana dijelaskan dengan terang dalam kitab “‘Aunul Ma’bûd.”

Yakni, karena ketika Rasulullah saw. mengatakan, “sejengkal,”
Ummu Salamah r.a. masih bertanya, “Jika betisnya masih terbuka?”
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa sejengkal dari betis masih memungkinkan kain itu tersingkap dengan mudah.

Maka dari itu, Rasulullah saw. pun memberi keringanan padanya untuk memanjangkan bagian bawah pakaiannya hingga satu hasta.”

Bukankah pakaian tersebut rentan terkena najis?

Islam agama yang kamil (sempurna) dan syamil (lengkap) yang menjelaskan setiap urusan secara detail. 

Sehingga kita akan mengetahui berbagai solusi dari permasalahan yang kita hadapi dan belum kita ketahui. Ini sebagai bentuk kemudahan Islam.
عَنْ أُمِّ وَلَدٍ لِإِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهَا سَأَلَتْ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي فَأَمْشِي فِي الْمَكَانِ الْقَذِرِ فَقَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ

Dari seorang ibu putra Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
'‘Sesungguhnya aku adalah seorang perempuan yang biasa memanjangkan (ukuran) pakaianku dan (kadang-kadang) aku berjalan di tempat kotor?’. Jawab Ummu Salamah, bahwa Nabi pernah bersabda, “Tanah selanjutnya menjadi pembersihnya" (HR. Ibnu Majah No.524, Imam Malik No.41, dan At Tirmidzi, Hadits shahih).

Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa ketentuan berlaku apabila najis yang diinjak adalah najis yang kering sehingga tidak ada najis yang melekat padanya. Maksudnya, najis tidak terlihat jelas secara fisik melekat pada pakaian (tanah telah menyucikannya). 

Apabila najis yang diinjak adalah najis yang basah, maka harus tetap dibersihkan dengan air hingga bersih.

Artinya, saat muslimah sedang berjalan-jalan mengenakan gamis panjangnya. Dan menyapu jalanan sehingga sempat terkena debu atau kotoran maka yang menjadi pembersihnya adalah tanah berikutnya. 

Artinya, tidak terdapat najis pada kasus ini.

Lain halnya jika ujung pakaian terkena kotoran yang basah. Kita wajib membersihkannya.

Bagaimana Ketika Akan sholat?

Jika ujung pakaian terkena kotoran yang basah kemudian ingin dipergunakan untuk sholat.

Maka najis basah harus dibersihkan dengan air hingga bersih di bagian yang terkena najis saja. Setelah itu, boleh shalat seperti biasa.

Islam telah memberikan kemudahan yang sedemikian rupa kepada seorang wanita.

Sehingga wanita dapat berpenampilan baik di mata masyarakat, selain juga tetap menjaga kehormatan diri.

Demikian, Wallahu A'lam.

Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/  
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/  
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/   
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/ 
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/  

Donasi atau infak atau sedekah. 
Bank BRI Cab. JKT Joglo. 
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5. 
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom. 

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Minggu, 01 November 2020

Makna Kullu Menurut Para Ulama.

Makna Kullu Menurut Para Ulama.

Lafadz kullu selalu menjadi perbincangan menarik di kalangan umat Islam Indonesia bak seorang selebriti, itu lantaran penafsiran lafadz kullu dalam sebuah hadits Nabi menjadi titik krusial dalam menilai sebagian amalan-amalan umat Islam Indonesia, apakah amalan-amalan tersebut masuk kategori sesat atau tidak.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda dalam muqodimah khutbahnya:

فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، و"كل" بدعة ضلالة

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah (hal baru) adalah sesat” (HR. Muslim)

Juga dalam riwayat lain:

وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار

“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah (hal baru) adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka” (HR. An Nasa’i)

Memahami hadits butuh ilmu.
 
Untuk memahami kandungan sebuah hadits, apalagi yang berkaitan dengan hukum, seseorang tidak bisa seenaknya saja mengartikan maksud hadits dan menarik kesimpulan hukum tanpa dasar ilmu,

Ibnu Uyainah (w 198 H) berkata :

 الحديث مضلة إلاّ للفقهاء

“hadits itu menyesatkan kecuali bagi fuqoha”

Ibnu hajar al-Haitamiy (w 974 H) menjalaskan, maksud perkataan tesebut adalah, karena hadits-hadits Nabi itu seperti al-Qur’an, ada lafadz-lafadz yang umum tetapi maksudnya khusus, atau sebaliknya, ada juga lafadz-lafadz yang sudah di mansukh dan lain-lain, yang mana semua itu tidak diketahui kecuali oleh para fuqoha, adapun orang awam yang tidak mengetahui hal-hal ini, akan salah dalam memahami maksud sebuah hadits, sehingga tersesat. (Fatawa alhaditsiyah, hal. 283)

Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya, Nashihatu Ahli al-Hadits bercerita : 

Suatu ketika al-A’masy (w. 148 H) seorang muhadits, duduk bersama Imam Abu Hanifah (w. 150 H) seorang Imam ahli fiqih. Datanglah seorang laki-laki bertanya suatu hukum kepada al-A’masy. Al-‘Amasy berkata: “wahai nu’man (Imam Abu Hanifah), jawablah pertanyaan itu ” Akhirnya Imam Abu Hanifah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Al-A’masy kaget dan bertanya; “dari mana kamu dapat jawaban itu wahai Abu Hanifah?” Imam Abu Hanifah menjawab; “dari hadits yang engkau bacakan kepada kami”. Al-A’masy (w. 148 h) menimpali:

نعم نحن صيادلة وأنتم أطباء

“Benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya” (Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H), Nashihatu Ahli al-Hadits, (Maktabah al-Manar, 1408), hal. 44)

Imam Ahmad (w 241 H) berkata :

لا يستغنى صاحب الحديث من كتب الشافعى وقال: ما كان أصحاب الحديث يعرفون معانى أحاديث رسول الله ﷺ فبينها لهم

“Para ahli hadits tidak bisa terlepas dari kitab-kitab Imam Syafi’i, beliau berkata : para ahli hadits dahulu tidak paham makna-makna hadits, maka Imam Syafi’i menjelaskan maksudnya” (Tahdzib Al Asma wa Al Lughot (1/61))

Begitulah, para ulama dahulu sangat paham bagaimana menerima, menyampaikan, memahami dan mengamalkan sebuah hadits. Para periwayat hadits kadang tidak begitu paham apa maksud dari hadits yang diriwayatkannya, mereka hanya menyampaikan apa yang didengar sebagaimana adanya, ini karena mereka mengamalkan hadits Rosulullah ﷺ :

نضر الله امرأ سمع منا حديثا، فحفظه حتى يبلغه، فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه، ورب حامل فقه ليس بفقيه

“Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya kemudian dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu tidak memahaminya” (HR. Abu Daud)

Untuk memahami maksud dari sebuah hadits atau fiqh al-Hadits, kita harus bertanya kepada fuqoha (ahli fiqih), sebagaimana sudah disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy diatas. Kenapa bertanya kepada fuqoha, karena merekalah yang mampu meng-istinbath (menarik kesimpulan hukum) dari teks-teks syar’i baik itu al-Qur’an ataupun haduts Nabi.

Kembai ke lafadz “kullu”, untuk memahami lafadz kullu yang ada dalam hadits Nabi diatas kita harus merujuk kepada penjelasan para fuqoha, apa yang dikatakan mereka tentang maksud dari lafadz kullu ini.

Penjelasan ahli ilmu tentang “kullu bid’atin dlolalah”.
 
Imam Nawawi (w 676 H) berkata :

وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع

“Setiap bid’ah adalah sesat, lafadz setiap (kullu) disini adalah lafadz umum yang bermaksud khusus, yaitu maksudya sebagian besar bid’ah. (Al-Minhaj syarh shohih Muslim bin al-Hajaj (6/154))

Ibnu Hajar al-Asqolani (w 852 H) berkata :

والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام

“yang dimaksud dengan ucapan baginda Nabi ﷺ; “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang baru yang tidak punya dalil dari syari’at, baik dalil itu secara umum atau secara khusus. (Fathu Al Bari syarh shohih Al Bukhori (13/254))

Ibnu Taimiyah (w 728) berkata :

والبدع المكروهة ما لم تكن مستحبة في الشريعة. وهي أن يشرع ما لم يأذن به الله فمن جعل شيئا دينا وقربة بلا شرع من الله فهو مبتدع ضال. وهو الذي عناه النبي صلى الله عليه وسلم بقوله: كل بدعة ضلالة فالبدعة ضد الشرعة والشرعة ما أمر الله به ورسوله أمر إيجاب أو أمر استحباب وإن لم يفعل على عهده كالاجتماع في التراويح على إمام واحد وجمع القرآن في المصحف. وقتل أهل الردة والخوارج ونحو ذلك. وما لم يشرعه الله ورسوله فهو بدعة وضلالة

“Dan bid’ah yang dibenci adalah apa-apa yang tidak dianjurkan oleh syari’at, yaitu membuat syariat baru yang tidak diperintahkan Allah. Barangsiapa membuat sesuatu sebagai agama dan cara mendekatkan diri kepada Allah tanpa syariat dari Allah, maka dia seorang ahli bid’ah. Itulah bid’ah yang dimaksud dalam ucapan baginda Nabi ﷺ; “setiap bid’ah adalah sesat”. Jadi, bid’ah itu adalah lawan dari syari’at, syari’at itu adalah apa yang diperintah oleh Allah dan Rosul-Nya, baik itu perintah wajib atau anjuran, walaupun perkara itu belum pernah terjadi di masa Nabi, seperti tarawih berjama’ah, mengumpulkan al-Qur’an dalam mushaf, membunuh orang-orang murtad atau khowarij dan sebagainya. Apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya maka itu adalah bid’ah dan kesesatan” (Majmu’ Al Fatawa (23/133))

Jelas sudah dari kesimpulan penjelasan para ulama diatas, bahwa maksud dari hadits Nabi “kullu bid’atin dlolalah” adalah sebagian bid’ah; bid’ah yang sesat adalah bid’ah yang bertentangan dengan syari’at Islam dan tidak mempunyai landasan dalil, baik dalil itu sifatnya umum atau khusus, adapun bid’ah (hal baru) yang tidak bertentangan dengan syariat (karena memiliki substansi ajaran Islam) serta memiliki landasan dalil maka itu bukan bid’ah yang sesat.

Inilah kesimpulan yang dijelaskan oleh Mujtahid mutlak al-Imam Syafi’i --rodhiyallahu ‘anhu- (w 204 H) yang dinukil oleh Ibnu Hajar al-Asqolani:

البدعة بدعتان محمودة ومذمومة. فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم

“Bid’ah itu ada dua; mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela), apa yang sesuai dengan sunah adalah bid’ah terpuji sedang yang bertentangan dengan sunah adalah bid’ah tercela”

Ada juga riwayat dari imam al-Baihaqi (w 458 H):

المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال. وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة

“Perkara baru ada dua, yang pertama yang menyelisishi al-Qur’an dan sunah Nabi atau atsar sahabat atau Ijma’, maka perkara baru ini adalah bid’ah yang sesat. Yang kedua adalah perkara baru yang tidak menyelisishi hal-hal di atas, maka ini adalah bid’ah yang tidak tercela” (Fathu al-Bari syarh shohih al-Bukhori (13/253))

Mengapa para ulama bisa berkesimpulan seperti ini? Jelas karena mereka mamiliki ilmu yang luas dan perangkat untuk ber-istinbath. Dengan keluasan ilmu dan pemahaman yang dalam tentang cara menarik kesimpulan hukum inilah para ulama mampu melihat dengan jernih maksud dari teks-teks syar’i.

Lalu, Kullu itu maksudnya setiap atau sebagian ?

Mungkin ada yang bertanya, kalau makna dari kullu adalah sebagian, berarti ada sebagian kesesatan yang tidak di neraka alias di surga ? karena hadits Nabi berbunyi :”kullu dlolalatin fi an-Nar; setiap kesesatan di neraka”. Pertanyaan tersebut bisa dijawab baik secara naqli (teks syar’i), aqli (logika) ataupun bahasa.
Secara naqli, dalam memahami suatu teks syar’i baik itu al-Qur’an atau hadits Nabi, yang pertama dilakukan adalah mencari teks-teks sejenis atau yang berkaitan dengan teks yang akan dibahas tersebut.

Dalam hadits kullu bid’atin dlolalah, untuk memahami maksudnya adalah dengan mencari hadits-hadits lain yang serupa atau yang berkaitan, kemudian setelah terkumpul semua hadits yang sejenis diambil benang merahnya atau bahasa lainnya dikompromikan, istilah ini dalam ushul fiqih disebut al-jam’u wa at-taufiq.
Salah satu metode mengkompromi dalil-dalil apabila terlihat bertentangan adalah takhsis al-‘am, yaitu membawa makna hadits yang bersifat ‘am atau umum kepada hadits yang bersifat khos atau khusus. Tentang mengkhususkan dalil yang bersifat umum ini, Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata:

في الأدلة التي يخص بها العموم لا نعلم اختلافًا في جواز تخصيص العموم

“tentang dalil-dalil yang mengkhusukan dalil umum, kami tidak tau ada perselisihan ulama tentang bolehnya menkhususkan yang umum” (Roudloh an-Nadhir wa junnat al-Munadhir (2/59))

Pertanyaannya adalah; ada tidak hadits lain yang serupa dengan hadits ini? Ternyata ada, yaitu hadits Nabi yang berbunyi:
 
من سن في الإسلام سنة حسنة، فله أجرها، وأجر من عمل بها بعده، من غير أن ينقص من أجورهم شيء
 
“Barangsiapa membuat sunah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikuti perbuatan itu setelahnya tanpa dikurangi pahala mereka (yang mengikuti) sedikitpun” (HR. Muslim)
 
Sanna sendiri berarti melakukan sesuatu yang baru kemudian diikuti oleh orang lain, dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan:

وكل من ابتدأ أمرا عمل به قوم من بعده فهو الذي سنه

“setiap orang yang memulai suatu hal kemudian diikuti oleh orang lain maka dia sudah membuat sunah”. (Al-Mu’jam al-Wasith (1/455))
 
Tentu penilaian apakah perbuatan yang dia lakukan menjadi sunah yang baik atau tidak dilihat dengan kacamata syari’at.
 
Hadits lain yang serupa yaitu sabda Nabi ﷺ :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak”. (Muttafaq ‘alaihi)
 
Hadits di atas mafhumnya adalah, bahwa apabila perkara baru tidak berasal dari agama maka tertolak, tetapi apabila perkara baru tersebut ada asalnya dari agama maka tidak tertolak.
 
Hadits kullu bid’atin dlolalah adalah hadits umum, kenapa? Karena salah satu lafadz yang menunjukan keumuman adalah “kullu”, sebagaimana disebutkan para ulama ushul. (Roudloh an-Nadhir wa junnat al-Munadhir (2/13))

Sedangkan hadits “man sanna fi al-Islam” juga hadits “man ahdatsa” bersifat khusus, karena memberi informasi spesifik. Inilah yang dikatakan oleh Imam Nawawi:

هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع

“hadits ini hadits umum yang dikhususkan, maksudnya adalah sebagian bid’ah”
 
Dua hadits yang seolah bertentangan ini dikompromi dengan cara takhsis al-‘am alias mengkususkan yang umum, hasilnya adalah sebuah kesimpulan, bahwa tidak setiap hal baru (bid’ah) bersifat sesat, karena Nabi mengatakan ada hal baru yang bersifat baik.
 
Jadi, mengartikan lafadz kullu itu bukan masalah “semua” atau “sebagian”, tetapi ada tidak dalil takhsis (yang mengkhususkannya)? Apabila ada, maka maknanya sebagian, apabila tidak ada maka maknanya setiap atau semua, seperti “kullu dlolalatin fi an-nar”( setiap kesesatan akan masuk neraka), lafadz kullu disini tidak ada dalil lain untuk men-takhsisnya (mengkhsusukan maksudnya) sehingga maknanya “semua” atau “setiap”.
 
Secara aqli atau logika, apabila mengartikan kullu dalam hadits Nabi itu dengan “setiap” atau “semua” maka akan berakibat fatal, karena semua hal baru, baik bersifat keduniaan atau bersifat keagamaan, akan mendapat sifat bid’ah, dan segala sesuatu yang bid’ah akan masuk neraka. Kenapa ? karena redaksi hadits Nabi jelas mengatakan “setiap hal baru adalah bid’ah” tanpa membedakan antara masalah duniawi atau masalah agama;

وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

“Setiap hal baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”
 
Jadi, kalau mau konsisten mengartikan kullu bermakna semua dan tidak mau menerima dalil takhsis, maka mobil, HP, laptop dan semua hal baru yang belum ada di zaman Nabi adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah di Neraka. Tentunya syari’at Islam tidak bermaksud seperti itu.
 
Secara bahasa, kullu juga bisa bermakna semua juga bisa bermakna sebagian, imam al-Fairuz Abadi (w 817 M) seorang Imam ahli lughoh dalam mu’jamnya berkata:

الكل، بالضم: اسم لجميع الأجزاء، للذكر والأنثى، أو يقال: كل رجل، وكلة امرأة، وكلهن منطلق ومنطلقة، وقد جاء بمعنى بعض

“Kullu dengan kaf dhomah, adalah nama bagi semua bagian, baik bagi kata maskulin atau feminim. Ada pula yang mengatakan bagi maskulin kullu bagi feminim kullatu. (dikatakan) Kulluhunna muntholiq atau muntholiqoh. Dan kullu juga bisa bermakna sebagian”. (Mu’jam al-Muhith (1/1053))
 
Begitu juga Murtadho az-Zabidi (w 1205 H) mengatakan dalam kitabnya:
 
قال ابن الأثير: موضع كل، الإحاطة بالجميع، وقد جاء استعماله بمعنى بعض
 
“Berkata Ibnu al-Atsir (w 606 H) (Ulama Lughoh): topik dari lafadz kullu adalah makna yang mencangkup kesuluruhan, dan lafadz kullu juga digunakan untuk makna sebagian”. (Taj al-Arus (30/339))
 
Para ulama, baik ulama fiqih, ulama ushul maupun ulama lughoh (bahasa) bisa memahami bahwa kullu bisa bermakna sebagian karena mempunyai bukti dari al-Qur’an, mereka sangat memahami keluasan bahasa dan keindahan sastra dalam al-Qur’an.
 
Diantara hujah dalam al-Qur’an bahwa lafadz kullu bisa bermakna sebagian adalah ayat-ayat berikut:
 
 وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا 

“Dan di hadapan mereka ada raja yang akan merampas “setiap perahu”” (QS. Al Kahfi ayat 79)
 
Lafadz kullu dalam ayat di atas bermakna sebagian, yaitu raja hanya akan mengambil setiap perahu yang bagus saja, tidak semua perahu, karena perahu yang ditumpangi oleh Nabi Musa tidak diambil oleh raja karena sudah dirusak oleh Nabi Khidir, dan memang seperti itu fakta yang terjadi dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir”
 
 تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ 
 
“(angin) yang menghancurkan “segala sesuatu” dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (QS. Al Ahqof ayat 25)
 
Allah katakan bahwa angin yang dikirim kepada kaum ‘Ad menghancurkan segala sesuatu, padahal kenyataannya bekas-bekas bangunan mereka masih ada, tanah, pepohonan dan gunung-gunung masih ada dan tidak hancur, jelas sudah bahwa maksud kullu dalam ayat di atas adalah sebagian, bukan semua.
 
 إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ 
 
“Sungguh kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugrahi “segala sesuatu” serta memiliki singgasana yang besar”. (QS. An Naml ayat 23)
 
Dalam ayat di atas Allah menghikayatkan ucapan burung Hudhud yang mengatakan bahwa ratu Bilqis dianugrahi segala sesuatu, padahal kenyataanya tidak seperti itu, karena ratu Bilqis tidak dianugrahi kerajaan Nabi Sulaiman. Jelas bahwa lafadz kullu dalam ayat bukan bermakna “semua” tetapi sebagian.
 
Masih banyak lagi ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menjadi hujjah bahwa lafadz kullu tidak selamanya bermakna “setiap” atau “semua” atau “segala”, lafadz kullu bisa bermakna “sebagian” tergantung konteks dan ada tidaknya dalil yang mentakhsis maknanya.
 
Terakhir, penulis ingin menyampaikan, agar cara beragama kita benar, cara memahami dalil-dalil juga benar, maka kembalilah kepada manhaj para ulama, itulah jalan yang lebih selamat.

Penulis : Ustadz Galih Maulana, Lc.

Website : http://www.shulfialaydrus.com/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/  
Instagram : http://www.instagram.com/shulfialaydrus/  
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : https://telegram.me/habibshulfialaydrus/
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/majlisnuurussaadah/   
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus atau http://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/ 
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/  

Donasi atau infak atau sedekah. 
Bank BRI Cab. JKT Joglo. 
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5. 
Penulis ulang : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom. 

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس