Rabu, 17 Juni 2020

MENGAPA SURAT AT-TAUBAH TAK DIMULAI DENGAN BASMALAH?


MENGAPA SURAT AT-TAUBAH TAK DIMULAI DENGAN BASMALAH?

Setiap surat dalam Al-Quran diawali oleh basmalah kecuali dalam surat at-Taubah atau al-Bara'ah. Dalam surat at-Taubah tidak dicantumkan basmalah sebagaimana surat-surat yang lain. Hal demikian menimbulkan pertanyaan banyak kalangan: kenapa hanya surat at-Taubah yang tidak dicantumkan basmalah?

Sejarah penulisan Al-Quran berawal sejak turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad. Namun penulisan Al-Quran pada saat itu dalam kondisi yang sangat terbatas. Nabi setiap kali menerima wahyu, beliau memanggil sekretaris (katib resmi) untuk mendokumentasi wahyu tersebut ke dalam bentuk tulisan. Dukomentasi wahyu ini kemudian dikenal dengan nama mushaf (penulis akan menggunakan kata mushaf). 

Pada masa Utsman bin Affan, mushaf ini kemudian ditulis kembali dalam rangka menjaga dari kesalahan sekaligus menjaga otentesitas variasi bacaan Al-Quran (qira'at Al-Quran). Penulisan masa ini, dilaksanakan oleh tim yang telah mendapatkan rekomendasi dari khalifah Utsman dan persetujuan para pembesar sahabat. Direktur utama dalam penulisan mushaf ini adalah Zaid bin Tsabit. Secara teknis pelaksanaan penulisan inidilakukan secara selektif dan ketat. Setiap ayat yang hendak ditulis harus melalui persaksian dua orang yang mendengar langsung dari Nabi.

Tidak hanya itu saja, Sayyidina Utsman mengeluarkan kebijakan yang luar biasa, yaitu memerintahkan untuk membakar semua mushaf selain mushaf yang ditulis oleh tim. Hal ini dilakukan dalam rangka menyatukan persepsi tentang bacaan Al-Quran yang sesuai bacaan Nabi . Dengan demikian dapat dipastikan bahwa penulisan Al-Quran ini telah tuntas tanpa problem yang berarti. Kembali pada pertanyaan di atas: kenapa dalam surat at-Taubah tidak dicantumkan basmalah, apakah hal ini sesuai petunjuk Nabi, sahabat atau tim penulis mushaf lupa mencantumkannya?. 

Dalam banyak kesempatan, penulis sering mendapat pertanyaan, baik dari kalangan mahasiswa/mahasiswi maupun dari kalangan masyarakat biasa, yang kira-kira hampir sama dengan di atas, yaitu kenapa dalam surat at-Taubah tidak dicantumkan basmalah bahkan tidak diperkenankan membacanya, baik di awal surat maupun di tengah-tengah surat? 

Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas, penulis perlu menjelaskan terlebih dahulu kronologi tidak dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah. 

Ada beberapa sebab yang melatarbelakangi tidak dicantumkannya basmalah dalam surat di atas. Pertama, dalam tradisi Arab jahiliyah dahulu, jika mereka melakukan perjanjian dengan sebuah kaum atau kabilah yang lain dan hendak memutuskan perjanjian tersebut, maka mereka mengirimkan sepucuk surat pemutusan tanpa mencantumkan kalimat basmalah. Pun demikian, ketika umat Islam memutuskan perjanjian dengan orang-orang musyrik, Nabi mengutus Sayyidina Ali untuk membacakan surat di atas (at-Taubah) di hadapan mereka tanpa diawali dengan bacaan basmalah, sesuai adat mereka.

Kedua, Ibnu Abbas bertanya kepada Utsman tentang tidak dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah. Utsman menceritakan kronologinya, bahwa pada masa Nabi, ketika wahyu diturunkan kepadanya, Nabi memanggil salah satu sekretaris beliau untuk mendokumentasinya, dan beliau mendekte penempatan dan tata letaknya. Perlu diketahui bahwa surat al-Anfal termasuk surat yang turunnya awal, sedangkan surat at-Taubah termasuk surat yang turunnya Terakhir, kedua kisah dan penyajiannya kedua surat di atas mirip dan hampir sama. Dalam hal tersebut, Nabi tidak menjelaskan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat at-Taubah. Saya pun (Utsman bin Affan) berkesimpulan bahwa surat al-Anfal bagian dari surat at-Taubah. Oleh karena itu, saya urutkan kedua surat tersebut tanpa mencantumkan basmalah. 

Ketiga, pada kekhalifahan Utsman, para sahabat berselisih pendapat tentang surat at-Taubah. Sebagian sahabat menganggap bahwa antara surat at-Taubah dan al-Anfal adalah satu surat yang tidak terpisahkan. Sebagian sahabat yang lain menganggap bahwa keduanya adalah dua surat yang mandiri. Untuk mendamaikan kedua perselisihan tersebut, Utsman mengambil sikap tengah, yaitu tidak mencantumkan basmalah. Tujuannya adalah agar kedua belah pihak yang berselisih dapat saling menerima. Dari pihak yang menganggap keduanya (al-Anfal dan at-Taubah) satu surat tidak keberatan, karena tidak dicantumkan basmalah. Sedangkan dari pihak yang menganggap keduanya adalah dua surat yang mandiri juga dapat menerima karena beda nama suratnya, meskipun tidak diawali dengan basmalah. 

Keempat, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau bertanya kepada Sayyidina Ali tentang tidak dicantumkannya basmalah dalam surat at-Taubah. Sayyidina Ali menjelaskan bahwa basmalah adalah kalimat aman sementara surat at-Taubah turun sebab perang, tidak aman. Oleh karena demikian, antara aman dan perang tidak dapat disatukan. Demikian pula, dalam basmalah itu terdapat kandungan rahmat, kasih sayang, sedangkan dalam surat at-Taubah terdapat kemarahan. Oleh karena itu, antara rahmat dan kemarahan tidak bisa disatukan. Senada dengan pendapat di atas, Imam al-Sufyan mengatakan bahwa basmalah adalah ayat rahmah, rahmah memiliki arti aman. Sedangkan surat at-Taubah turun kepada orang-orang munafik dan mengandung perang, sebab itu tidak aman bagi orang-orang munafik. 

Dari kronologis di atas dapat disimpulkan bahwa para sahabat sepakat tidak mencantumkan basmalah dalam surat at-Taubah berdasarkan pada periwayatan yang diterima oleh mereka dari Nabi. Pun demikian, Nabi ketika menerima ayat tersebut dari Jibril tidak disertai basmalah. Hal ini juga dibuktikan bahwa tidak ada satu pun ahli qurra’ sab'ah (qira'at tujuh) maupun qurra' asyrah (qira’at sepuluh) yang meriwayatkan membaca basmalah di awal surat at-Taubah. Artinya, mereka sepakat meninggalkan membaca basmalah di awal surat at-Taubah. 

Dalam ilmu qiraat, dasar utama dalam membaca Al-Quran adalah bersumber dari Nabi dan transmisi yang berkesinambungan. Sebab dalam membaca Al-Quran tidak ada istilah qiyas.

  القراءة سنة متبعة يأخذها الأخر عن الأول، ولا قياس في القراءة 

Imam al-Jazariy berkata dalam bentuk gubahan syair:

  لأنه به الإله أنزلا *** وهكذا منه الينا وصلا

Wallahu A'lam. 

(Moh Fathurrozi, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo dan Dai PCINU Korea Selatan)


BOLEHKAH MEMBACA BASMALAH DI TENGAH-TENGAH SURAT AT-TAUBAH?

Berangkat dari pertanyaan pada tulisan pertama, kenapa tidak diperkenankan membaca basmalah dalam surat At-Taubah, baik di awal surat maupun di tengah-tengah surat, apakah larangan ini mengandung arti hukum haram atau sekadar peringatan yang tidak berdampak dosa?


Pada tulisan ini, penulis akan memetakan cara baca antara Surat al-Anfal dengan At-Taubah dan hukum membaca ayat di tengah-tengah surat At-Taubah. 

Dalam ilmu qira'at, ada banyak pendapat tentang cara menyambung antara dua surat; ada yang membaca dengan waqf (berhenti sejenak untuk mengambil napas kira-kira dua detik), ada yang membaca washl (menyambung dua surat tanpa mengambil tarikan napas), ada pula yang membaca sakt (berhenti sejenak menahan tarikan napas kira-kira dua detik), bahkan ada pula yang menyambungnya dengan basmalah atau meninggalkannya. Semua tata cara (thariqah/metode) ini sahih dan mutawatir, baik bagi qurra' sab'ah atau asyrah. Misalnya, Imam Nafi', Imam al-Qurra' Madinah, memiliki kompleksitas bacaan seperti di atas melalui kedua muridnya yang masyhur: Imam Qalun dan Warsy. Berbeda dari Imam 'Ashim, beliau hanya memiliki satu cara baca (satu cara baca memiliki tiga operasional), yaitu menyambung kedua surat dengan basmalah. Meskipun demikian, untuk cara menyambung antara surat al-Anfal dan At-Taubah, para ulama, baik qurra sab'ah (qira'at tujuh) maupun qurra' asyrah (qira'at sepuluh) sepakat, baik secara metode maupun oprasionalnya, yaitu dengan tiga cara; waqaf, washal dan sakt. Ketiga oprasional bacaan ini tanpa membaca basmalah. Berikut contohnya.

Pertama, waqaf, cara mengoprasionalkan bacaan waqaf ini adalah berhenti pada ayat terakhir ( ان الله بكل شيء عليم)  mengambil napas kira-kira dua detik kemudian melanjutkan awal surat At-Taubah. Ketika dalam keadaan berhenti (antara dua surat: al-Anfal dan At-Taubah) seorang qari' boleh menambahkan bacaan isti'adzah. Dalam hal ini, membaca istiadzah dianjurkan.

Kedua, washal, cara mengoprasionalkan bacaan ini adalah menyambung antara kedua surat al-Anfal dan At-Taubah tanpa mengambil tarikan napas, sebagaimana menyambung antar dua ayat yang berdampingan. Dalam hal ini, seorang qari' tidak perlu membaca kalimat istia'adzah.

Ketiga, sakt, cara mengoprasionalkan bacaan ini adalah berhenti sejenak pada ayat terakhir surat al-Anfal dengan menahan napas kira-kira dua detik, kemudian melanjutkan awal surat At-Taubah. Dalam hal ini pula, seorang qari tidak perlu membaca kalimat isti'adzah. 

Demikian merupakan tata cara (motode) dan operasionalnya menyambung antara surat al-Anfal dan At-Taubah. 

Sebelum masuk pada pemetaan hukum membaca basmalah di tengah-tengah surat At-Taubah, terlebih dahulu sebaiknya dipaparkan membaca basmalah di tengah-tengah surat selain surat At-Taubah, agar kita dapat mengetahui secara komprehensif dan dapat menemukan perbandingan hukum.

Secara umum, ulama qurra' (ahli qira'at) sepakat membaca basmalah pada awal setiap surat kecuali surat At-Taubah. Sementara mengawali di tengah-tengah surat selain At-Taubah, ulama qurra' memberikan kelonggaran, yaitu boleh di awali dengan membaca basmalah atau meninggalkannya. Artinya, seorang qari' ketika hendak membaca ayat di tengah-tengah surat selain At-Taubah boleh memilih antara membaca basmalah atau meninggalkannya dengan membaca isti'adzah saja. Namun, alangkah baiknya bagi seorang qari untuk mengawali baca al-Quran dengan basmalah, baik di awal surat maupun di tengah-tengah surat, sebab menambah pembendaharaan pahala.

(Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan “tengah-tengah surat” adalah selain ayat pertama dalam surat).

Hukum Membaca Basmalah pada Surat At-Taubah.

Adapun hukum membaca basmalah di tengah-tengah surat At-Taubah adalah sebagaimana berikut:

Pertama, haram membaca basmalah di awal surat al-Bara'ah atau at-Taubah, dan makruh membaca basmalah di tengah-tengah surat. Pendapat ini diutarakan oleh Imam Ibnu Hajar dan Imam al-Khatib. 

Dasar pengambilan hukum haram ini karena tidak mengikuti petunjuk bacaan yang mutawatir. Artinya, keluar dari pakem dan kesepakatan ulama qurra'. Sementara hukum makruh di tengah-tengah surat At-Taubah karena tidak ada petunjuk resmi larangannya, sehingga untuk mengantisipasi dilakukan larangan yang tidak mengikat, yaitu hukum makruh.

Kedua, makruh membaca basmalah di awal surat At-Taubah dan sunnah membaca basmalah di tengah-tengah surat, sebagaimana membaca basmalah di tengah-tengah surat selain surat At-Taubah. Pendapat ini diutarakan oleh Imam Ramli.

Dasar pengambilan hukum ini (makruh di awal surat) adalah karena tidak ada petunjuk (larangan) resmi dari Nabi maupun sahabat. Sedangkan pengambilan hukum sunnah di tengah-tengah surat adalah karena dianalogikan (qiyas) dengan membaca basmalah di tengah-tengah surat selain At-Taubah. 

Oleh karena itu, dari beberapa pemaparan di atas, dapat disimpulkan sebagaimana berikut:
 
Pertama, membaca basmalah pada awal surat merupakan sunnah yang sangat dianjurkan kecuali surat At-Taubah.

Kedua, membaca basmalah di tengah-tengah surat boleh dilaksanakan atau ditinggalkan. Namun sebaiknya membaca basmalah, sebagaimana tradisi yang berkembang, untuk pembendaharaan pahala.

Ketiga, membaca basmalah di awal surat At-Taubah tidak dianjurkan bahkan dilarang. Sebaiknya jika membaca awal surat At-Taubah cukup membaca isti'adzah saja.

Keempat, membaca basmalah di tengah-tengah surat At-Taubah sebaiknya ditinggalkan meskipun ada yang berpendapat membolehkannya. Hal ini didasarkan pada qiyas (analogi) tidak dianjurkannya membaca di awal surat. Di samping tidak ada petunjuk resmi dari nash. Berkaitan dengan kesimpulan di atas, maka sebaiknya bagi khalayak umat Muslim yang biasa baca diba'an untuk tidak membaca basmalah ketika mengawali bacaan surat At-Taubah terakhir ayat 127, (لقد جاءكم رسول من انفسكم عزيز) cukup diawali dengan isti'adzah saja. Mengingat membaca basmalah di tengah-tengah surat At-Taubah tidak dianjurkan. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Daftar Refrensi:

Al Fadhliy, Abdul Hadi, Al-Qira'at al-Qur'aniyah; Tarikh wa Ta'rif. Beirut: Markas al-Ghadir, 2009.

Al-Dhobba', Al-Idhaah fi Bayan Ushul Al-Qira'at. Mesir: Al-Maktabah Al-Azhariyah li Al-Turats, 1999.

Al- Qadiy, Abd Al-Fattah, Al-Budur Al-Zahirah fi Al-Qira'at Al-Asyrah Al-Mutawatirah. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabiy, tth.

Al- Qadiy, Abd Al-Fattah, Al-Budur Al-Zahirah fi Al-Qira'at Al-Sab'i. Jeddah: Maktabah Al-Suwadiy, 1992.

Al-Qurtubiy, Abu Abdillah Muhammad, Tafsir Al-Qurtubiy. Beirut, Dar Al-Arabiy, tth.

Al-Qatthan, Mabahits fi Ulum Al-Qur'an. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.

(Moh Fathurrozi, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo dan Dai PCINU Korea Selatan)

Website : http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : @shulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/habibshulfialaydrus
LINE : shulfialaydrus         
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
           
Penulis ulang : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس


Larangan (Haram) Melakukan Riba.


Larangan (Haram) Melakukan Riba.

Apa yang Dimaksud dengan Riba?

Secara etimologi, riba berarti tambahan (al fadhl waz ziyadah). (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 350 dan Al Misbah Al Muniir, 3/345). Juga riba dapat berarti bertambah dan tumbuh (zaada wa namaa). (Lihat Al Qomus Al Muhith, 3/423)

Contoh penggunaan pengertian semacam ini adalah pada firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ 

Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bertambah dan tumbuh subur.” (QS. Fushilat: 39 dan Al Hajj: 5) 

Sedangkan secara terminologi, para ulama berbeda-beda dalam mengungkapkannya. 
Di antara definisi riba yang bisa mewakili definis yang ada adalah definisi dari Muhammad Asy Syirbiniy. Riba adalah:

عَقْدٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوصٍ غَيْرِ مَعْلُومِ التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ أَوْ مَعَ تَأْخِيرٍ فِي الْبَدَلَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا

Suatu akad/transaksi pada barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari’at, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya. (Mughnil Muhtaj, 6/309)

Ada pula definisi lainnya seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah, riba adalah:

الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ

Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu. (Al Mughni, 7/492)

Riba adalah menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. (wikipedia.org)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Shabah dan Zuhair bin Harb dan Utsman bin Abu Syaibah mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Abu Az Zubair dari Jabir dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata, "Mereka semua sama." (HR. Muslim No.2995)

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَجَابِرٍ وَأَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Ibnu Mas'ud ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, kedua saksi dan penulisnya. Ia mengatakan; Dalam hal ini ada hadits serupa dari Umar, Ali, Jabir dan Abu Juhaifah. Abu Isa berkata; Hadits Abdullah adalah hadits hasan shahih. (HR. At Tirmidzi No.1127, Daud No.2895)

Rasulullah saw. bersabda :

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali. (HR. Ahmad dan Al Baihaqi)

Rasulullah saw. bersabda :

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

Riba itu ada 73 pintu (dosa), yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya. (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi)

Wallahu a’lam.

Website : http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : @shulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/habibshulfialaydrus
LINE : shulfialaydrus         
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
           
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Rabu, 10 Juni 2020

Sunnah-sunnah sholat.


Sunnah-sunnah sholat.

Sunnah-sunnah shalat adalah perbuatan dan ucapan yang dianjurkan syara’, yang dilakukan/diucapkan Rasulullah dalam sebagian besar shalat beliau, namun jika tidak dikerjakan tidak membatalkan shalat. Banyaknya sunnah shalat menurut Imam Asy Syairozi ada 35, Imam An Nawawi menambah 10, dan ulama lainnya menyatakan lebih banyak lagi bahkan sampai 1000 sunnah.

Sunnah Sebelum Shalat :

1. Adzan. Shalat yang disunnahkan adzan dan iqomah adalah shalat wajib 5 waktu dan sholat Jum’at. Untuk shalat jama’ hanya sunnah adzan di awalnya saja, yang kedua cukup iqomah, sedangkan shalat sunnah tidak disyari’atkan adzan dan iqomah, hanya saja shalat sunnah berjamaah disunnahkan menyeru semisal “shalaatal ‘id rahimakumullaah” (“ayo sholat ‘id moga Allah merahmati kalian”)

Syarat sah adzan: 
1) muwaalah (berlanjut tidak jeda lama),
2) tartiib (berurutan kalimatnya)
3) masuk waktu, kecuali adzan pertama subuh dan adzan pertama jum’at (ada khilaf dalam azan pertama jum’at, yang mu’tamad harus masuk waktu juga)
4) dari satu orang (tidak sah separo-separo),
5) dengan bahasa arab,
6) keras jika untuk berjamaah.

Syarat Muadzzin: 
1) Islam,
2) Tamyiz,
3) Laki-laki. wanita dan khuntsa hanya sunnah iqomat untuk shalat sendiri atau jama’ah kalangan sendiri.
4) tahu akan masuknya waktu.

2. Iqomah.

3. Menempatkan sutroh didepan musholli, bisa berupa dinding, tiang, tongkat (30 cm), garis, atau sajadah.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika keluar untuk shalat ‘ied, beliau meminta sebuah tombak pendek lalu ditancapkannya dihadapannya. Kemudian beliau shalat dengan menghadap ke arahnya, sedangkan orang-orang shalat di belakangnya. Beliau juga berbuat seperti itu ketika dalam bepergian (HR. Bukhari).

4. Mendatangi shalat dengan semangat dan mengosongkan hati dari kesibukan dunia, karena hal tersebut mempermudah untuk khusyu’. Allah mencela orang-orang yang shalat dengan malas.

وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى

Dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas (QS. At Taubah: 54)
Sunnah Saat Shalat:

Sunnah Ab’adh (Jika ditinggalkan baik sengaja atau tidak maka disunnahkan sujud sahwi)
1) Duduk untuk tasyahhud awwal,
3) Membaca shalawat kepada Nabi saat tasyahhud awwal,
4) Shalawat kepada keluarga Nabi saat tasyahhud akhir,
5) Qunut saat i’tidal rakaat kedua shalat subuh dan rakaat terakhir witir di separo akhir bulan Ramadhan.

Sunnah Hai’at (sunnah yang jika ditinggalkan tidak disunnahkan sujud sahwi.) :
1. Mengangkat tangan saat takbirotul ihrom, ruku’, i’tidal, dan bangkit dari tasyahhud awwal. Caranya: mengangkat kedua tangan dengan kedua telapak tangan menghadap kiblat, jari-jari renggang, sejajar dengan bahu dan kedua ibu jari sejajar dengan cuping dua telinga.

أنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika bangkit dari rukuk dengan mengucapkan: ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya. Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian) ‘. Beliau tidak melakukan seperti itu ketika akan sujud.” (HR. Bukhari)

2. Bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di pergelangan tangan kiri saat berdiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Wâ-il bin Hujr:

أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى

“Bahwasanya dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika masuk shalat, bertakbir.” Hammam menggambarkannya, “Di hadapan kedua telinganya, kemudian melipatnya pada bajunya kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.

3. Memandang ketempat sujud, kecuali saat tasyahhud maka memandang telunjuk yang memberi isyarat, juga saat shalat jenazah melihat ke jenazah.

4. Membaca do’a iftitah, baik shalat wajib maupun sunnah, shalat sendiri maupun berjamaah, imam maupun makmum; dengan syarat :
1) belum membaca Al Fatihah, basmalah ataupun ta’awwudz,
2) mendapati imam masih berdiri,
3) tidak khawatir tertinggal membaca al fatihah jika membaca do’a iftitah,
4) bukan shalat jenazah,
5) tidak khawatir habis waktu shalat (jika shalatnya diakhir waktu).

Ada beberapa redaksi yang bisa dibaca. Diantaranya riwayat Imam Muslim dari Ali bin Abu Thalib bahwa apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat, beliau membaca (do’a iftitah) sebagai berikut:

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ  الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ.
اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Aku hadapkan wajahku kepada Allah, Maha pencipta langit dan bumi dengan keadaan ikhlas dan tidak mempersekutukanNya. Sesungguhnya shalatku, segala ibadahku, hidupku dan matiku, hanya semata-mata untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya, dan karena itu aku patuh kepada perintahNya, dan berserah diri kepadaNya.
Ya Allah, Engkaulah Maha Penguasa. Tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku telah menzhalimi diriku dan aku mengakui dosa-dosaku. Karena itu ampunilah dosa-dosaku semuanya. Sesungguhnya tidak ada yang berwenang untuk mengampuni segala dosa melainkan Engkau. Dan tunjukilah kepadaku akhlak yang paling bagus. Sesungguhnya tidak ada yang dapat menunjukkannya melainkan hanya Engkau. Dan jauhkanlah akhlak yang buruk dariku, karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup menjauhkannya melainkan hanya Engkau. Labbaik wa sa’daik (Aku patuhi segala perintahMu, dan aku tolong agamaMu). Segala kebaikan berada di tanganMu. Sedangkan kejahatan tidak datang daripadaMu. Aku berpegang teguh denganMu dan kepadaMu. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Kumohon ampun dariMu dan aku bertobat kepadaMu”
Riwayat al Bukhary dan Muslim:

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju dan es yang dingin”

5. Membaca ta’awwudz (أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) sebelum membaca al fatihah. Jika sudah membaca bismillah berarti terlewat sunnah ta’awwudz dan tidak diulang[.
Disunnahkan membaca ta’awwudz di tiap-tiap rakaat sebelum membaca al Fatihah.

6. Menyaringkan dan memelankan bacaan pada tempatnya. Sunnah bagi imam dan munfarid menyaringkan bacaan pada shalat shubuh, dua rakaat pertama shalat maghrib dan isya’, shalat ‘iedain, gerhana bulan, istisqa, tarawih dan witir.

7. Membaca “Aamiin” (kabulkanlah wahai Allah), setelah membaca al fatihah, bagi imam dan makmum dan munfarid.


9. Membaca ayat al Qur’an setelah membaca al Fatihah, pada rakaat pertama dan kedua, ini berlaku bagi imam dan munfarid, begitu juga sunnah bagi makmum jika tidak mendengar bacaan imam. Afdholnya 3 ayat atau lebih, begitu juga afdhol membaca surat-surat sebagaimana yang ada dalam riwayat bacaan Rasulullah dalam shalat beliau, seperti membaca surah as sajadah dan al insan pada shubuh Jum’at, dst.

10. Memanjangkan bacaan al Qur’an pada rakaat pertama lebih dari rakaat kedua.

11. Takbir intiqâl (perpindahan); ketika akan ruku’, akan sujud, dan akan bangun dari sujud dengan lafadz: “Allaahu Akbar”. Permulaan takbir disunnatkan bersamaan dengan awal turun atau naiknya anggota/tubuh, dan memanjangkan takbir sampai sempurnanya rukun yang akan dikerjakan setelahnya. Pemanjangan takbir dilakukan dengan memanjangkan lâm-nya lafal Allâh asal tidak melebihi tujuh alif.

12. Meletakkan telapak tangan ke lutut ketika ruku’ sembari meratakan punggung dan leher.

13. Tasmi’ ketika i’tidal, yakni membaca “sami’allaahu li man hamidah”, bagi imam, makmum maupun munfarid.

14. Membaca tasbih saat ruku’ dan sujud. Saat ruku’ membaca tiga kali: سبحان ربي العظيم وبحمده sedangkan saat sujud membaca tiga kali : سبحان ربي الأعلى وبحمده

15. Mendahulukan meletakkan lutut ke lantai saat sujud, kemudian kedua tangan, baru dahi.

16. Meletakkan hidung ke lantai saat sujud.

17. Berdo’a diantara dua sujud.

18. Meletakkan kedua tangan pada kedua paha pada saat dua tasyahhud. Caranya: telapak tangan kiri terbuka, jari-jari rapat diletakkan menyamai pangkal lutut sebelah kiri, tangan kanan menggenggam kecuali jari telunjuk, jempol diletakkan dibawah telunjuk sehingga terbentuk genggaman “53”, jari telunjuk diangkat saat mengucap “illallaah” sebagai isyarat tauhid dan sunnat begitu hingga akhir shalat pada tasyahhud akhir.

كَانَ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى

“Jika beliau saw duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya diatas paha kanannya dan beliau genggam semua jari jemarinya sambil memberi isyarat dengan jari sebelah jempol (telunjuk), beliau juga meletakkan telapak tangan kirinya diatas paha kirinya.” (HR. Muslim)

19. Duduk tawarruk pada tasyahhud akhir dan iftirosy pada duduk yang lainnya,
Imam al Bukhary meriwayatkan dari Abu Humaid:

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ الْيُمْنَى فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ

Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kananya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya

20. Membaca shalawat Ibrahimiyyah dan berdo’a setelah tasyahhud akhir. Jika do’anya ngarang sendiri, maka harus dengan bahasa Arab, jika dengan bahasa bukan Arab maka batal sholatnya.

21. Niat berhenti shalat saat salam yang pertama.

22. Salam yang kedua. Cara salam: memulainya dengan wajah menghadap kiblat, memulai menoleh sekira huruf mim nya “‘alaikum” dan berakhir tolehannya saat berakhir salam, pipi hendaknya sekira terlihat oleh orang yang dibelakang.

23. Khusyu’ dalam keseluruhan shalat, yakni tenangnya anggota beserta hadirnya hati dan mentadabburi bacaan, hendaknya berusaha senantiasa menghadirkan hati, jika ‘melayang’ kemana-mana maka segera hadirkan kembali. Jika tidak mampu, minimal pada tiga tempat: saat “wajjahtu wajhiya” , “iyyaaka na’budu…nasta’iin”, dan “assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu … wabarokaatuh.

Allahu A’lam.

Untuk lebih jelasnya agar duduk di majelis Ta’lim atau bertanya kepada ustadz atau ulama setempat bila ada yang kurang jelas atau kurang mengerti yang membutuhkan penjelasan dengan cara parakteknya, karena tidak semua ilmu dapat di pelajari dan didapat dengan media social ataupun internet kecuali dengan kita hadir di majelis Ta’lim ataupun bertatap muka langsung dengan guru.

(Referensi dari berbagai sumber).

Website : http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : @shulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/habibshulfialaydrus
LINE : shulfialaydrus         
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
           
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس