Senin, 27 Januari 2020

Pertanyaan tentang adzan dan iqamah bagi bayi yang baru lahir.


Pertanyaan tentang adzan dan iqamah bagi bayi yang baru lahir.

Pertanyaan :

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,

Ustadz, bagaimana sebenarnya hukum mengumandangkan adzan dan iqamah bagi bayi yang baru lahir? Benarkah tidak ada dasar tuntunannya yang sahih? Dan apakah kita boleh belajar agama Islam lewat mesin pencari Google?

Demikian, terima kasih atas pencerahannya.

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Masalah adzan di telinga bayi ini adalah masalah khilafiyah, ada sebagian yang memandangnya mustahab dan sunnah, dimana sebenarnya cukup banyak ulama yang berpendapat sunnahnya adzan di telinga bayi. Karena urusan shahih tidaknya hadits adalah masalah yang masih diperdebatkan di antara para ahli hadits sendiri.

Namun tidak bisa dipungkiri ada juga tidak mau mengadzani bayi yang baru lahir, dengan beberapa alasan. Yang paling masuk akal karena dianggapnya tidak ada hadits shahih bisa dijadikan dasar. Sekilas pandangan ini bisa diterima, walaupun kalau kita kaji lebih dalam, sebenarnya pendapat ini masih kurang lengkap dan terburu-buru mengambil kesimpulan. Setidaknya para ulama masih berbeda pendapat atas hukumnya.

Selain itu juga ada alasan yang tidak bisa diterima syariah, yaitu pandangan yang sampai kepada vonis bahwa mengadzani bayi itu haram dan bid'ah, dengan alasan bahwa adzan itu hanya untuk memanggil orang shalat.

Kenapa pandangan yang seperti itu tidak bisa diterima syariah?

Karena ternyata sebagian ulama, khususnya para ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah memandang bahwa selain berfungsi untuk memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah, adzan juga boleh dikumandangkan dalam konteks di luar shalat.

Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama ahli fiqih kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada beberapa even kejadian lainnya. Dan salah satunya adalah untuk mengadzan bayi yang baru lahir. (Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhzdzdzab, jilid 9 hal. 348)

Bukankah Hadits Adzan Bayi Itu Tidak Shahih?

Kalau kita belajar syariat Islam lewat kaidah yang benar, khususnya lewat ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih, sekedar ada klaim bahwa sebuah hadits itu tidak shahih, sebenarnya tidak cukup untuk menarik kesimpulan bahwa sebuah perbuatan itu bid'ah. Mengapa?

Banyak orang kurang mengerti bahwa shahih tidaknya suatu hadits itu sendiri cuma hasil 'rekayasa' manusia biasa. Keshahihan suatu hadits itu bukan wahyu, sama sekali bukan datang dari Nabi Muhammad SAW. Beliau SAW tidak pernah menetapkan suatu hadits itu shahih atau tidak shahih. Malaikat Jibril pun tidak memberikan informasi tentang shahih tidaknya suatu hadits.

Lalu kalau bukan dari Nabi SAW, siapa yang boleh dan berhak menentukan keshahihan suatu hadits?

Jawabnya adalah para ahli hadits, yang dalam hal ini sering disebut sebagai muhaddits. Mereka adalah manusia biasa yang ketika memfatwakan suatu hadits, sama sekali tidak menggunakan wahyu melainkan semata-mata menggunakan akal. Jadi shahih tidaknya suatu hadits semata-mata merupakan hasil ijtihad akal semata.

Dan salah satu buktinya ternyata keshahihan suatu hadits agak jarang disepakati oleh para muhaddits. Yang paling sering terjadi adalah suatu hadits dishahihkan oleh satu muhaddits, sementara ada sekian muhaddits lain tidak menshahihkan. Begitu juga sebaliknya, satu hadits dianggap dhaif oleh satu muhaddits, sementara di tempat lain ada puluhan muhaddits menshahihkannya.

Maka sebagai orang awam yang baru berkenalan dengan agama Islam, wajib hukumnya mengetahui dasar-dasar ilmu hadits, agar jangan sampai malah jadi penyesat umat Islam dengan pemahaman yang dangkal dan menampakkan kekosongan ilmu agama.

Ulama Syariah Sangat Mengerti Hadits.

Kalau kita mau tahu siapakah ulama hadits yang paling tinggi derajat keilmuannya, ternyata bukan Bukhari atau Muslim. melainkan para ulama empat mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.

Kenapa mereka lebih tinggi derajat keilmuannya dari Bukhari dan Muslim?

Jawabnya karena ilmu yang mereka milik bukan sebatas mengetahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak. Tetapi lebih jauh dari itu, mereka juga menyusun kaidah dan ketentuan, kapan suatu hadits bisa diterapkan untuk satu kasus dan kapan tidak bisa diterapkan. Dan tolok ukurnya bukan semata keshahihan, tetapi ada lusinan pertimbangan lainnya.

Maka para fuqaha dan mujtahid itu lebih tinggi dan lebih luas ilmunya dari sekedar menjadi ulama muhaddits biasa.

Hadits-hadits Tentang Adzan di Telinga Bayi.

Setidaknya ada tiga hadits yang menjadi dasar masyru'iyah dalam melantunkan adzan untuk bayi yang baru lahir.

1. Hadits Pertama.

رَوَى أَبُو رَافِعٍ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ  أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ

Abu Rafi meriwayatkan : Aku melihat Rasulullah SAW mengadzani telinga Al-Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim)

Secara status hadits, Al-Imam At-Tirmizy menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih. Demikian juga Al-Imam Al-Hakim menyebutkan keshahihan hadits ini juga.

Al-Imam An-Nawawi juga termasuk menshahihkan hadits ini sebagaimana tertuang di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab.

2. Hadits Kedua.

مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

Orang yang mendapatkan kelahiran bayi, lalu dia mengadzankan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan. (HR. Abu Ya’la Al-Mushili)

Ummu shibyan adalah sebutan untuk sejenis jin yang mengganggu anak kecil.

Hadits inilah yang dijadikan titik perbedaan pendapat. Sebagian ulama hadits menerima hadits ini meski ada kelemahan. Al-Imam Al-Baihaqi sendiri memang mengatakan bahwa dalam rangkaian perawinya ada kelemahan. Namun beliau justru menggunakan hadits yang ada kelemahan ini sebagai penguat atau syawahid dari hadits shahih lainnya.

Walhasil sebenarnya kalau pun hadits ini dianggap dhaif dan tidak bisa dijadikan dasar pengambilan hukum, tentu tidak mengapa. Sebab masih ada hadits lain yang shahih dan disepakati ulama keshahihannya. Posisi hadits yang lemah ini sekedar menjadi syawahid saja.

Sedangkan Al-Albani bukan hanya mendhaifkan tetapi malah bilang bahwa hadits ini palsu (maudhu'), di dalam kitab Silsilah Ahadits Adh-Dha'ifah (Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits Ad-Dha'ifah, jilid 1 hal. 320 ) maupun dalam kitab Al-Irwa' Al-Ghalil. (Al-Albani, Irwa' Al-Ghalil, jilid 4 hal. 401)

Dan hanya berdasarkan kepalsuan hadits ini, hukum adzan di telinga bayi pun juga dianggap bid'ah dan terlarang.

3. Hadits Ketiga.

عَنِ ابْنِ عَباَّسٍ  أَنَّ النَّبِيَّ  أَذَّنَ فيِ أُذُنِ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ وُلِدَ وَأَقَامَ فيِ أُذُنِهِ اليُسْرَى

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW melantunkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan, dan melantunkan iqamah di telinga kirinya. (HR. Al-Baihaqi)

Inti dari masalah ini, ternyata para ulama ahli hadits sendiri berbeda pendapat tentang status keshahihan masing-masing hadits. Dan mereka juga berbeda pendapat tentang apakah bisa digunakan sebagai dasar hukum atau tidak.

Pendapat Yang Mendukung Adzan di Telinga Bayi.

1. Ulama Mazhab Empat.

Umumnya para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan adzan untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga kirinya.

Selain mazhab Asy-Syafi’iyah, umumnya ulama tidak menyunnahkannya, meski mereka juga tidak mengatakannya sebagai bid’ah. Mazhab Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab fiqih mereka, tanpa menekankannya.

Namun mazhab Al-Malikiyah memkaruhkan secara resmi dan mengatakan bahwa adzan pada bayi ini hukumnya bid’ah. Walau pun ada sebagian ulama dari kalangan Al-Malikiyah yang membolehkan juga. (Nihayatul Muhtaj jilid 3 hal. 133)

2. Pendapat Umar bin Abdul Aziz.

Diriwayatkan daam kitab Mushannaf Abdurrazzaq bahwa Umar bin Abdul Aziz apabila mendapatkan kelahiran anaknya, beliau mengadzaninya pada telinga kanan dan mengiqamatinya pada telinga kiri. (Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 4 hal. 336)

3. Pendapat Ibnu Qudamah.

Ibnu Qudamah sebagai salah satu icon ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan tentang masalah ini di dalam kitab fiqihnya yang fenomenal, Al-Mughni.

قال بعض أهل العلم: يستحب للوالد ‏أن يؤذن في أذن ابنه حين يولد

Sebagian ahli ilmu berpendapat hukumnya mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan adzan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan. (Ibnu Qudamah, jilid 11 hal, 120)

4. Pendapat Ibnul Qayyim.

Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menuliskan dalam kitabnya, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, bahwa adzan pada telinga bayi dilakukan dengan alasan agar kalimat yang pertama kali didengar oleh seorang anak manusia adalah kalimat yang membesarkan Allah SWT, juga tentang syahadatain, dimana ketika seseorang masuk Islam atau meninggal dunia, juga ditalqinkan dengan dua kalimat syahadat. (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, hal.22.)

5. Pendapat Syeikh Abdullah bin Baz.

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang mengadzani bayi pada telinga kanan dan mengiqamati pada telinga kiri, beliau menjawab sebagaimana tertuang dalam situsnya :

هذا مشروع عند جمع من أهل العلم وقد ورد فيه بعض الأحاديث وفي سندها مقال فإذا فعله المؤمن حسن لأنه من باب السنن ومن باب التطوعات

Ini perbuatan masyru' (disyariatkan) menurut pendapat semua ahli ilmu dan memang ada dasar haditsnya, meskipun dalam sanadnya ada perdebatan. Tetapi bila seorang mukmin melakukannya maka hal itu baik, karena merupakan bagian dari pintu sunnah dan pintu tathawwu'at. (http://www.binbaz.org.sa/mat/9646)

Pendapat Yang Tidak Membolehkan.

Umumnya semua pendapat yang tidak membenarkan adzan di telinga bayi kalau kita runut kembali kepada satu tokoh, yaitu Nashiruddin Al-Albani, sebagaimana yang tertuang dalam kitab Silsilah dan Irwa' di atas.

Sejatinya beliau bukan ulama syariah (fiqih) dan sebenarnya ilmu haditsnya agak sedikit diperdebatkan di kalangan guru besar hadits masa kini. Tentu saja selalu ada murid-muridnya yang selalu membela gurunya dan kebetulan beliau rajin menulis buku.

Kebetulan pula oleh para murid dan pembelanya, tulisan-tulisannya banyak diupload di internet dan memenuhi mesin pencari Google. Sehingga kalau ada orang awam yang tidak mengerti syariah mencari dengan Google, tulisan-tulisan yang membela pendapat Al-Albani terasa lebih dominan.

Hati-hati Belajar Agama Islam Lewat Internet Google.

Di luar masalah perbedaan pendapat antara yang mendukung adzan dan tidak mendukung, ada satu hal yang perlu kita perhatikan, yaitu hati-hati belajar agama Islam lewat internet atau Google.

Internet itu teknologi buatan manusia, fungsinya memang luar biasa karena bisa menyatukan begitu banyak manusia di dunia ini lewat alam maya. Dan Google sendiri adalah sebuah 'keajaiban' di dalam dunia modern ini. Karena apapun yang tertuang di internet, Google bisa mencarinya. Termasuk salah satunya informasi tentang agama Islam. Banyak orang bisa memanfaatkan mesin pencari yang satu ini untuk mendapat ilmu agama.

Tetapi harus pula disadari bahwa Google itu bukan ahli fiqih dan bukan ahli hadits. Google cuma robot yang bisa mencari data di jagat alam maya, tanpa bisa memilah mana data sampah dan mana data yang valid.

Kalau ada sejuta orang menulis di internet bahwa babi itu halal, dan cuma ada sepuluh orang menulis bahwa babi itu haram, maka berdasarkan mesin pencari Google, hukum babi itu jadi halal. Kenapa ? Karena hasilnya lebih banyak yang bilang halal dari pada yang bilang haram.

Google tidak bisa membedakan mana tulisan para ulama yang ahli di bidang ilmu syariah, dan mana tulisan orang yang awam dengan agama. Dalam beberapa sisi, 'demokrasi' ala Google ini agak menyesatkan juga. Maka kita tidak boleh menyerahkan agama kita secara pasrah bongkokan kepada Mbah Google.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

(Dijawab Oleh Ahmad Sarwat, Lc., MA.)

Website : http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Instagram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : @habibshulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Pin BBM : D45BD3BE
Pin BBM Channel Majelis Ta’lim Nuurus Sa’aadah : C003BF865
Facebook : https://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.

Penulis ulang : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس


Hukum Beramal Dengan Hadits Dha’if.


Hukum Beramal Dengan Hadits Dha’if.

Ada juga yang membidahkan amal ibadat yang berdalilkan Hadits dha’if.

Pendapat yang macam begini adalah keliru kalau tidak akan dikatakan salah besar.

Hadith yang dha’if bukanlah Hadits yang maudu’ (hadits dibuat buat), tetapi hanya Hadits yang lemah sanadnya, dan bukan Hadits yang tidak benar, bukan Hadits bohong, kerana asalnya dari Nabi juga. Hadits yang dikatakan dha’if atau lemah ini ialah Hadits yang derajatnya kurang sedikit dari Hadits Shahih atau Hadits Hasan.

Hal ini dapat dicontohkan umpamanya kepada sebuah Hadits dari Nabi, kemudian turun kepada Mansur, turun lagi kepada Zeid, turun lagi kepada Khalid dan akhirnya turun kepada Ibnu Majah atau Abu Daud.

Ibnu Majah atau Abu daud membukukan Hadits itu dalam kitabnya.

Kalau orang yang bertiga tersebut, yaitu Mansur, Zeid dan Khalid terdiri dari orang baik-baik, dengan arti baik perangainya, saleh orangnya, tidak pelupa hafalannya, maka haditsnya itu dinamai hadits shahih.

Tetapi kalau ketiganya atau salah seorang dari padanya terkenal dengan akhlaknya yang kurang baik, umpamanya pernah makan di jalanan, pernah buang air kecil berdiri, pernah suka lupa akan hafalannya, maka haditsnya dinamai Hadits dha’if (lemah).

Pada hakikatnya Hadits yang semacam ini adalah dari Nabi juga, tetapi “sanadnya” kurang baik. Bukan Haditsnya yang kurang baik.

Ada lagi yang menyebabkan Hadits itu menjadi dha’if, ialah hilang salah seorang daripada rawinya.Umpamanya seorang Thabi’in yang tidak berjumpa dengan Nabi mengatakan : Berkata Rasulullah, pada hal ia tidak berjumpa dengan Nabi.

Hadits ini dinamai Hadits Mursal, yaitu Hadist yang dilompatkan ke atas tanpa melalui jalan yang wajar. Hadits ini ialah dha’if juga.

Dan banyak lagi yang menyebabkan dan membikin sesuatu Hadits menjadi dha’if atau lemah.

Tentang memakai Hadits dha’if untuk dijadikan dalil, terdapat perbedaan pendapat di antara Imam-imam mujtahid, yaitu :

1. Dalam madzhab syafi’I Hadits dha’if tidak dipakai untuk dalil bagi penegak hukum, tetapi dipakai untuk dalil bagi “ fadhailul a’mal”. Fadhailul A’mal maksudnya ialah amal ibadat yang sunat-sunat, yang tidak bersangkut dengan orang lain, seperti dzikir, doa, tasbih, wirid dan lain- lain.Hadits Mursal tidak dipakai juga bagi penegak hukum dalam madzhab Syafi’e kerana Hadits Mursal juga Hadits dha’if. Tetapi dikecualikan mursalnya seorang Thabi’in bernama Said Ibnul Musayyab.

2. Dalam madzhab Hambali lebih longgar. Hadits dha’if bukan saja dipakai dalam Fadhailul A’mal, tetapi juga bagi penegak hukum, dengan syarat dha’ifnya itu tidak keterlaluan.

3. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad memakai Hadits yang dha’if kerana Mursal, baik untuk Fadhailul A’mal mahupun bagi penegak hukum.
Nah, di sini nampak bahwa Imam-imam Mujtahid memakai Hadits-hadits dha’if untuk dalil kerana Hadits itu bukanlah Hadits yang dibuat-buat, tetapi hanya lemah saja sifatnya.

Kerana itu tidaklah tepat kalau amal-amal ibadat yang berdasarkan kepada Hadits dha’if dikatakan bid’ah, apalagi kalau dikatakan bid’ah dhalalah.

Dipetik dari buku 40 Masalah Agama Jilid ke 3 oleh K.H. SIRADJUDDIN ABBAS.

Website : http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Instagram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi   
Telegram : @habibshulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Pin BBM : D45BD3BE       
Pin BBM Channel Majelis Ta’lim Nuurus Sa’aadah : C003BF865
Facebook : https://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.

Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس


Rabu, 15 Mei 2019

Macam-macam kunci surga.


Macam-macam kunci surga.

1. Memperbanyak membaca LAA ILAAHA ILLALLAAHU MUHAMMADUR ROSUULULLAH.

Dari Anas bin Malik ra., ia berkata :

كَانَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُعاذٌ رَدِيفُهُ عَلَى الرَّحْلِ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ يَا مُعَاذُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثَلَاثًا قَالَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوا قَالَ إِذًا يَتَّكِلُوا وَأَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا

Suatu hari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam sedang menunggang tunggangannya dan Mu’adz ra. membonceng di belakangnya. Nabi berseru, “Wahai Mu’adz bin Jabal!” Mu’adz menjawab seruan Nabi, “Labbaika ya Rasulullah wa sa’daik!” Nabi berseru kembali, “Wahai Mu’adz!” Dan Mu’adz menjawab seruan beliau, “Labbaika ya Rasulullah wa sa’daik!” Rasulullah ulang seruannya sebanyak 3 kali, lantas beliau bersabda, “Tak seorangpun yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, dan persaksian ini benar berasal dari hatinya, melainkan Allah haramkan ia dari api neraka.” Mu’aadz bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku khabari manusia dengan berita ini hingga mereka bersuka hati?” Rasulullah bersabda, “Kalau begitu mereka akan menjadi pasrah.” Maka Mu’adz pun memberitahukan hadits ini ketika ia akan wafat karena takut berdosa (telah menyembunyikan ilmu, -pent).” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مفتاح الجنة شهادة أن لا اله إلا الله

Pembuka (pintu) surga adalah kalimat syahadat LAA ILAAHA ILLALLAAHU. (HR. Al Bazzar dalam Musnad No.2660)

وقال صلى الله عليه وسلم: مَنْ قَالَ لا إلٰهَ إلاَّ الله خَالِصا مُخْلِصا دَخَلَ الجَنَّةَ

Nabi saww. bersabda: “Barangsiapa membaca LAA ILAAHA ILLALLAHU dengan ikhlas semata-mata karena Allah, maka dia masuk surga”. (HR. Ath Thabrani, Kitab Lubabul Hadits)

2. Memperbanyak membaca LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAAH.

Dari Mu’adz bin Jabal ra.,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ألا أدلك على باب من أبواب الجنة قلت بلى قال لا حول ولا قوة إلا بالله

Maukah engkau aku tunjukkan salah satu pintu dari pintu-pintu surga? Aku menjawab, “Ya mau” Rasulullah bersabda, “LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAAH (Tidak ada daya dan upaya (kekuatan) kecuali dengan Allah)”. (HR. Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir mengatakan hadits ini hasan lighairihi)

3. Mengerjakan sholat.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ زَنْجَوَيْهِ الْبَغْدَادِيُّ وَغَيْرُ وَاحِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ قَرْمٍ عَنْ أَبِي يَحْيَى الْقَتَّاتِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ الصَّلَاةُ وَمِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الْوُضُوءُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Zanjawih Al Baghdadi dan tidak hanya satu, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Qarn dari Abu Yahya Al Qattat dari Mujahid dari Jabir bin Abdullah Radliaallahu 'anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kunci surga adalah shalat, sedang kunci shalat adalah wudhu." (HR. At Tirmidzi No.4 dan Ahmad No.14135)

4. BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM.

Al Habib Abdullah bin Muhsin Al Atthas rhm. (Empang Bogor) berkata :
Apakah kalian mengetahui kunci-kunci surga itu? Ketahuilah bahwa kunci surga yang sebenarnya adalah BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM.

Website : http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Instagram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi   
Telegram : @habibshulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Pin BBM : D45BD3BE       
Pin BBM Channel Majelis Ta’lim Nuurus Sa’aadah : C003BF865
Facebook : https://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.

Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس


Rabu, 06 Juni 2018

Tentang Qodho Sholat.


Majelis Nuurus Sa’aadah.

Tentang Qodho Sholat.

Pertanyaan :

Assalamu'alaikum, Bagaimana caranya menggantikan shalat yang tertinggal?

Jawaban :

Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh.

Dibawah ini kami uraikan ketentuan-ketentuan hukum dan cara mengqodho' sholat :

1. Kewajiban mengqodho' sholat yang ditinggalkan.

Orang yang wajib mengerjakan sholat, kemudian ia tidak mengerjakannya sampai waktunya habis, maka ia diwajibkan mengqodho' sholat yang ia tinggalkan,

berdasarkan sabda Nabi ;

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ

"Barang siapa yang lupa mengerjakan sholat, maka hendaklah ia melaksanakannya jika telah mengingatnya, tidak ada tebusan baginya kecuali itu." (Shohih Bukhori, no.597 dan Shohih Muslim, no.684)

Dalam riwayat lain dijelaskan ;

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ، أَوْ غَفَلَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan sholat tersebut ketika ia ingat." (Shohih Muslim, no.684)

2. Bergegas mengqodho' sholat.

Dan diperbolehkan mengakhirkan qodho' sholat yang ditinggalkan, apabila sholat tersebut ditinggalakan karena ada udzur, seperti ketiduran. Ketentuan ini didasarkan pada hadits nabi ;

عَنْ عِمْرَانَ، قَالَ: كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا فِي آخِرِ اللَّيْلِ، وَقَعْنَا وَقْعَةً، وَلاَ وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ المُسَافِرِ مِنْهَا، فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْسِ، وَكَانَ أَوَّلَ مَنِ اسْتَيْقَظَ فُلاَنٌ، ثُمَّ فُلاَنٌ، ثُمَّ فُلاَنٌ - يُسَمِّيهِمْ أَبُو رَجَاءٍ فَنَسِيَ عَوْفٌ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ الرَّابِعُ - وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَامَ لَمْ يُوقَظْ حَتَّى يَكُونَ هُوَ يَسْتَيْقِظُ، لِأَنَّا لاَ نَدْرِي مَا يَحْدُثُ لَهُ فِي نَوْمِهِ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ عُمَرُ وَرَأَى مَا أَصَابَ النَّاسَ وَكَانَ رَجُلًا جَلِيدًا، فَكَبَّرَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ، فَمَا زَالَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى اسْتَيْقَظَ بِصَوْتِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي أَصَابَهُمْ، قَالَ: «لاَ ضَيْرَ - أَوْ لاَ يَضِيرُ - ارْتَحِلُوا»، فَارْتَحَلَ، فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ، ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِالوَضُوءِ، فَتَوَضَّأَ، وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ، فَصَلَّى بِالنَّاسِ

"Dari 'Imron, ia berkata, Kami pernah dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kami berjalan di waktu malam hingga ketika sampai di akhir malam kami tidur, dan tidak ada tidur yang paling enak (nyenyak) bagi musafir melebihi yang kami alami. Hingga tidak ada yang membangunkan kami kecuali panas sinar matahari. Dan orang yang pertama kali bangun adalah si fulan, lalu si fulan, lalu seseorang yang Abu 'Auf mengenalnya namun akhirnya lupa. Dan 'Umar bin Al Khaththab adalah orang keempat saat bangun, Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila tidur tidak ada yang membangunkannya hingga beliau bangun sendiri, karena kami tidak tahu apa yang terjadi pada beliau dalam tidurnya. Ketika 'Umar bangun dan melihat apa yang terjadi di tengah banyak orang (yang kesiangan) -dan 'Umar adalah seorang yang tegar penuh keshabaran-, maka ia bertakbir dengan mengeraskan suaranya dan terus saja bertakbir dengan keras hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbangun akibat kerasnya suara takbir 'Umar. Tatkala beliau bangun, orang-orang mengadukan peristiwa yang mereka alami. Maka beliau bersabda: Tidak masalah, atau tidak apa dan lanjutkanlah perjalanan. Maka beliau meneruskan perjalanan dan setelah beberapa jarak yang tidak jauh beliau berhenti lalu meminta segayung air untuk wudlu, beliau lalu berwudlu kemudian menyeru untuk shalat. Maka beliau shalat bersama orang banyak." (Shohih Bukhori, no.344)

Namun disunatkan untuk bergegas mengqodho' sholat yang ditinggalkan karena adanya udzur. Sedangkan apabila sholat tersebut ditinggalkan tanpa adanya udzur maka diwajibkan untuk segera mengqodho' sholat yang ditinggalkan menurut pendapat yang shohih.

3. Urutan qodho' sholat.

Apabila sholat yang ditinggalkan lebih dari satu, disunatkan untuk mengqodho' sholat-sholat tersebut berurutan, sesuai dengan waktunya. Kesunatan ini didasarkan pada hadits ;

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ، جَاءَ يَوْمَ الخَنْدَقِ، بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي العَصْرَ، حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا» فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى العَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ

“Dari Jabir bin Abdillah rodhiyallohu’anhuma, bahwasannya Umar bin Khottob rodhiyallohu’anhu datang pada hari peperangan Khondaq setelah matahari akan tenggelam, lalu beliau mulai mencerca orang-orang kafir Quraisy (karena menyebabkan para sahabat terlambat sholat ashar), beliau berkata: “Wahai Rosulullah, aku belum melakukan sholat ashar padahal matahari hampir tenggelam.” Nabi shollallohu’alaihi wa sallam bersabda: “Aku pun belum sholat ashar.” Maka kami bangkit menuju lembah buthhan, lalu Nabi shollallohu’alaihi wa sallam berwudhu untuk sholat, kami pun ikut berwudhu, lalu Rosulullah shollallohu’alaihi wa sallam melakukan sholat ashar setelah matahari terbenam (di waktu maghrib), kemudian setelah itu beliau sholat maghrib.” (Shohih Bukhori, no.596)

4. Tata cara sholat qodho'.

Cara mengerjakan sholat qodho' itu sama saja dengan sholat ada' (sholat yang dikerjakan pada waktunya) dalam semua hal, mulai dari syarat sah sampai rukun-rukunnya. Sedikit perbedaannya terletak pada niatnya, dalam sholat qodho' disunatkan untuk mengganti kata "ada'an" dengan kata "qodho'an". Namun, hal ini tidak wajib, sebab dalam madzhab syafi'i tidak diwajibkan untuk menyinggung ada' atau qodho' ketika niat, hanya saja penambahan kata "qodho'an" dianjurkan untuk menghindari perselisihan seputar diwajibkannya penambahan tersebut.

(Dijawab oleh : Siroj Munir, Naufal Al Barinji Sebuah Manuskrip Kehidupan dan Mazz Rofii)

Referensi :
1. Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, Juz : 3 Hal : 68-69
2. At Taqrirot Asy Syadidah, Hal : 210
3. Al Muhadzdzab, Juz : 1 Hal : 134-135
Ibarot :

Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, Juz : 3 Hal : 68-69

قال المصنف رحمه الله : ومن وجب عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها لقوله صلى الله عليه وسلم (من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها) والمستحب أن يقضيها على الفور للحديث الذي ذكرناه فإن أخرها جاز لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم فاتته صلاة الصبح فلم يصلها حتى خرج من الوادي ولو كانت على الفور لما أخرها وقال أبو إسحاق إن تركها بغير عذر لزمه قضاؤها على الفور لأنه مفرط في التأخير والمستحب أن يقضيها على الترتيب لأن النبي صلى الله عليه وسلم فاتته أربع صلوات يوم الخندق فقضاها على الترتيب فإن قضاها من غير ترتيب جاز لأنه ترتيب استحق للوقت فسقط بفوات الوقت كقضاء الصوم وإن ذكر الفائتة وقد ضاق وقت الحاضرة لزمه أن يبدأ بالحاضرة لأن الوقت تعين لها فوجبت البداءة بها كما لو حضره رمضان وعليه صوم رمضان قبله ولأنه إذا أخر الحاضرة فاتت فوجبت البداءة بها
................................
الشرح : أما الحديث الأول فصحيح ففي صحيح البخاري عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (من نسي صلاة فليصل إذا ذكر) وفي صحيح مسلم عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (إذا رقد أحدكم عن الصلاة أو غفل عنها فليصلها إذا ذكرها) وأما الحديث الثاني ففي الصحيحين عن عمران بن حصين رضي الله عنهما قال (كنا في سفر مع النبي صلى الله عليه وسلم وإنا أسرينا حتى كنا في آخر الليل وقعنا وقعة ولا وقعة أحلا عند المسافر منها فما أيقظنا إلا حر الشمس فلما استيقظ النبي صلى الله عليه وسلم شكوا إليه الذي أصابهم فقال لا ضير ولا ضرر ارتحلوا فارتحلوا فسار غير بعيد ثم نزل فدعا بالوضوء فتوضأ ونودي بالصلاة فصلى بالناس) وأما حديث فوات أربع صلوات يوم الخندق فرواه الترمذي والنسائي من رواية أبي عبيدة بن عبد الله بن مسعود عن أبيه وأبو عبيدة لم يسمع أباه فهو حديث منقطع لا يحتج به ويغني عنه حديث جابر رضي الله عنه أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه جاء يوم الخندق بعدما غربت الشمس فجعل يسب كفار قريش وقال يا رسول الله ما كدت أصلي العصر حتى كادت الشمس تغرب فقال النبي صلى الله عليه وسلم (والله ما صليتها فقمنا إلى بطحان فتوضأ للصلاة وتوضأنا لها فصلى العصر بعدما غربت الشمس ثم صلى بعدها المغرب) رواه البخاري ومسلم قوله البداية لحن عند أهل العربية والصواب البداءة بضمن الباء والمد والبدأة بفتحها وإسكان الدال بعدها همزة والبدوءة ممدودة ثلاث لغات حكاهن الجوهري وغيره
أما حكم الفصل ففيه مسألتان إحداهما من لزمه صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور قال صاحب التهذيب وقيل يجب قضاؤها حين ذكر للحديث والذي قطع به الأصحاب أنه يجوز تأخيرها لحديث عمران ابن حصين وهذا هو المذهب وإن فوتها بلا عذر فوجهان كما ذكر المصنف أصحهما عند العراقيين أنه يستحب القضاء على الفور ويجوز التأخير كما لو فاتت بعذر وأصحهما عند الخراسانيين أنه يجب القضاء على الفور وبه قطع جماعات منهم أو أكثرهم ونقل إمام الحرمين اتفاق الأصحاب عليه وهذا هو الصحيح لأنه مفرط بتركها ولأنه يقتل بترك الصلاة التي فاتت ولو كان القضاء على التراخي لم يقتل

At Taqrirot Asy Syadidah, Hal : 210

لا تجب نية إضافة الصلاة لله سبحانه وتعالى, ولا نية تعيين عدد الركعات, ولا نية استقبال القبلة, ولا نية الأداء أوالقضاءو بل كل ذلك سنة

Al Muhadzdzab, Juz : 1 Hal : 134-135

ولا يلزمه أن ينوي الأداء والقضاء ومن أصحابنا من قال يلزمه نية القضاء والأول هو المنصوص فإنه قال فمن صلى في يوم غيم بالاجتهاد فوافق ما بعد الوقت أنه يجزيه وإن كان عنده أنه يصليها في الوقت


Shalat Qadha 5 Waktu di Jum’at Terakhir Bulan Ramadhan.

Mengenai shalat kafarat (mengqodlo sholat lima waktu) adalah kebiasaan yang dilakukan oleh beberapa sahabat, diantaranya oleh Ali bin Abi Thalib kw, dan terdapat sanad yang muttashil dan tsiqah kepada Ali bin Abi Thalib kw bahwa beliau melakukannya di Kufah. Dan yang memproklamirkan kembali hal ini adalah Al Imam Al Hafidh Al Musnid Abubakar bin Salim rahimahullah, yaitu dilakukan pada setelah shalat Jumat, pada hari jumat terakhir di bulan Ramadhan, mengqadha shalat lima waktu, Tujuannya adalah barangkali ada dalam hari hari kita shalat yang tertinggal, dan belum di Qadha, atau ada hal hal yang membuat batalnya shalat kita dan kita lupa akannya maka dilakukan shalat tersebut.

Mereka melakukan hal itu menilik keberkahan dan kemuliaan waktu hari jumat dan bulan Ramadhan. Adapun tatacaranya adalah dikerjakan setelah sholat Jum’at, lalu sholat dengan niat qadha’, pertama mengqodho sholat zhuhur, kemudian setelah salam langsung bangun sholat ashar qodho`, kemudian setelah salam langsung bangun sholat maghrib qodho, dan begitu seterusnya sampai sholat subuh.

Adapun untuk sholat kafarat 4 roka’at di hari Jum’at pada bulan Ramadhan sebagian besar ulama mengatakan hadits tersebut dhoif bahkan ada yang mengatakan maudhu (palsu), berikut ini adalah kumpulan beberapa jawaban tentang sholat kafarat 4 roka’at di Jum’at terakhir di bulan Ramadhan dari para ulama.

1. Nurhartani Banjari 

Wa'alaikum salaam

ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ - ﺍﻟﺒﻜﺮﻱ ﺍﻟﺪﻣﻴﺎﻃﻲ - ﺝ ١ - ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ ٣١٢ :ﻗﻮﻟﻪ: ﻓﺎﺋﺪﺓ: ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻤﻌﺮﻭﻓﺔ ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﺮﻏﺎﺋﺐ ﺇﻟﺦ. ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ ﻓﻲ ﺇﺭﺷﺎﺩ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ: ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ ﺍﻟﻤﺬﻣﻮﻣﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻳﺄﺛﻢ ﻓﺎﻋﻠﻬﺎ ﻭﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻭﻻﺓ ﺍﻻﻣﺮ ﻣﻨﻊ ﻓﺎﻋﻠﻬﺎ: ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺮﻏﺎﺋﺐ ﺍﺛﻨﺘﺎ ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻌﺸﺎﺀﻳﻦ ﻟﻴﻠﺔ ﺃﻭﻝ ﺟﻤﻌﺔ ﻣﻦ ﺭﺟﺐ. ﻭﺻﻼﺓ ﻟﻴﻠﺔ ﻧﺼﻒ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﻣﺎﺋﺔ ﺭﻛﻌﺔ، ﻭﺻﻼﺓ ﺁﺧﺮ ﺟﻤﻌﺔ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺳﺒﻌﺔ ﻋﺸﺮ ﺭﻛﻌﺔ، ﺑﻨﻴﺔ ﻗﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﺍﻟﺘﻲ ﻟﻢ ﻳﻘﻀﻬﺎ. ﻭﺻﻼﺓ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﺃﺭﺑﻊ ﺭﻛﻌﺎﺕ ﺃﻭ ﺃﻛﺜﺮ. ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻷﺳﺒﻮﻉ، ﺃﻣﺎ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻬﺎ ﻓﻤﻮﺿﻮﻋﺔ ﺑﺎﻃﻠﺔ، ﻭﻻ ﺗﻐﺘﺮ ﺑﻤﻦ ﺫﻛﺮﻫﺎ. ﺍﻫ.====================================

disana dijelaskan bahwa sholat baroah adalah bid'ah madzmumah , dan berdosa jika dikerjakan , dan bagi pihak yg berwenang wajib untuk melarang melakukan praktek nya didalam kitab Fatawa Fiqhiyyah Al kubro tergolong dari pekerjaan yg termasuk kategori " MUHARROMAH SYADIDAATU AT-TAHRIM " sebab praktek semacam ini pada akhirnya ada yg meremehkan sholat.

هل تَجُوزُ صَلَاةُ الرَّغَائِب وَالْبَرَاءَةِ جَمَاعَةً أَمْ لَا فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ أَمَّا صَلَاةُ الرَّغَائِب فَإِنَّهَا كَالصَّلَاةِ الْمَعْرُوفَةِ لَيْلَةَ النِّصْفِ من شَعْبَانُ بِدْعَتَانِ قَبِيحَتَانِ مَذْمُومَتَانِ وَحَدِيثهمَا مَوْضُوعٌ فَيُكْرَهُ فِعْلُهُمَا فُرَادَى وَجَمَاعَةً وَأَمَّا صَلَاةُ الْبَرَاءَة فَإِنْ أُرِيدَ بها ما يُنْقَلُ عن كَثِيرٍ من أَهْلِ الْيَمَنِ من صَلَاةِ الْمَكْتُوبَاتِ الْخَمْسِ بَعْد آخِرِ جُمُعَةٍ في رَمَضَانَ مُعْتَقِدِينَ أنها تُكَفِّرُ ما وَقَعَ في جُمْلَةِ السَّنَةِ من التَّهَاوُن في صَلَاتِهَا فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ شَدِيدَةُ التَّحْرِيم يَجِبُ مَنْعُهُمْ منها لِأُمُورٍ منها أَنَّهُ تَحْرُمُ إعَادَةُ الصَّلَاةِ بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا وَلَوْ في جَمَاعَةٍ وَكَذَا في وَقْتِهَا بِلَا جَمَاعَةٍ وَلَا سَبَبٍ يَقْتَضِي ذلك وَمِنْهَا أَنَّ ذلك صَارَ سَبَبًا لِتَهَاوُنِ الْعَامَّةِ في أَدَاءِ الْفَرَائِض لِاعْتِقَادِهِمْ أَنَّ فِعْلَهَا على تِلْكَ الْكَيْفِيَّةِ يُكَفِّرُ عَنْهُمْ ذلك وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

artinya kaga boleh.

Shaikh zainuddin Al malibary yg juga tentunya dari kalangan Ulama As-syafi'iiyah mengkategorikan hadits nya maudhu' ..coba simak lagi ibarat yg ada di i'anah diatas , dan fokus pada ibarat ini :

ﺃﻣﺎ ﺃﺣﺎﺩﻳﺜﻬﺎ ﻓﻤﻮﺿﻮﻋﺔ ﺑﺎﻃﻠﺔ، ﻭﻻ ﺗﻐﺘﺮ ﺑﻤﻦ ﺫﻛﺮﻫﺎ.

2. Sunde Pati 

sholat baro'ah yg dilakukan dihari jum'at terakhir dibulan romadlon yg mana dipercaya bisa melebur sholat 1 tahun yg telah lewat maka hukumnya haram bahkan sangat haram.

الفتاوى الفقهية الكبرى (1/ 217)وَأَمَّا صَلَاةُ الْبَرَاءَة فَإِنْ أُرِيدَ بها ما يُنْقَلُ عن كَثِيرٍ من أَهْلِ الْيَمَنِ من صَلَاةِ الْمَكْتُوبَاتِ الْخَمْسِ بَعْد آخِرِ جُمُعَةٍ في رَمَضَانَ مُعْتَقِدِينَ أنها تُكَفِّرُ ما وَقَعَ في جُمْلَةِ السَّنَةِ من التَّهَاوُن في صَلَاتِهَا فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ شَدِيدَةُ التَّحْرِيم يَجِبُ مَنْعُهُمْ منها لِأُمُورٍ منها أَنَّهُ تَحْرُمُ إعَادَةُ الصَّلَاةِ بَعْدَ خُرُوجِ وَقْتِهَا وَلَوْ في جَمَاعَةٍ وَكَذَا في وَقْتِهَا بِلَا جَمَاعَةٍ وَلَا سَبَبٍ يَقْتَضِي ذلك وَمِنْهَا أَنَّ ذلك صَارَ سَبَبًا لِتَهَاوُنِ الْعَامَّةِ في أَدَاءِ الْفَرَائِض لِاعْتِقَادِهِمْ أَنَّ فِعْلَهَا على تِلْكَ الْكَيْفِيَّةِ يُكَفِّرُ عَنْهُمْ ذلك وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

kesimpulannya sholat kafaroh itu bid'ah yg tercela dan hadisnya adalah palsu

إعانة الطالبين (1/ 270) ( قوله فائدة أما الصلاة المعروفة ليلة الرغائب إلخ ) قال المؤلف في إرشاد العباد ومن البدع المذمومة التي يأثم فاعلها ويجب على ولاة الأمر منع فاعلها صلاة الرغائب اثنتا عشرة ركعة بين العشاءين ليلة أول جمعة من رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وصلاة آخر جمعة من رمضان سبعة عشر ركعة بنية قضاء الصلوات الخمس التي لم يقضها وصلاة يوم عاشوراء أربع ركعات أو أكثر وصلاة الأسبوع أما أحاديثها فموضوعة باطلة ولا تغتر بمن ذكرها 

 ibaroh pendukung

السؤال:

ما صحة الحديث الذى ورد فى فضل الصلاة فى آخر جمعة من شهر رمضان؟ حيث ورد فيه: "لمن فاته صلاة فى حياته عليه أن يصلى 4 ركعات بتشهد واحد، وأن يقرأ فاتحة الكتاب وسورة الكوثر والقدر 15 مرة فى كل ركعة، على أن تكون نيته كفارة لما فاته من صلوات، وعن فضلها: أنها مكفرة لـ 400 سنة، وقال الإمام على -رضى الله عنه وأرضاه-: إنها مكفرة لـ 1000 سنة".

الإجابة:الحمدُ للهِ، والصلاةُ والسلامُ على رسولِ اللهِ، وعلى آلِهِ وصحبِهِ ومن والاهُ، أمَّا بعدُ:فإن ما ذكره السائل، ليس حديثًا؛ فلا أصل له في كتب السنة، وعلامات الوضع ظاهرة عليه، وقد ذكر الشوكاني رحمه الله: حديثًا بهذا المعنى في كتابه "الفوائد المجموعة في الأحاديث الموضوعة" (ص 54)، ونصه: "من صلى في آخر جمعة من رمضان الخمس الصلوات المفروضة في اليوم والليلة، قضت عنه ما أخل به من صلاة سنته".ثم قال رحمه الله: "هذا موضوع لا إشكال فيه، ولم أجده في شيء من الكتب التي جمع مصنفوها فيها الأحاديث الموضوعة، ولكنه اشتهر عند جماعة من المتفقهة بمدينة صنعاء، في عصرنا هذا، وصار كثير منهم يفعلون ذلك، ولا أدري من وضعه لهم؛ فقبح الله الكذابين". انتهى.وراجع فتوى: "حكم العمل بالحديث الضعيف والموضوع".ثم إن من فاتته صلوات لم يصلها لعذر، لا يكفرِّها إلا قضاؤها، فكيف بالصلاة المتروكة عمدًا والتي لا يكفرها إلا التوبة إلى الله - عز وجل - توبة نصوحًا؟"؛ وراجع: "حكم تارك الصلاة"، "حكم قضاء
الصلاة التي تُركت عمدًا"،، والله أعلم.

*SHOLAT KAFAROT ?!*

Informasi Sholat Kafarot nggak bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya,  meski tiap tahun di share.  InsyaAllah ini jawaban Aswaja Center PWNU Jatim
👇🏽

SHOLAT KAFAROT (SHOLAT AKHIR JUMUAH BULAN ROMADHON)

Di Fathul Mu'in dijelaskan bahwa itu hadits maudhu' sehingga tidak bisa di jadikan hujjah atas masyru'nya sholat tsb.

Tetapi adat satu daerah di Hadramaut yg bernama Inat melakukan amaliyah tsb sejak zaman imam Syech Abu Bakr bin Salim (yaitu sumber ajdad habaib bangsa Al-Muhdhor, bin Syech Abi Bakr, Al Hamid dll) dan mereka mentakliqkan (mencari berkah) niatnya pada niatnya Syech Abi Bakr.

Berikut adalah jawaban habib Abu Bakr Assegaf Pasuruan ketika ditanya tentang hal tsb:

ليست صلاة الكفارة، بل صلاة القضاء. هذه من عمل سيدي الشيخ أبي بكر بن سالم المدفون في عينات حضرموت من أكا بر أولياء السادة في زمانه. لكن لا ينوي بها لجبر صلاة الدهر كما حرموا ذلك الفقهاء. إنما السادة عملوا ذلك وجعلها دأبا في كل آخر جمعة من رمضان إقتداءا به وعلقوا نيتهم على نية الشيخ أبي بكر بن سالم الملقب بفخر الوجود. كان الحبيب حسين بن طاهر (مؤلف سلم التوفيق) سأله أهل حضرموت عن ذلك لما أشكلوه فقال سلمنا لأهل الله ونوينا على مانواه الشيخ أبوبكر بن سالم

*Berikut ibarot I'anah*

 ( قوله فائدة أما الصلاة المعروفة ليلة الرغائب إلخ ) قال المؤلف في إرشاد العباد ومن البدع المذمومة التي يأثم فاعلها ويجب على ولاة الأمر منع فاعلها صلاة الرغائب اثنتا عشرة ركعة بين العشاءين ليلة أول جمعة من رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وصلاة آخر جمعة من رمضان سبعة عشر ركعة بنية قضاء الصلوات الخمس التي لم يقضها وصلاة يوم عاشوراء أربع ركعات أو أكثر وصلاة الأسبوع أما أحاديثها فموضوعة باطلة ولا تغتر بمن ذكرها

*Berikut ibarot fatawa Ibnu Hajar al Haitami*

قد سئل العلامة ابن حجر الهينمي المكي الشافعي عن هذه الصلاة التي كان بعض المصلين يصليها في آخر جمعة من رمضان ويسميها "صلاة البراءة"، هل تصح جماعة أم لا؟
فأجاب بقوله: "أما صلاة البراءة فإن أريد بها ما ينقل عن كثير من أهل اليمن من صلاة المكتوبات الخمس بعد آخر صلاة جمعة من رمضان معتقداً أنها تكفر ما وقع في جملة السنة من تهاون في صلاتها فهي محرمة شديدة التحريم، يجب منعهم منها؛ لأنه يحرم إعادة الصلاة بعد خروج وقتها ولو في جماعة، وكذا فيوقتها بلا جماعة ولا سبب يقتضي ذلك. ومنها أن ذلك صار سبباً لتهاون العامة في أداء الفرائض؛ لاعتقادهم أن اعتقادهم على تلك الكيفية يكفر عنهم ذلك" انتهى. من الفتاوى الفقهية الكبرى، ج: 2/ ص: 325.

*Berikut fatwa syeh Salim Sa'id Bukair Mufti Tarim*

السؤال: ماقولكم في صلاة الخمسة الفروض التي تصلى آخر الجمعة من رمضان هل هي جائزة شرعاً أم لا ؟ وهل أحد نص عليها من العلماء في فعلها غير الشيخ أبي بكر بن سالم وأولاده ؟ أفيدونا .
📕 الجواب: الحمد لله ، صلاة الخمسة الفروض آخر الجمعة قضاء فوائت ليس على يقين منها وتسمى صلاة البراءة ، اختلف العلماء فيها فقال بتحريمها جماعة كالشيخ ابن حجر وبامخرمة وغيرهما وقال بجوازها كثير من علماء اليمن وكانت تصلى بجامع زبيد كما قال الناشري ، قال: ولايتركها إلا القليل انتهى .وهي محط رجال العلم وأئمة الفتوى ، وقد صلاها جماعة من الأئمة الورعين البارعين في علمي الظاهر والباطن كالفخر الشيخ أبي بكر بن سالم والإمام العلامة أحمد بن زين الحبشي والإمام الحبيب عمر بن زين بن سميط والحبيب العلامة أحمد بن محمد المحضار والعلامة الحبيب أحمد بن حسن العطاس والحبيب العلامة سالم بن حفيظ ابن الشيخ أبي بكر بن سالم والحبيب العلامة عبدالله بن عبدالرحمن ابن الشيخ أبي بكر بن سالم وغيرهم من علماء اليمن وحضرموت فقد أقامها كل من المذكورين في جهاتهم وبلدانهم وأمر بها وأقرها الإمام الحجة الحبيب عبدالرحمن بن عبدالله بلفقيه وهو الذي كان يلقبه القطب الإمام الحبيب عبدالله الحداد بعلامة الدنيا ويقول فيه : والله ما في الأكوان مثل عبدالرحمن ، وكفى بهذا الإمام وبمن تقدم ذكرهم من أئمة الدين والعلماء الورعين حجة في جواز هذه الصلاة وإذا لم تقم بهم وبأمثالهم الحجة وهم أهل الاهتداء والاقتداء وحجج الله في أرضه فبمن تقوم الحجة ؟ . وقد قال بجواز القضاء مع الشك القاضي حسين والغزي كما في ((الجمل على المنهج)) والإمام الغزالي في ((الإحياء)) وفي ذلك أعظم دليل وأقوى حجة لما قاله وعمله هؤلاء الأئمة بل لو لم يقل بجواز هذه الصلاة وبفعلها إلا الشيخ أبوبكر بن سالم لكان قوله وفعله كافي في الحجة فإنه من كبار العلماء وأئمة الدين وإذا كان سيدنا الإمام القطب الحبيب عبدالله الحداد ادعى الاجتهاد كما قال ذلك الإمام الحبيب علوي بن سقاف الجفري في كتابه((النهر المتدفق)) فبالحري أن يكون الفخر الشيخ أبوبكر كذلك أو أكبر من ذلك ومن جمع بين العلم الظاهر والباطن والورع الحاجز لايقال في حقه : من أين أتى بهذا ؟ نسأل الله أن يرزقنا محبتهم والأدب معهم ويعرفنا حقهم ويوفقنا لسلوك طريقهم ويحفظنا من الزيغ والزلل وتخطيئَتِهِم والوقيعة فيهم وفي أمثالهم من أئمة العلم والدين آمين ومن أراد الزيادة على ماذكرناه فعليه برسالتنا ((دفع الاعتراض المنقوض في مسألة الخمسة الفروض)) والله أعلم بالصواب.
وكتبه الحقير سالم بن سعيد بكير

Intinya :

Hadis tsb adalah hadis maudhu’, yakni sebuah hadis yang disandarkan pada Nabi dengan kebohongan dan sebenarnya tidak ada keterkaitan sanad dengan Nabi. Selain itu pada hakikatnya itu bukanlah hadis. Hanya saja penyebutannya sebagai hadis memandang anggapan dari perawinya.

Ketika amalan ibadah bersumber dari hadis maudhu’, maka menurut para ulama hukumnya tidak boleh mengerjakan amalan tersebut. Berbeda ketika amalan yang bersumber dari hadis dha’if (lemah) maka masih diperbolehkan mengamalkan hanya sebatas fadhailul amal(keutamaan-keutamaan amal). Dalam kitab al Adzkar karya al Imam Nawawi hal 14 .

Menurut penuturan Gus Ma’ruf Khozin ketika menanyakan ini kepada Habib Abu Bakar as Segaf bahwa shalat ini bukan shalat Kafarat, namun shalat Qadla’. Ini adalah amalan Sayid Syaikh Abu Bakar bin Salim yang dimakamkan di ‘Inat, daerah Hadlramaut Yaman. Beliau adalah pembesar wali dan sayyid di masanya. Namun shalat tersebut tidak boleh diniati sebagai pengganti shalat selama setahun, sebagaimana yang diharamkan oleh ulama Fikih. Para Sayyid (Habaib) hanya mengamalkannya dan menjadikannya sebagai kebiasaan di akhir Jumat bulan Ramadan karena untuk mengikuti beliau. Mereka menyesuaikan niat mereka dengan niat Sayyid Abu Bakar bin Salim yang bergelar Fakhr al-Wujud.

Pengarang kitab Sullamut Taufiq, Habib Husain bin Thahir ditanya oleh penduduk Hadlramaut tentang hal ini, beliau menjawab: “Kita taslim (menerima) terhadap amalan wali Allah. Dan kita niatkan seperti niat Sayyid Abu Bakar bin Salim. Tetapi para Habaib melarang mengajak orang-orang melakukan shalat ini di masjid, misalnya. Beliau-beliau mengamalkannya bersama keluarga di kediaman masing-masing. Khawatir ada kejanggalan dari sebagian orang.

Seumpama seperti itu adanya, yakni kemudahan mengqada shalat yang ditinggalkan dalam waktu yang lama cukup ditebus (kafarat) hanya dengan shalat sekali dalam setahun, maka dikhawatirkan yang akan terjadi kebanyakan orang islam dengan mudahnya meninggalkan kewajiban shalat 5 waktu setiap hari dengan alasan nanti cukup melakukan shalat kafarat saja.

 *Syariat sudah mengajarkan bahwa apabila seseorang meninggalkan shalatnya baik itu disengaja ataupun tidak, maka dia berkewajiban mengganti (qada) dengan shalat di lain waktu sejumlah shalat yang ditinggalkannya.*

 (*/Jawaban dari Aswaja Center PWNU Jatim)

============
ALFAKHRUL WUJUD SYEIKH ABU BAKAR BIN SALUM MELAKSANAKAN SHOLAT KAFFAROH:
👍👍👍
Kanggo kito sae ngelampai klawan niat kados engkang dipon lampai As-Syekh Abu Bakar bin Salim, niki ibarote;
[6/19, 20:50] ‪+62 896-8219-4678: *فتوى الامام ابن حجر الهيتمي في صلاة البراءة اخر جمعة من شهر رمضان*

(ﻭﺳﺌﻞ) ﻧﻔﻊ اﻟﻠﻪ ﺑﻪ. ﻫﻞ ﺗﺠﻮﺯ ﺻﻼﺓ اﻟﺮﻏﺎﺋﺐ ﻭاﻟﺒﺮاءﺓ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺃﻡ ﻻ؟
(ﻓﺄﺟﺎﺏ) ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺃﻣﺎ ﺻﻼﺓ اﻟﺮﻏﺎﺋﺐ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻛﺎﻟﺼﻼﺓ اﻟﻤﻌﺮﻭﻓﺔ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﻨﺼﻒ ﻣﻦ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺑﺪﻋﺘﺎﻥ ﻗﺒﻴﺤﺘﺎﻥ ﻣﺬﻣﻮﻣﺘﺎﻥ ﻭﺣﺪﻳﺜﻬﻤﺎ ﻣﻮﺿﻮﻉ ﻓﻴﻜﺮﻩ ﻓﻌﻠﻬﻤﺎ ﻓﺮاﺩﻯ ﻭﺟﻤﺎﻋﺔ *ﻭﺃﻣﺎ ﺻﻼﺓ اﻟﺒﺮاءﺓ ﻓﺈﻥ ﺃﺭﻳﺪ ﺑﻬﺎ ﻣﺎ ﻳﻨﻘﻞ ﻋﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻴﻤﻦ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ اﻟﻤﻜﺘﻮﺑﺎﺕ اﻟﺨﻤﺲ ﺑﻌﺪ ﺁﺧﺮ ﺟﻤﻌﺔ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻣﻌﺘﻘﺪﻳﻦ ﺃﻧﻬﺎ ﺗﻜﻔﺮ ﻣﺎ ﻭﻗﻊ ﻓﻲ ﺟﻤﻠﺔ اﻟﺴﻨﺔ ﻣﻦ اﻟﺘﻬﺎﻭﻥ ﻓﻲ ﺻﻼﺗﻬﺎ ﻓﻬﻲ ﻣﺤﺮﻣﺔ ﺷﺪﻳﺪﺓ اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ* ﻳﺠﺐ ﻣﻨﻌﻬﻢ ﻣﻨﻬﺎ ﻷﻣﻮﺭ ﻣﻨﻬﺎ ﺃﻧﻪ ﺗﺤﺮﻡ ﺇﻋﺎﺩﺓ اﻟﺼﻼﺓ ﺑﻌﺪ ﺧﺮﻭﺝ ﻭﻗﺘﻬﺎ ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻭﻛﺬا ﻓﻲ ﻭﻗﺘﻬﺎ ﺑﻼ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻭﻻ ﺳﺒﺐ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺫﻟﻚ ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺻﺎﺭ ﺳﺒﺒﺎ ﻟﺘﻬﺎﻭﻥ اﻟﻌﺎﻣﺔ ﻓﻲ ﺃﺩاء اﻟﻔﺮاﺋﺾ ﻻﻋﺘﻘﺎﺩﻫﻢ ﺃﻥ ﻓﻌﻠﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺗﻠﻚ اﻟﻜﻴﻔﻴﺔ ﻳﻜﻔﺮ ﻋﻨﻬﻢ ﺫﻟﻚ ﻭاﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﺼﻮاﺏ. فتاوى الكبرى الفقهية ١/٢١٧


 ‪ ودكرت لدى سيدي رضي الله عنه، الصلوات الخمسة المشهورة بصلاة القضاء تصلى فى آخر جمعة من شهر رمضان وقرئ عليه إسنادها إلى الشيخ أبي بكر بن سالم وانه كان يفعلها هو وجملة من العلماء ممن قبله وممن بعده وصلاها بمسجده بعينات مدة حياته ثم اولاده وكل متعلق به بعد وفاته،  وما انكرها أحد ألا وعاجلته العقوبة وجه ذلك بخط الشيخ عبد الرحمن ابن احمد باوزبر، فأجاز سيدي أحمد رضي الله عنه من حضر فيها.
تذكير الناس ص 179


هذه من عمل سيدي الشيخ أبي بكر بن سالم المدفون في عينات حضرموت من أكا بر أولياء السادة في زمانه. لكن لا ينوي بها لجبر صلاة الدهر كما حرموا ذلك الفقهاء. إنما السادة عملوا ذلك وجعلها دأبا في كل آخر جمعة من رمضان إقتداءا به وعلقوا نيتهم على نية الشيخ أبي بكر بن سالم الملقب بفخر الوجود. كان الحبيب حسين بن طاهر (مؤلف سلم التوفيق) سأله أهل حضرموت عن ذلك لما أشكلوه فقال سلمنا لأهل الله ونوينا على مانواه الشيخ أبوبكر بن سالم

============
KETERANGAN:
============
AGAK PANJANG TAPI AJIB BERKENAAN DG SHOLAT QODHO' DI AKHIR JUMAT RAMADHAN

(RECOMMENDED UTK DI BACA DAN DISEBAR-DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN)

QODHO SHOLAT ALA SYECH ABU BAKAR BIN SALIM.

Sudah menjadi rutinitas tahunan bagi sebagian kalangan ulama untuk melaksanakan Qodho Shalat lima waktu (Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh) setelah melaksanakan Shalat Jumat di hari Jum'at terkahir Bulan Ramadhan. Shalat yang penuh berkah ini dipelopori oleh As-syech Abu Bakar bin Salim. Ini dilakukan untuk mengambil kesempatan emas pada waktu yang penuh berkah ketika berkumpulnya banyak orang. Shalat ini sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Bagi yang melaksanakannya hendaknya meniatkan dengan niat orang-orang shaleh dalam melaksanakannya. Tapi perlu digaris bawahi bahwa pelaksanaan shalat ini tidak dapat menggantikan semua shalat-shalat fardhu yang ditinggalkan selain lima shalat itu saja, jadi bagi orang yang memiliki banyak shalat yang ditinggalkan hendaknya ia mengqodhoi setiap shalat yang ia tinggalkan itu.

Al-Muftiy al-Faqih al-Allamah as-Syech Salim bin Said Bukayir Al-Hadromiy  memiliki sebuah risalah berjudul ( دفع الاعتراض المنقوض وتحقيق الحق فى صلاة الخمسة الفروض ) yang membahas mengenai shalat qodho ala Syech Abu Bakar Bin salim. Beliau pernah ditanya " Apa pendapat anda mengenai shalat  fardhu yang lima yang dilakukan di dalam satu waktu di akhir Jum'at Bulan Romadhon, apakah diperbolehkan dalam syariat ? Apakah ada salah satu ulama  yang membolehkan untuk melakukannya selain Syech Abu Bakar bin Salim dan keturunannya ? " Beliau menjawab: Segala puji bagi Allah, Shalat fardhu yang lima yang dilakukan di Jum'at terakhir Bulan Romadhon sebagai qodho' dinamakan dengan Shalat Baroah. Mengenai shalat ini, para ulama' berbeda pendapat, ada yang mengharamka seperti Ibnu Hajar dan Bamakhromah dan ada banyak pula ulama' dari Yaman yang membolehkannya. Shalat ini telah dilaksanakan oleh banyak ulama-ulama besar yang waro (berhati-hati dalam agama) dan menguasai menguasai ilmu dzahir dan bathin seperti Syech abu Bakar bin Salim, Al-Allamah Ahmad bin Zain Alhabsyi, al-Imam Umar bin Zain bin smith, al-Allamah Ahmad bin Muhammad Almuhdor, al Habib Ahmad bin Hasan Alathas, al Habib Salim bin Hafidz BSA dan masih banyak lagi ulama'-ulama' Yaman Hadromaut yang mengerjakannya di daerah-daerahnya serta menganjurkan untuk melaksanakannya.

Shalat ini juga telah diakui oleh Seorang Imam yang menjadi Hujjah, Al Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih yang dijuluki oleh Al Habib al Quthb Imam Abdullah al Haddad sebagai Alamah dunia (Yang Sangat alim di dunia ini). Al Habib Abdullah al Haddad mengatakan mengenai al Habib Abdurahman bilfaqih:

والله ما في الأكوان مثل عبد الرحمن

Demi Allah di alam ini tidak ada yang seperti Abdurahman
Imam ini, dan para imam lain yang telah disebutkan yang menguasai ilmu agama dan bersikap waro ini cukup sebagai rujukan hukum atas bolehnya melaksanakan shalat ini. Jika mereka tidak dapat dijadikan rujukan hukum, padahal mereka adalah para pemberi petunjuk dan rujukan serta hujjah-hujjah Allah di muka bumi ini maka siapa yang dapat dijadikan rujukan hukum?

Selain itu beberapa ulama telah memperbolehkan untuk melaksanakan Qodho shalat ketika ia ragu mengenai shalatnya. Di antaranya adalah al Qodhi Husain dal Al Ghazi sebagaimana disebutkan dalam al Jamal fil Minhaj. Dan Imam Ghazali dalam al Ihya. Ini adalah dalil yang agung dan hujjah yang kuat atas apa yang dikatakan dan diamalkan para ulama ini.  Bahkan seandai tidak ada seorang pun yang mengatakan kebolehan shalat ini  dan melakukannya kecuali Syaikh Abu Bakar bin Salim maka perkataan dan perbuatan beliau itu sudah cukup sebagai hujjah. Karena beliau termasuk pembesar ulama dan imam dalam ilmu agama. Dikatakan oleh Imam al Habib Alwi bin Segaf al Jufri dalam kitab an Nahr al Mutadaffiq bahwa Imam al Quthb Habib Abdullah bin Alwi Alhaddad telah mendakwakan sebagai seorang mujtahid, jika demikian maka sepantasnya al Fakhr Syaikh Abu Bakar setara dengan beliau atau bahkan lebih agung darinya. Orang yang telah mengumpulkan antara ilmu zahir dan ilmu batin serta sifat waro, tidak dapat dikatakan mengenainya, “Dari mana engkau mendatangkan ini?”

Kami memhohon kepada Allah untuk memberikan rizki kepada kami berupa kecintaan kepada mereka dan adab bersama mereka, dan semoga Allah membuat kami mengenal hak mereka, memberikan taufiq kepada kami untuk menjalani jalan mereka,  menjaga kami dari kesesatan dan ketergelinciran atau menyalahkan mereka dan mengatakan hal buruk mengenai mereka, dan dalam semisal mereka daripada para imam, dan ulama agama aminn. 

Siapa yang menghendaki keterangan tambahan atas apa yang telah kami sebutkan ini hendaknya ia membaca risalah kami, daf`ul itirodh al manqudh fi mas`alatil khamsah al furudh. Wallahu alam bis shawab

Ditulis oleh Syaikh Salim bin Sa`id Bukayir.

( Aghlal-jawahir.hal 97-99 )
==================

Ada tambahan yang sangat penting berkaitan statemen bliau (Habib Luthfi terkait sholat kaffarot) sekaligus sebagai klarifikasi:

SHOLAT KAFFAROH atau SHOLAT QODHO' 5 WAKTU
Dalam beberapa keterangan terdapat tuntutan sholat kaffaroh dengan melaksanakan sholat lima waktu sebagai kaffaroh sholat-sholat  yg kita laksanakan selama setahun bila mana terdapat kekurangan kekurangan dalam pelaksanaanya. Sementara itu dalam beberapa literatur fiqh kita dapati kalangan fuqoha banyak yang melarang keras seperti terdapat dalam Fathul Muin dsb.
Bagaimana kita menyikapi persoalan ini?

Berikut ini sikap bijak dari cara pandang ulama shufi pd permasalahan semacam ini:

1- Bahwa persoalan ini adalah persoalan fadoilul a'mal yg kembalinya pada keluasan rahmat dan karunia Alloh yg tentu gak bisa dibatasi, karenanya tidak perlu lagi kita perdebatkan statusnya
2- Realitanya sholat yang merupakan ibadah pokok yang akan dihisab paling awal sebelum amal yg lain, dalam kita menjalankanya pasti terdapat ketidak sempurnaan atau kurang sempurna di banyak hal. Oleh karenanya sebagian dari ulama melaksanakan sholat kaffarah sebagai bentuk harapan agar semoga kekurangan kekurangan itu bisa terlebur atau tertutup.
3- Tentu tdk berarti bahwa hutang sholat yg ditinggal sengaja atau tidak, otomatis terlebur dengan sholat tersebut. Persis seperti kita dalam baca Alqur'an mungkin makhroj dan tajwidnya bagus. Tapi sisi adab qiro'ah terkadang kurang atau sebaliknya. Nah untung ada keutamaan baca Al-ikhlash 3x spt bc satu kali hataman. Nah kita berharap dengan bc Al-ikhlash tiga kali hususnya pada saat khotmul Qur'an semoga kekurangan2 itu dapat terlebur. Sekalipun tentu beda antara pahala Al-ikhlas 3x dengan Bacaan lengkap dari Fatihah hingga Annas.
4- Para ulama yg melarang keras sholat kaffarah tentu bukan tanpa sebab. Mereka hawatir bilamana keutamaan sholat kaffaroh ini diajarkan dan diamalkan akan menjadikan awam nggampang / meremehkan kewajiban dg alasan bahwa sholat yg dia tinggal nanti bisa dilebur dg sholat kaffaroh tak perlu repot repot qodho dsb.
5- Dengan keterangan tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa sholat kaffaroh silakan diamalkan bagi mereka yg meyakini, akan tetapi harus tetap husnu dlonn dg para ulama yg melarang.
6- Seperti halnya seorang ulama yg enggan melakukan qoshor n jama', bukan berarti para beliau ingkar dg hukum rukhshoh / dispensasi Syari'ah. Akan tetapi dalam rangka pembelajaran pd diri dan umat agar tdk nggampang dg hukum2 Alloh SWT.
7- Tentang keluasan rohmat Alloh SWT, bliau menceritakan kisah antara ulama shufi besar Syekh Tijani yg mengajukan soal pd ulama2 bsr semasanya spt imam Sanusi dsb: Seorang Muslim yg melakukan semua dosa besar selain syirik dg sholawat Nabi SAW satu Kali bila ditimbang lbh berat  mana?  Semua ulama menjwb lebih berat dosa2 besar. Imam Tijani membantah dg hujah

من صلى علي مرة صلى الله عليه عشرا

" Brg siapa yg membaca sholawat pdku satu kali niscaya Alloh melimpahkan rahmatnya sepuluh kali." Pertanyaanya: Siapa yg bisa menakar besarnya satu rahmat Alloh yg diberikan pada hambanya? Bagaimana dg sepuluh kalinya?

Inilah keluasan rohmat Alloh atas hamba2 Nya .

Dan bab Fadhoil merupakan bagian dari itu. Karenanya kita tidak selayaknya mengukur
seberapa rohmat Alloh atas hambanya.
8- Jadi dalam pandangan Maulana Alhabib Luthfi berkenaan amalan Sholat Qodho atau kaffarah beliau melihat itu sebuah kebaikan sekira mau diamalkan monggo.
Tapi TIDAK BENAR kalo beliau  Maulana MENGIJAZAHKAN Amalan tersebut utk diamalkan. 

(INI STATEMEN BELIAU SEKALIGUS KLARIFIKASI ATAS PERINTAH BELIAU)

Catatan alfaqir: Zakaria Anshor

28 Romadhon 1438 H.

( perjalanan Pulang pergi mendampingi bliau memantau arus mudik.2017 M / 1438 H
Saksi:
1- K Syamlawi
2- K Malkan Khudhori
3- H Zamroni Ayyub
4- Ust Hakim Utsman

(Di ambil dari berbagai sumber)

Website : http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Instagram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi   
Telegram : @habibshulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : @majlisnuurussaadah
Pin BBM : D45BD3BE
Pin BBM Channel Majelis Ta’lim Nuurus Sa’aadah : C003BF865
Facebook : https://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/

Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.

Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus, S.Kom.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس