Rabu, 14 Desember 2016

HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM.


FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

Nomor 56 Tahun 2016

Tentang

HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :

*MENIMBANG : *

a. bahwa di masyarakat terjadi fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka;

b. bahwa untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lain sebagainya, bahkan kantor pemerintahan  mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-muslim;

c. bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim;

d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman.

*MENGINGAT : *

1. Al-Quran :

a. Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan meniru perkataan orang-orang kafir, antara lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا  وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): ‘Raa´ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)

b. Firman Allah SWT yang melarang mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, antara lain:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 42)

c. Firman Allah SWT yang menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar agama, khususnya terkait dengan ibadah, antara lain:

قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ(1)لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ(2)وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(3)وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ(4)وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(5)لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ(6)

“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun: 1-6)

d. Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk, dan syi’ar selain Islam, antara lain:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am: 153)

e. Firman Allah SWT yang tidak melarang orang Islam bergaul dan berbuat baik dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Mumtahanah : 8)

f. Firman Allah SWT yang mengkhabarkan bahwa orang mukmin tidak bisa saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, antara lain:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. Al-Mujadilah: 22)

2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw beliau bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى َقالَ فمَنْ

Dari Abi Sa’id al-Khudri ra dari Nabi Saw: “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka memasuki lubang biawakpun tentu kalian mengikuti mereka juga” Kami berkata: Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara? Maka beliau berkata: “Maka siapa lagi?.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ

Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya”. (HR. al-Tirmidzi)

3. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan mencegah sesuatu perbuatan yang lahiriyahnya boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan mengakibatkan perbuatan yang haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak dan bathil.

4. Qaidah Fidhiyyah:

دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan”

*MEMPERHATIKAN : *

1. Pendapat Imam Khatib al-Syarbini dalam  kitab “Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526, sebagai berikut:

ﻭَﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻣَﻦْ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻴَﺎﺩِﻫِﻢْ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻤْﺴِﻚُ ﺍﻟْﺤَﻴَّﺔَ ﻭَﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺬِﻣِّﻲٍّ ﻳَﺎ ﺣَﺎﺝُّ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻨَّﺄَﻩُ ﺑِﻌِﻴﺪِﻩِ….

“Dihukum  ta’zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi  ‘Ya Hajj’, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di hari raya (orang kafir)…”.

2. Pendapat Imam Jalaluddin al-Syuyuthi  dalam Kitab “Haqiqat al-Sunnah wa al-Bid’ah : al-Amru bi al-Ittiba wa al-Nahyu an al-Ibtida’, halaman  42:

ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة كما يفعله كثير من جهلة المسلمين من مشاركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه …والتشبه بالكافرين حرام وإن لم يقصد ما قصد

Termasuk bid’ah dan kemungkaran adalah sikap menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya dan perayaan-perayaan mereka yang dilaknat (oleh Allah). Sebagaimana dilakukan banyak kaum muslimin yang tidak berilmu, yang ikut-ikutan orang-orang Nasrani dan menyamai mereka dalam perkara yang mereka lakukan… Adapun menyerupai orang kafir hukumnya haram sekalipun tidak bermaksud menyerupai”.

3. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, jilid IV halaman 239 :

ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك

Di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi Saw telah bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”. Bahkan Ibnul Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang Nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut”.

4. Pendapat Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I halaman 373 saat menjelaskan makna surah al-Baqarah [2] ayat 104:

أن الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا . فقال: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا  وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ(

Sesungguhnya Allah melarang orang-orang mukmin untuk  menyerupai orang-orang kafir baik dalam ucapan atau perbuatan, Maka Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa´ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”

5. Pendapat Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid XXII halaman 95:

أن المشابهة في الأمور الظاهرة تورث تناسبا وتشابها في الأخلاق والأعمال ولهذا نهينا عن مشابهة الكفار

Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berdampak pada kesamaan dan  keserupaan dalam akhlak dan perbuatan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir.”

6. Pendapat Imam Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab Ahkam Ahl al-Dzimmah, Jilid 1 hal. 441-442:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka ini termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

7. Pendapat al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari, sebagaimana dikutip Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadi dalam kitab Aun al-Ma’bud, Juz XI/hal 74 dalam menjelaskan hadits tentang tasyabbuh:

وقال القارئ: أي من شبه نفسه بالكفار مثلا من اللباس وغيره أو بالفساق أو الفجار أو بأهل التصوف والصلحاء الأبرار فهو منهم أي في الإثم والخير

Al-Qori berkata: “Maksudnya barangsiapa dirinya menyerupai orang kafir seperti pada pakaiannya atau lainnya atau (menyerupai) dengan orang fasik, pelaku dosa serta orang ahli tashawwuf dan  orang saleh dan baik  (maka dia termasuk di dalamnya) yakni dalam mendapatkan dosa atau kebaikan.”

9. Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama pada Tanggal 7 Maret 1981.

10. Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11. Presentasi dan makalah Prof. DR. H. Muhammad Amin Summa, MA, SH., SE tentang Seputar Sya’airillah.
12. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa MUI pada tanggal 14 Desember 2016.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM

Pertama  :  Ketentuan Umum

Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :

Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau  umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.

Kedua  : Ketentuan Hukum

1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

Ketiga  :  Rekomendasi

1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.

2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.

3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.

4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan  tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.

5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.

6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan  (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim  untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.

Ketiga :  Penutup

1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan di :

Jakarta

Pada tanggal :

14 Rabi’ul Awwal 1438 H

14 Desember  2016 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA

KOMISI FATWA

Ketua

PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA

Sekretaris

DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA

Link Dokumen Fatwa :
https://drive.google.com/file/d/0BwWQGmmokbVBYk9Bek9TZWFVUUE/view?usp=sharing

Senin, 25 Juli 2016

Apakah benar di Hari Kiamat ayah dan ibu Nabi Muhammad saw masuk neraka?

Apakah benar di Hari Kiamat ayah dan ibu Nabi Muhammad saw masuk neraka? 

Pertanyaan.

Yang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online. Kami memohon penjelasan tentang hadits riwayat Muslim yang menyatakan bahwa ayah dan ibu Nabi Muhammad SAW masuk neraka. Kami memohon penjelasan hadits ini. Apakah benar di Hari Kiamat ayah dan ibu Nabi Muhammad saw masuk neraka? Terima kasih atas penjelasannya. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Hilmi Qosim Mubah)

Jawaban.

Penanya dan pembaca yang budiman di mana pun berada. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya untuk kita semua. Sebelum berbicara lebih jauh kita terlebih dahulu menyebutkan hadits riwayat Imam Muslim yang menunjukkan bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW termasuk penduduk neraka kelak di akhirat.

Kita setidaknya menemukan dua hadits yang diriwayatkan di dalam kitab Jamuis Shahih Muslim terkait masalah ini. Hadits pertama diriwayatkan oleh Sahabat Anas bin Malik. Hadits kedua diriwayatkan Sahabat Abu Hurairah RA.

Hadits riwayat Anas bin Malik RA menceritakan sebagai berikut.

أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ

Artinya, "Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ Nabi Muhammad SAW menjawab, ‘Di neraka.’ Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi Muhammad SAW memanggilnya lalu berkata, ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka,’” (HR Muslim).

Sementara hadits riwayat Abu Hurairah RA menyebutkan sebagai berikut.

زَارَ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَبْرَ أُمّهِ. فَبَكَىَ وَأَبْكَىَ مَنْ حَوْلَهُ. فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِي

Artinya, "Nabi Muhammad SAW menziarahi makam ibunya. Di sana Beliau SAW menangis sehingga para sahabat di sekitarnya turut menangis. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Kepada Allah Aku sudah meminta izin untuk memintakan ampun bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengizinkanku. Lalu Aku meminta kepada-Nya agar Aku diizinkan menziarahi makam ibuku, alhamdulillah Dia mengizinkanku," (HR Muslim).

Secara harfiah pemahaman yang kita dapati dari keterangan dua hadits di atas menujukkan bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW termasuk ke dalam penghuni neraka. Tetapi sebenarnya ulama baik dari kalangan ahli hadits maupun kalangan ahli kalam berbeda pendapat perihal ini. Di antara ulama yang memaknai hadits ini secara harfiah adalah Imam An-Nawawi. Dalam kitab Syarah Muslim yang ditulisnya menunjukkan secara jelas posisinya seperti keterangan berikut ini.

قوله ( أن رجلا قال يا رسول الله أين أبي قال في النار فلما قفى دعاه فقال إن أبي وأباك في النار ) فيه أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تنفعه قرابة المقربين وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان فهو من أهل النار وليس هذا مؤاخذة قبل بلوغ الدعوة فان هؤلاء كانت قد بلغتهم دعوة ابراهيم وغيره من الأنبياء صلوات الله تعالى وسلامه عليهم وقوله صلى الله عليه و سلم أن أبي وأباك في النار هو من حسن العشرة للتسلية بالاشتراك في المصيبة ومعنى قوله صلى الله عليه و سلم قفي ولى قفاه منصرفا 

Artinya, “Pengertian hadits ‘Seorang lelaki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ dan seterusnya, menunjukkan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan kufur bertempat di neraka. Kedekatan kerabat muslim tidak akan memberikan manfaat bagi mereka yang mati dalam keadaan kafir. Hadits ini juga menunjukkan bahwa mereka yang meninggal dunia di masa fatrah (masa kosong kehadiran rasul) dalam keadaan musyrik yakni menyembah berhala sebagaimana kondisi masyarakat Arab ketika itu, tergolong ahli neraka. Kondisi fatrah ini bukan berarti dakwah belum sampai kepada mereka. Karena sungguh dakwah Nabi Ibrahim AS, dan para nabi lainnya telah sampai kepada mereka. Sedangkan ungkapan ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka’ merupakan ungkapan solidaritas dan empati Rasulullah SAW yang sama-sama terkena musibah seperti yang dialami sahabatnya perihal nasib orang tua keduanya. Ungkapan Rasulullah SAW ‘Ketika orang itu berpaling untuk pergi’ bermakna beranjak meninggalkan Rasulullah SAW.” (lihat Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, Dar Ihyait Turats Al-Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1392 H).

Sementara ulama lain menilai hadits ini telah dimansukh (direvisi) oleh riwayat Sayidatina Aisyah RA. Dengan demikian kedua orang tua Rasulullah SAW terbebas sebagai penghuni neraka seperti keterangan hadits yang telah dimansukh. Salah satu ulama yang mengambil posisi ini adalah Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam karyanya Ad-Dibaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj.

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب قالا حدثنا محمد بن عبيد عن يزيد بن كيسان عن أبي حازم عن أبي هريرة قال زار النبي صلى الله عليه و سلم قبر أمه الحديث قال النووي هذا الحديث وجد في رواية أبي العلاء بن ماهان لأهل المغرب ولم يوجد في روايات بلادنا من جهة عبد الغافر الفارسي ولكنه يوجد في أكثر الأصول في آخر كتاب الجنائز ويضبب عليه وربما كتب في الحاشية ورواه أبو داود والنسائي وابن ماجة قلت قد ذكر بن شاهين في كتاب الناسخ والمنسوخ أن هذا الحديث ونحوه منسوخ بحديث إحيائها حتى آمنت به وردها الله وذلك في حجة الوداع ولي في المسألة سبع مؤلفات

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW menziarahi makam ibunya dan seterusnya. Menurut Imam An-Nawawi, ‘Hadits ini terdapat pada riwayat Abul Ala bin Mahan penduduk Maghrib, tetapi tidak terdapat pada riwayat orang-orang desa kami dari riwayat Abdul Ghafir Al-Farisi. Namun demikian hadits ini terdapat di kebanyakan ushul pada akhir Bab Jenazah dan disimpan. Tetapi terkadang ditulis di dalam catatan tambahan. Hadits ini diiwayatkan Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah.’ Hemat saya jelas, Ibnu Syahin menyebutkan di dalam kitab Nasikh dan Mansukh bahwa hadits ini dan hadits yang semakna dengannya telah dimansukh oleh hadits yang menerangkan bahwa Allah menghidupkan kembali ibu Rasulullah sehingga ia beriman kepada anaknya, lalu Allah mewafatkannya kembali. Ini terjadi pada Haji Wada’. Perihal masalah ini saya telah menulis tujuh kitab,” (Lihat Abdurrahman bin Abu Bakar, Abul Fadhl, Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Dibaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj).

Kalangan ahli kalam juga membicarakan perihal ahli fatrah. Menurut kalangan Muktazilah dan sebagian ulama Maturidiyah, orang-orang ahli fatrah yang wafat dalam keadaan musyrik termasuk penghuni neraka. Karena bagi mereka, manusia tanpa diutus seorang rasul sekalipun semestinya memilih tauhid melalui daya akal yang dianugerahkan Allah kepadanya.

Sementara kalangan Asy-ari menempatkan ahli fatrah sebagai kalangan yang terbebas dari tuntutan tauhid karena tidak ada rasul yang membimbing mereka. Berikut ini perbedaan pendapat yang bisa kami himpun.

واختلف هل يكتفي بدعوة أي رسول كان ولو آدم أو لا بد من دعوة الرسول الذي أرسل إلى هذا الشخص. والصحيح الثاني. وعليه فأهل الفترة ناجون وإن غيروا و بدلوا وعبدوا الأوثان. وإذا علمت أن أهل الفترة ناجون علمت أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان لكونهما من أهل الفترة بل هما من أهل الإسلام لما روي أن الله تعالى أحياهما بعد بعثة النبي صلى الله عليه وسلم فآمنا به... ولعل هذا الحديث صح عند بعض أهل الحقيقة... وقد ألف الجلال السيوطي مؤلفات فيما يتعلق بنجاتهما فجزاه الله خيرا

Artinya, “Ulama berbeda pendapat perihal ahli fatrah. Apakah kehadiran rasul yang mana saja sekalipun Nabi Adam AS yang jauh sekali dianggap cukup bahwa dakwah telah sampai (bagi masyarakat musyrik Mekkah) atau mengharuskan rasul secara khusus yang berdakwah kepada kaum tertentu? Menurut kami, yang shahih adalah pendapat kedua. Atas dasar itu, ahli fatrah selamat dari siksa neraka meskipun mereka mengubah dan mengganti keyakinan mereka, lalu menyembah berhala. Kalau ahli fatrah itu terbebas dari siksa neraka, tentu kita yakin bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari neraka karena keduanya termasuk ahli fatrah. Bahkan keduanya termasuk pemeluk Islam berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Allah menghidupkan keduanya setelah Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai rasul sehingga keduanya berkesempatan mengucapkan dua kalimat syahadat. Riwayat hadits ini shahih menurut sebagian ahli hakikat. Syekh Jalaluddin As-Suyuthi menulis sejumlah kitab terkait keselamatan kedua orang tua Rasulullah SAW di akhirat. Semoga Allah membalas kebaikan Syekh Jalaluddin atas karyanya,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Al-Baijuri ala Matnis Sanusiyyah, Dar Ihya’il Kutub Al-Arabiyyah, Indonesia, Halaman 14).

Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nuruz Zhalam Syarah Aqidatil Awam menegaskan sebagai berikut.

قال الباجوري فالحق الذي نلقى الله عليه أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان على أنه قيل أنه تعالى أحياهما حتي آمنا به ثم أماتهما لحديث ورد في ذلك وهو ما روي عن عروة عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سأل ربه أن يحيي له أبويه فأحياهما فآمنا به ثم أماتهما. قال السهيلي والله قادر على كل شيء له أن يخص نبيه بما شاء من فضله وينعم عليه بما شاء من كرامته.

Artinya, “Syekh Ibrahim Al-Baijuri mengatakan, ‘Yang benar adalah bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari siksa neraka berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Allah SWT menghidupkan kembali kedua orang tua Rasulullah SAW sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. Sebuah riwayat hadits dari Urwah dari Sayidatina Aisyah RA menyebutkan bahwa Rasululah SAW memohon kepada Allah SWT untuk menghidupkan kedua orang tuanya sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. As-Suhaili berkata bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengistimewakan karunia-Nya dan melimpahkan nikmat-Nya kepada kekasih-Nya Rasulullah SAW sesuai kehendak-Nya,” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syarah Nuruzh Zhalam ala Aqidatil Awam, Karya Toha Putra, Semarang, Tanpa Tahun, Halaman 27).

Dari dua pandangan ulama di atas, Penulis lebih cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW termasuk kalangan muslim dan golongan orang-orang yang beriman. Karena sah menurut akal (ja’iz aqli) bahwa Allah SWT mengabulkan permintaan Rasulullah SAW memandang pangkat kekasih-Nya yang begitu agung dan mulia itu di sisi-Nya dan begitu luasnya kemurahan Allah itu sendiri.Wallahu a’lam bis shawab.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami jangan sampai perbedaan pendapat dalam masalah ini menyebabkan kita saling menyalahkan satu sama lain atau bahkan meremehkan ulama besar yang berbeda pendapat dengan kita. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq

(Alhafiz Kurniawan)

Instagram : @shulfialaydrus
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : @shulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/habibshulfialaydrus
Pin BBM : 5F7E41C7
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/gsayyiroups/160814570679672/
                       
Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
                       
Penulis Ulang : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس