Rabu, 02 Desember 2015

SHOLAT JUMAT DENGAN DUA ADZAN.

SHOLAT JUMAT  DENGAN DUA ADZAN.

Oleh : Buya Yahya (Pengasuh LPD Al-Bahjah – Cirebon)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العلمين, وبه نستعين على أمور الدنيا والدين, وصلى الله على سيدنا محمد وآله صحبه وسلم أجمعين. وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :  فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى ‏ ‏محمد ‏وشر الأمور ‏ ‏محدثاتها ‏ ‏وكل بدعة ضلالة . أما بعد

Pendahulan

Adanya 2 adzan dalam sholat jum’at adalah merupakan kesepakatan para ulama dari masa kemasa dimulai dari masanya Sayyidina Utsman bin Affan hingga hari ini sampai munculnya pendapat aneh yang bersebrangan dengan apa yang dijalankan oleh para ulama. Memang benar adzan jum’at pada zaman Nabi SAW dan Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar adalah sekali yaitu disaat khotib duduk diatas mimbar. Akan tetapi pada zaman Sayyidina Utsman bin Affan karena semakin banyaknya kaum muslimin maka beliau menganggap perlu untuk menambahkan adzan dari 1 adzan menjadi 2 adzan. Adzan yang pertama untuk mengingatkan kaum muslimin bahwasanya hari itu adalah hari jum’at agar bersiap-siap pergi ke masjid untuk melakukan sholat jum’at. Adapun adzan yang kedua adalah untuk menunjukan bahwa sholat jum’at akan segera dimulai. Dan hal seperti ini sudah menjadi kesepakatan para ulama dari masa kemasa dan tidak ada ingkar sama sekali dari para sahabat Nabi SAW.

Kisah penambahan adzan Sayyidina Utsman Bin Affan disebutkan oleh  Imam Bukhori dalam kitab shohihnya 

  1. Hadits yang diriwayatkan dari Sa’ib Ibn Yazid beliau berkata :

عن السائب بن يزيد -رضي الله عنه- قال: "كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ -رضي الله عنهما- فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ -رضي الله عنه- وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ" . رواه البخاري

Artinya : “Seruan adzan di hari jum’at mula-mula hanya di saat imam duduk di atas mimbar, hal ini terjadi pada zaman Nabi SAW dan zaman Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khotob. Pada zaman Sayyidina Utsman bin Affan saat orang-orang semakin banyak maka Sayyidina Utsman menambahkan adzan yang ke tiga yaitu di zauro” (HR. Bukhori)

Zauro’ adalah satu tempat yang suaranya bisa sampai ke pasar-pasar.

    2. Hadits yang di riwayatkan oleh Az-Zuhri beliau berkata :

عن الزهري قال: سمعت السائب بن يزيد -رضي الله عنه- يقول: "إِنَّ الأَذَانَ يَوْمَ الجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى المِنْبَرِ في عهد رسول الله -صلى الله عليه وآله وسلم- وأبي بكر وعمر -رضي الله عنهما-، فلما كان في خلافة عثمان -رضي الله عنه- وكثروا أمر عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث، فأذن به على الزوراء، فثبت الأمر على ذلك". رواه البخاري

Artinya : “Dari Zuhri beliau berkata sesungguhnya aku mendengar Sa’ib Ibn Yazid berkata : Sesungguhnya adzan pada hari jum’at mula-mula diadakan saat imam duduk diatas mimbar pada hari jum’at pada zaman Nabi SAW, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khotob. Pada masa kekholifahan Sayyidina Utsman bin Affan saat kaum muslimin semakin banyak maka Sayyidina Utsman memerintahkan menambah satu adzan yakni adzan yang ketiga yang dikumandangkan di Zauro’, maka setelah itu seperti itulah ketetapan adzan di dalam sholat jum’at.”

Imam Bukhori menyebut adzan yang ketiga karena secara istilah  iqomat juga disebut sebagai adzan seperti yang disabdakan Nabi SAW.

بين كل أذنين نافلة لمن شاء

Artinya : “Antara 2 adzan ada sholat sunnah yang sunnah untuk dilakukan bagi yang mau melakukan”.

Rasulullah menyebut adzan dan iqomat dengan istilah 2 adzan.

Yang bisa di fahami dari dua riwayat dari Imam Bukhori adalah  adzan dalam jum’at yang semula hanya ada 2 yakni adzan dan iqomat saja, kemudian ditambah oleh Sayyidina Utsman dengan 1 adzan, seperti disebutkan oleh Imam Bukhori dengan istilah adzan yang ketiga, maka adzan dalam jum’at adalah adzan pertama, adzan kedua dan iqomah.

Ibn Hajar Al-Asqolani di dalam Fathul Bari Juz 2 hal 394 berkata :

"والذي يظهر أن الناس أخذوا بفعل عثمان في جميع البلاد إذ ذاك؛ لكونه خليفةً مطاعَ الأمر"

“Yang bisa di fahami sesungguhnya orang-orang telah melakukan dengan apa yang dilakukan Sayyidina Utsman di setiap negeri pada waktu itu karena beliau adalah seorang kholifah yang harus dipatuhi perintahnya”.

Dan sungguh mematuhi Sayyidina Utsman adalah hakikat sunnah Nabi SAW seperti yang disabdakan Nabi SAW dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Hibban dan Imam Hakim.

من يعش منكم بعدي فسيري إختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الحلفاء المهد يين الراشدين  .

 “Siapapun yang hidup setelahku maka akan melihat perbedaan yang banyak, maka hendaknya kalian semua berpegang kepada sunnahku dan sunnah para Kholifah Ar-Rosyidin.”

Dan itulah yang dipahami oleh para sahabat Nabi SAW sehingga pada zaman Sayyidina Utsman  2 adzan dalam sholat jum’at adalah merupakan Ijma atas kesepakatan para ulama dari masa Sayyidina Utsman bin Affan hingga hari ini. Hingga munculah pendapat yang berbeda yang seolah-olah mereka lebih tau tentang sunnah Nabi kemudian berani mengatakan jum’at dengan 2 adzan adalah bid’ah, maka pendapat seperti itu adalah pendapat yang tidak bisa dianggap sama sekali.  Artinya yang membid’ahkan 2 adzan adalah membid’ahkan para sahabat-sahabat Nabi yang mulia dan sungguh benar apa yang disabdakan Nabi SAW,

إن أخر هذه الأمة يلعن أولها أخرها . حديث صحيح   . رواه ابن ماجه

 “Sesungguhnya umat akhir dari umat ini akan melaknat para pendahulu-pendahulunya”. (HR. Ibnu Majah).

Terbukti sabda Nabi SAW pada zaman akhir ini ada orang yang membid’ahkan para salaf dan para sahabat Nabi SAW.

Mungkin ada yang bertanya, Bukankah sholat jum’at sudah ada pada zaman Nabi SAW ? Akan tetapi kenapa pada zaman Nabi adzan hanya dikumandangkan sekali kemudian di saat datang Sayyidina Utsman menjadi 2 kali ? Jawabannya adalah seperti yang disebutkan dalam riwayat Imam Bukhori di atas sebabnya adalah orang-orang semakin banyak pada zaman Sayyidina Utsman dan kota Madinah semakin melebar.
Dalam masalah ini sungguh tidak akan menjadi masalah bagi orang yang mengerti  sunnah Nabi dan bagaimana berpegang pada sunnah Nabi SAW. Dan sudah menjadi maklum bagi ulama  dari para sahabat Nabi bahwa berpegang kepada Khulafa Ar-Rosyidin adalah juga berpegang pada sunnah Nabi SAW.

 Dari itulah kenapa para sahabat Nabi SAW bersepakat mengikuti Sayyidina Utsman  padahal para sahabat Nabi juga banyak dari para ulama selain Sayyidina Utsman. Sungguh mereka tidak mengikuti sahabat Utsman kecuali karena benarnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Utsman Bin Affan Ra.

Waktu Adzan yang Pertama dan Jarak Antara Adzan yang Pertama dan Kedua.

Masalah jangka waktu antara adzan pertama dan kedua tidak ada ketentuannya, hanya dikira-kira sekedar  agar kaum muslimin bisa bergegas mempersiapkan sholat jum’at.
Adapun waktu adzan awal para ulama berbeda pendapat, sebagian mengatakan sebelum masuk waktu dhuhur sebagian lagi mengatakan setelah masuk waktu dhuhur. Dan perbedaan seperti ini bagi mereka para ulama sangat sederhana sebab intinya untuk mengingatkan orang-orang agar bersiap-siap dan bergegas pergi ke masjid .

Pendapat Ulama Saudi.

Berikut ini kami akan menukil pendapat tokoh-tokoh dari Saudi yang sebetulnya kami tidak perlu mendatangkan pendapat-pendapat mereka karena dalam buku-buku kitab ahli sunnah wal jama’ah 4 madzhab sudah diterangkan dengan jelas dan gamblang tanpa ada keraguan sedikit pun bahwa ulama telah bersepakat bahwa adzan dalam sholat jum’at adalah dengan 2 adzan.

Akan tetapi setelah munculnya fitnah pembid’ahan terhadap 2 adzan atau membid’ahkan adzan tambahan Sayyidina Utsman. Maka kami perlu untuk menghadirkan pendapat tokoh-tokoh dari Saudi agar orang-orang yang mengingkari 2 adzan tersebut bisa membaca. Karena kebanyakan dari mereka yang mengingkari 2 adzan  banyak berkiblat kepada para tokoh-tokoh dari Arab Saudi.  Dan dengan sengaja kami nukil dengan bahasa arabnya secara utuh barang kali ada sebagian pembaca yang mengerti bahasa arab agar bisa membacanya sendiri. Dan fatwa-fatwa tersebut juga kami nukil secara utuh tanpa kami kurangi sedikitpun

Yang pertama datang pertanyaan kepada Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz  tentang kapan disyariatkannya 2 adzan dan bagaimana adzan tambahan yang bid’ah ini bisa terjadi di Saudi dan bagaimana orang Saudi melakukan bid’ah.

Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz  menjawab dan jawaban ini juga dikeluarkan oleh lembaga fatwa terpercaya dikalangan mereka yaitu Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhust Al ‘Ilmiyah Wal Ifta’ dan juga Fatwa ini bisa di dapat dalam kumpulan risalah-risalah Syaikh Abdul Aziz Bin Baz  jilid 12.

Fatwa tersebut berbunyi :

ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: "عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ" الحديث، والنداء يوم الجمعة كان أوله حين يجلس الإمام على المنبر في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كانت خلافة عثمان وكثر الناس أمر عثمان رضي الله عنه يوم الجمعة بالأذان الأول، وليس ببدعة لما سبق من الأمر باتباع سنة الخلفاء الراشدين، والأصل في ذلك ما رواه البخاري والنسائي والترمذي وابن ماجة وأبو داود واللفظ له:
عن ابن شهاب أخبرني السائب بن يزيد أن الأذان كان أوله حين يجلس الإمام على المنبر يوم الجمعة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما، فلما كان خلافة عثمان وكثر الناس أمر عثمان يوم الجمعة بالأذان الثالث فأذن به على الزوراء فثبت الأمر على ذلك، وقد علق القسطلاني في شرحه للبخاري على هذا الحديث بأن النداء الذي زاده عثمان هو عند دخول الوقت، سمَّاه ثالثاً باعتبار كونه مزيداً على الأذان بين يدي الإمام والإقامة للصلاة، وأطلق على الإقامة أذاناً تغليباً بجامع الإعلام فيهما، وكان هذا الأذان لما كثر المسلمون فزاده عثمان رضي الله عنه اجتهاداً منه، ووافقه سائر الصحابة بالسكوت وعدم الإنكار، فصار إجماعا سكوتياً

Artinya : ”Telah benar riwayat dari Rosululloh SAW sesungguhnya Rosululloh bersabda : “Hendaknya engkau berpegang dengan sunnah ku dan sunnah Khulafa Ar-Rosyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Maka  berpeganglah dengan sunnah tersebut dengan sungguh-sungguh. Seruan adzan jum’at mula-mula diadakan saat imam duduk di atas mimbar pada zaman Nabi SAW, Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khotob. Pada  zaman Sayyidina Utsman bin Affan kaum muslimin semakin banyak. Maka Sayyidina Utsman memerintahkan menambah adzan yang pertama dalam sholat jum’at dan ini bukanlah BID’AH seperti yang telah disebutkan yaitu adanya perintah dari Nabi untuk mengikuti sunnah para Khulafa Ar-Rosyidin.

Dan landasan permasalahan ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Nasa’i, Imam Tirmidzi dan Imam Abu Dawud. (Dan lafadz hadits ini diambil dari Abu Dawud)

Diriwayatkan dari Ibnu Syihab beliau berkata : Telah memberikan kabar kepadaku Sa’ib ibn Yazid : sesungguhnya adzan itu mula-mula adalah pada saat imam duduk di mimbar pada hari jum’at pada zaman Nabi Saw, zaman Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq dan zaman Sayyidina Umar bin Khotob. Pada masa kekholifahan Sayyidina Utsman tatkala orang-orang semakin banyak Sayyidina Utsman memerintahkan pada hari jum’at agar diadakan adzan yang ke 3 yang kemudian dikumandangkan adzan di Zauro’. Dan setelah itu menjadi tetap lah permasalahan ini seperti itu.

Imam Asqotolani mengomentari hadits ini dalam Syarah Bukhorinya : “Sesungguhnya adzan yang diadakan Sayyidina Utsman  saat masuknya waktu diberi nama dengan adzan ketiga karena dianggap sebagai tambahan dari adzan dihadapan imam (diatas mimbar) dan iqomah untuk sholat. Iqomah di dalam sholat juga di sebut dengan istilah adzan.

Dan adzan (tambahan) ini ditambakan oleh Sayyidina Utsman saat kaum muslimin menjadi banyak, hal seperti ini merupakan Ijtihad dari beliau, dan ijtihad ini disetujui para sahabat Nabi SAW tanpa ada ingkar sama sekali dari mereka. Maka hal semacam ini sudah menjadi Ijma atau kesepakatan (Ijma Sukuti)".

Yang kedua Fatwa Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dalam kitab Syarah Mumti’ juz 6 hal 162.

Teks Fatwa tersebut sebagai berikut  :

ولكن يجب أن نعلم أنّ عثمان ـ رضي الله عنه ـ أحد الخلفاء الراشدين الذين أمرنا باتباع سنتهم، فإن لم ترد عن النبي صلّى الله عليه وسلّم سنة تدفع ما سنه الخلفاء، فسنة الخلفاء شرع متبع، وبهذا نعرف أن الأذان الأول يوم الجمعة سنة بإثبات النبي صلّى الله عليه وسلّم ذلك بقوله: «عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين» ، أما من أنكره من المُحدَثين، وقال: إنه بدعة وضلل به عثمان ـ رضي الله عنه ـ فهو الضال المبتدع؛
لأن عثمان رضي الله عنه سنَّ الأذان الأول بسبب لم يوجد في عهد النبي صلّى الله عليه وسلّم، ولو وجد سببه في عهد الرسول صلّى الله عليه وسلّم ولم يفعله النبي صلّى الله عليه وسلّم لقلنا: إن ما فعله عثمان -رضي الله عنه- مردود؛ لأن السبب وجد في عهد النبي صلّى الله عليه وسلّم ولم يسن النبي صلّى الله عليه وسلّم فيه شيئاً، أما ما لم يوجد في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام السبب الذي من أجله سنَّ عثمان -رضي الله عنه- الأذان الأول فإن سنتَهُ سنةٌ متبعةٌ، ونحن مأمورون باتباعها

Artinya : “Akan tetapi wajib untuk kita mengetahuinya bahwa sesungguhnya Sayyidina Utsman bin Affan adalah salah satu dari Khulafa Ar-Rosyidin yaitu orang-orang yang kita diperintahkan untuk mengikuti sunnah mereka.

Jika tidak ada riwayat dari Nabi SAW satu sunnah yang menolak (bertentangan) dengan sunnah para Khulafah, maka menjadi pasti sunnah para khulafah tersebut adalah Syariat yang harus di ikuti.

Atas dasar inilah kita bisa mengetahui sesungguhnya adzan yang pertama pada hari jum’at adalah sunnah dengan pengukuhan dari Nabi SAW di dalam sabdanya : “Hendaknya engkau berpegang pada sunnah ku dan sunnah para Khulafa  Ar-Rosyidin”

Adapun orang yang mengingkari dari orang-orang baru (akhir zaman) yang mengatakan adzan ini adalah bid’ah kemudian mengatakan Sayyidina Utsman adalah bid’ah, sesungguhnya mereka sendirilah ORANG-ORANG YANG SESAT DAN AHLI BID’AH. Sebab sesungguhnya Sayyidina Utsman mengadakan adzan yang pertama karena sebab yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Seandainya sebab yang ada pada zaman Sayyidina Utsman  juga ada pada zaman Nabi kemudian Nabi tidak melakukannya tetapi Sayyidina Utsman melakukannya niscaya kami akan sependapat dengan mereka dan apa yang dilakukan Sayyidina Utsman harus ditolak. Adapun sebab yang tidak ada pada zaman Nabi kemudian adanya pada zaman Sayyidina Utsman dan Sayyidina Utsman melakukan atas dasar sebab tersebut seperti adzan yang pertama ini maka sesungguhnya itulah sunnah yang di ikuti dan kita pun diperintahkan untuk mengikutinya”.)

Kesimpulan.

Kaum muslimin dan muslimat ini adalah sekelumit dari pencerahan untuk menghindarkan dari fitnah-fitnah yang ada di masjid-masjid masyarakat kita. Dan mari kita semua kembali kepada sunnah Khulafa Ar-Rosyidin dengan mempertahankan  adzan jum’at dengan 2 adzan dan bagi masjid yang adzannya hanya ada satu kali kita kembalikan menjadi 2 adzan yang itu semua adalah demi kepatuhan kita kepada ulama, Khulafa Ar-Rosyidin dan kepada Rosululloh SAW.

Dan bisa disimpulkan sebagai berikut :

  1. Adzan jum’at dengan 2 adzan adalah kesepakatan para sahabat Nabi dan para ulama dari masa kemasa.
  2. Munculnya pendapat yang berbeda dengan ini yaitu pendapat yang membid’ahkan sholat jum’at dengan 2 adzan adalah pendapat yang aneh dan hanya menimbulkan fitnah di tengah masyarakat.
  3. Mari kita membaca ilmu dengan penuh keinsyafan Semoga Allah SWT memberikan hidayah kepada kita semua.
Wallahu a’lam Bish-showab.                          

Penulis Ulang : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Senin, 30 November 2015

AMALAN-AMALAN ISTIMEWA MALAM JUM’AT DAN HARI JUM’AT.

AMALAN-AMALAN ISTIMEWA MALAM JUM’AT DAN HARI JUM’AT.

1. Disunnahkan pada shalat Shubuh di hari Jum'at, imam membaca surat al-Sajdah al-Insan secara sempurna.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، يَوْمَ الْجُمُعَةِ: الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةِ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ

Bahwanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengerjakan shalat Shubuh pada hari Jum’at, beliau membaca: “ALIF LAAM MIIM TANZIIL” (surat As Sajadah) dan, “HAL ATAA ‘ALAL INSAANI HIINUM MINAD DAHRI” (surat Al Insan). (HR. Bukhari No.891, dan Muslim No.879).

2. Disunnahkan memperbanyak membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Hal ini berdasarkan hadits Aus bin Aus Radhiyallahu 'Anhu, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ

"Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling afdhal adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan, dan pada hari itu juga ditiup sangkakala dan akan terjadi kematian seluruh makhluk. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat di hari Jum'at, karena shalawat akan disampaikan kepadaku."

Para shahabat berkata: "Ya Rasulallah, bagaimana shalawat kami atasmu akan disampaikan padamu sedangkan kelak engkau telah lebur dengan tanah?"
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab: "Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad para Nabi." (HR. Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan al Hakim)

3. Disunnahkan membaca surat al-Kahfi pada hari Jum'at berdasarkan hadits Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

"Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan untuknya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menyinarinya dengan cahaya antara dia dan Baitul 'atiq." (Sunan Ad-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim)

4. Melaksanakan shalat Jum'at bagi laki-laki muslim, merdeka, mukallaf, dan tinggal di negerinya. Atas mereka shalat Jum'at hukumnya wajib. Sementara bagi budak, wanita, anak kecil dan musafir, maka shalat Jum'at tidak wajib atas mereka. Namun, jika mereka menghadirinya, maka tidak apa-apa dan sudah gugur kewajiban Dzuhurnya. Dan kewajiban menghadiri shalat Jum'at menjadi gugur disebabkan beberapa sebab, di antaranya sakit dan rasa takut. (Lihat: Syarh al-Mumti': 5/7-24)

5. Mandi besar pada hari Jum'at juga termasuk tuntunan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau bersabda,

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ

"Apabila salah seorang kalian berangkat shalat Jum'at hendaklah dia mandi." (HR. Muslim)

6. Memakai minyak wangi, bersiwak, dan mengenakan pakaian terbagusnya merupakan adab menghadiri shalat Jum'at yang kudu diperhatikan oleh seorang muslim. Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَبِسَ ثِيَابَهُ وَمَسَّ طِيبًا إِنْ كَانَ عِنْدَهُ ثُمَّ مَشَى إِلَى الْجُمُعَةِ وَعَلَيْهِ السَّكِينَةُ وَلَمْ يَتَخَطَّ أَحَدًا وَلَمْ يُؤْذِهِ وَرَكَعَ مَا قُضِيَ لَهُ ثُمَّ انْتَظَرَ حَتَّى يَنْصَرِفَ الْإِمَامُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

"Siapa mandi pada hari Jum'at, lalu memakai pakaiannya (yang bagus) dan memakai wewangian, jika punya. Kemudian berjalan menuju shalat Jum'at dengan tenang, tidak menggeser seseorang dan tidak menyakitinya, lalu melaksanakan shalat semampunya, kemudian menunggu hingga imam beranjak keluar, maka akan diampuni dosanya di antara dua Jum'at." (HR. Ahmad)

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ

"Mandi hari Jum'at itu wajib bagi setiap orang yang bermimpi. Begitu pula dengan bersiwak dan memakai wewangian jika mampu melaksanaknnya (jika ada)." (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Disunnahkan berangkat lebih pagi (lebih awal) saat menghadiri shalat Jum'at. Sunnah ini hamper-hampir saja mati dan tidak pernah terlihat lagi.

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

"Barangsiapa mandi di hari Jum’at seperti mandi janabah, kemudian datang di waktu yang pertama, ia seperti berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang di waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti berkurban seekor kambing gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia seperti berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima, maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan dzikir (khutbah).” (HR. Bukhori dan Muslim)

dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةُ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

"Apabila hari Jum'at tiba, pada pintu-pintu masjid terdapat para Malaikat yang mencatat urutan orang datang, yang pertama dicatat pertama. Jika imam duduk, merekapun menutup buku catatan, dan ikut mendengarkan khutbah." (HR. Bukhari dan Muslim)

8. Saat menunggu imam datang, seorang muslim yang menghadiri shalat jum'at dianjurkan untuk menyibukkan diri dengan shalat, dzikir ataupun membaca Al-Qur'an.

9. Wajib mendengarkan khutbah yang disampaikan imam dengan seksama, tidak boleh sibuk sendiri sehingga tidak memperhatikannya. Akibatnya, Jum'atannya akan sia-sia.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

"Jika engkau berkata pada temanmu pada hari Jum'at, "Diamlah!", sewaktu imam berkhutbah, berarti kemu telah berbuat sia-sia." (Muttafaqun 'Alaih, lafadz milik al Bukhari)

Makna laghauta, menurut Imam al Shan'ani dalam Subulus Salam", makna yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat Ibnul Muniir, yaitu yang tidak memiliki nilai baik. Adapula yang mengatakan, (maknanya) batal keutamaan (pahala-pahala) Jum’atmu dan nilainya seperti shalat Dhuhur.”

Dalam hadits lain, beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا

"Barangsiapa bermain-main krikil, maka sia-sialah Jum'atnya." (HR. Muslim)

Imam an Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam Syarh Shahih Muslim, "dalam hadits tersebut terdapat larangan memegang-megang krikil dan lainnya dari hal yang tak berguna pada waktu khutbah. Di dalamnya terdapat isyarat agar menghadapkan hati dan anggota badan untuk mendengarkan khutbah. Sedangkan makna lagha (perbuatan sia-sia) adalah perbuatan batil yang tercela dan hilang pahalanya."

laghauta : yaitu yang tidak memiliki nilai baik. Adapula yang mengatakan, (maknanya) batal keutamaan (pahala-pahala) Jum’atmu dan nilainya seperti shalat Dhuhur.

10. Pada saat masuk masjid, didapati imam sudah naik mimbar menyampaikan khutbah, maka tetap disunnahkan untuk shalat dua rakaat yang ringan sebelum ia duduk. Hal ini didasarkan kepada hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu, yang menceritakan: Bahwa Sulaik al-Ghathafani datang ke masjid pada hari Jum'at saat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkhutbah. Sulaik langsung duduk, maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Jika salah seorang kalian mendatangi shalat Jum'at, dan (mendapati) imam sedang khutbah, maka hendaknya ia shalat dua rakaat lalu baru duduk." (HR. Muslim)

11. Jika sudah selesai melaksanakan shalat Jum'at, disunnahkan mengerjakan shalat sunnah sesudahnya. Di sebagian riwayat disebutkan, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam shalat sesudah Jum'at sebanyak dua rakaat, (Muttafaq' alaih). Dan terdapat dalam riwayat lain, beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan kepada orang yang melaksanakan shalat sesudah Jum'at sebanyak empat rakaat, (HR. Muslim)

Ishaq rahimahullah berkata, "Jika ia shalat (sunnah ba'da Jum'at) di masjid maka ia shalat empat rakaat. Dan jika melaksanakannya di rumahnya, maka ia shalat dua rakaat."

Abu Bakar al-Atsram berkata, "Kedua-duanya boleh." (al-Hadaiq, Ibnul Jauzsi: 2/183)

"Jika ia shalat (sunnah ba'da Jum'at) di masjid maka ia shalat empat rakaat. Dan jika melaksanakannya di rumahnya, maka ia shalat dua rakaat."

12. Memperbanyak doa di penghujung hari Jum'at, karena termasuk waktu mustajab untuk dikabulkannya doa. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radliyallah 'Anhu, dia bercerita: "Abu Qasim (Rasululah) Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

"Sesungguhnya pada hari Jum'at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya." Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, yang kami pahami, untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat). (HR. Bukhori dan Muslim)

13. Dimakruhkannya puasa pada hari jum’at jika sebelum dan atau sesudahnya tidak melakukan puasa. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ، إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

“Janganlah seorang dari kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali dibarengi dengan satu hari sebelum atau sesudahnya”. (Shahih Bukhari, no. 1985, Shahih Muslim, no.1144. Adapun yang tertera disini adalah redaksi Imam Bukhari)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Juwairiyah “ummul mu’minin” (ibunda kaum mukmin, istri Rasulullah) radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ، فَقَالَ: «أَصُمْتِ أَمْسِ؟»، قَالَتْ: لاَ، قَالَ: «تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا؟» قَالَتْ: لاَ، قَالَ: فَأَفْطِرِي

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemuinya pada hari Jum’at ketika dia sedang berpuasa. Beliau bertanya: “Apakah kemarin kamu juga berpuasa?” Dia menjawab: “Tidak”. Beliau bertanya lagi: “Apakah besok kamu berniat berpuasa?” Dia menjawab: “Tidak”. Maka Beliau berkata: “Berbukalah (batalkan puasamu)” (Shahih Bukhari, no.1986)

Menurut pendapat yang shohih dalam madzhab syafi’i dan juga pendapat mayoritas ulama’ puasa pada hari jum’at secara tersendiri hukumnya makruh, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi.

Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa hikmah dari dimakruhkannya puasa pada hari jum’at secara tersendiri adalah dikarenakan hari jum’at merupakan hari yang dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah berupa dzikir, do’a, membaca qur’an dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu disunahkan untuk tidak berpuasa pada hari ini agar dapat membantu pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut dengan giat tanpa kebosanan. Hal ini seperti halnya anjuran yang diperuntukkan bagi orang haji yang sedang berada di padang arafah, yang lebih utama baginya adalah tidak melakukan puasa karena hikmah yang sama seperti dalam hal kemakruhan puasa jum’at.

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari sayyidina Ali karramallahu wajhah;

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَطَوِّعًا مِنَ الشَّهْرِ أَيَّامًا، فَلْيَكُنْ صَوْمُهُ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَلَا يَصُومُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِنَّهُ يَوْمُ طَعَامٍ وَشَرَابٍ، وَذِكْرٍ

“Barangsiapa diantara kalian yang mengerjakan amalan sunah beberapa dari satu bulan, maka hendaklah puasanya dikerjakan pada hari kamis, dan tidak berpuasa pada hari jum’at, karena sesungguhnya hari jum’at adalah hari makan , minum (tidak berpuasa), dan berdzikir”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah No.9243)

Sedangkan menurut pendapat yang dipilih oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar, hikmah dari kemakruhan puasa pada hari jum’at adalah bahwa hari jum’at adalah hari raya kaum muslimin, dan sebagaimana yang dudah diketahui pada hari raya kita dilarang untuk berpuasa. Hal ini dikuatkan dengan hadits marfu’ dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Hakim;

يَوْمُ الْجُمُعَةِ عِيدٌ فَلَا تَجْعَلُوا يَوْمَ عِيدِكُمْ يَوْمَ صِيَامِكُمْ إِلَّا أَنْ تَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

“Hari jum’at adalah hari raya, maka jangan kalian jadikan hari raya kalian sebagai hari puasa kalian kecuali jika sebelum atau sesudahnya kalian berpuas.” (Al-Mustadrak, No.1595)

Sedangkan menurut pendapat lain yang dipilih oleh Imam Suyuthi, hikmah dari kemakruhan puasa pada hari jum’at adalah untuk menyelisihi orang-orang yahudi dimana mereka berpuasa pada hari raya mereka.

14. Dimakruhkannya melakukan ibadah yang khusus pada malam harinya.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي، وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat malam di antara malam-malam yang lain, dan jangan pula dengan puasa, kecuali memang bertepatan dengan hari puasanya.” (Shahih Muslim, no.1144)

Dalam kitab Syarah Shohih Muslim imam Nawawi menjelaskan bahwa didalam hadits ini terdapat larangan yang jelas mengenai pelaksanaan sholat yang khusus dilakukan pada malam jum’at, dan kemakruhan ini telah disepakati oleh semua ulama’.

15. Memperbanyak do’a di hari Jum’at.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan mengenai hari Jum’at lalu ia bersabda,

فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut. (HR. Al Hakim)

Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud. Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang kuat.

Kapan waktu mustajab di hari Jum’at?

Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:

هي ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضى الصلاة

“Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai” (HR. Al Hakim).

Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi.

Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:

يوم الجمعة ثنتا عشرة يريد ساعة لا يوجد مسلم يسأل الله عز وجل شيئا إلا أتاه الله عز وجل فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر

“Dalam 12 jam hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu kepada Allah Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah ashar” (HR. Abu Dawud).

Pendapat ini dipilih oleh At Tirmidzi, pendapat ini yang lebih masyhur dikalangan para ulama.

Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan pendapat ini.

Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada dua waktu yang disebutkan”.

Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس