Rabu, 14 Desember 2016

HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM.


FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

Nomor 56 Tahun 2016

Tentang

HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :

*MENIMBANG : *

a. bahwa di masyarakat terjadi fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka;

b. bahwa untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lain sebagainya, bahkan kantor pemerintahan  mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-muslim;

c. bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim;

d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman.

*MENGINGAT : *

1. Al-Quran :

a. Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan meniru perkataan orang-orang kafir, antara lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا  وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): ‘Raa´ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)

b. Firman Allah SWT yang melarang mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil, antara lain:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah : 42)

c. Firman Allah SWT yang menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar agama, khususnya terkait dengan ibadah, antara lain:

قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ(1)لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ(2)وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(3)وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ(4)وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(5)لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ(6)

“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun: 1-6)

d. Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk, dan syi’ar selain Islam, antara lain:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am: 153)

e. Firman Allah SWT yang tidak melarang orang Islam bergaul dan berbuat baik dengan orang kafir yang tidak memusuhi Islam

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Mumtahanah : 8)

f. Firman Allah SWT yang mengkhabarkan bahwa orang mukmin tidak bisa saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, antara lain:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS. Al-Mujadilah: 22)

2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw beliau bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى َقالَ فمَنْ

Dari Abi Sa’id al-Khudri ra dari Nabi Saw: “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka memasuki lubang biawakpun tentu kalian mengikuti mereka juga” Kami berkata: Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara? Maka beliau berkata: “Maka siapa lagi?.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus dengan pedang menjelang hari kiamat hingga mereka menyembah Allah Ta’ala semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan telah dijadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku, dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (HR Abu Dawud)

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ

Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya”. (HR. al-Tirmidzi)

3. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan mencegah sesuatu perbuatan yang lahiriyahnya boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan mengakibatkan perbuatan yang haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak dan bathil.

4. Qaidah Fidhiyyah:

دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan”

*MEMPERHATIKAN : *

1. Pendapat Imam Khatib al-Syarbini dalam  kitab “Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526, sebagai berikut:

ﻭَﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻣَﻦْ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻴَﺎﺩِﻫِﻢْ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻤْﺴِﻚُ ﺍﻟْﺤَﻴَّﺔَ ﻭَﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺬِﻣِّﻲٍّ ﻳَﺎ ﺣَﺎﺝُّ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻨَّﺄَﻩُ ﺑِﻌِﻴﺪِﻩِ….

“Dihukum  ta’zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi  ‘Ya Hajj’, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di hari raya (orang kafir)…”.

2. Pendapat Imam Jalaluddin al-Syuyuthi  dalam Kitab “Haqiqat al-Sunnah wa al-Bid’ah : al-Amru bi al-Ittiba wa al-Nahyu an al-Ibtida’, halaman  42:

ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة كما يفعله كثير من جهلة المسلمين من مشاركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه …والتشبه بالكافرين حرام وإن لم يقصد ما قصد

Termasuk bid’ah dan kemungkaran adalah sikap menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya dan perayaan-perayaan mereka yang dilaknat (oleh Allah). Sebagaimana dilakukan banyak kaum muslimin yang tidak berilmu, yang ikut-ikutan orang-orang Nasrani dan menyamai mereka dalam perkara yang mereka lakukan… Adapun menyerupai orang kafir hukumnya haram sekalipun tidak bermaksud menyerupai”.

3. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, jilid IV halaman 239 :

ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك

Di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi Saw telah bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”. Bahkan Ibnul Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang Nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut”.

4. Pendapat Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir Juz I halaman 373 saat menjelaskan makna surah al-Baqarah [2] ayat 104:

أن الله تعالى نهى المؤمنين عن مشابهة الكافرين قولا وفعلا . فقال: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا  وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ(

Sesungguhnya Allah melarang orang-orang mukmin untuk  menyerupai orang-orang kafir baik dalam ucapan atau perbuatan, Maka Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa´ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”

5. Pendapat Imam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab “Majmu’ al-Fatawa” jilid XXII halaman 95:

أن المشابهة في الأمور الظاهرة تورث تناسبا وتشابها في الأخلاق والأعمال ولهذا نهينا عن مشابهة الكفار

Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berdampak pada kesamaan dan  keserupaan dalam akhlak dan perbuatan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir.”

6. Pendapat Imam Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab Ahkam Ahl al-Dzimmah, Jilid 1 hal. 441-442:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan. Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari raya ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan “selamat pada hari raya ini” dan yang semacamnya. Maka ini, jika orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, maka ini termasuk perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka setara dengan ucapan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

7. Pendapat al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari, sebagaimana dikutip Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadi dalam kitab Aun al-Ma’bud, Juz XI/hal 74 dalam menjelaskan hadits tentang tasyabbuh:

وقال القارئ: أي من شبه نفسه بالكفار مثلا من اللباس وغيره أو بالفساق أو الفجار أو بأهل التصوف والصلحاء الأبرار فهو منهم أي في الإثم والخير

Al-Qori berkata: “Maksudnya barangsiapa dirinya menyerupai orang kafir seperti pada pakaiannya atau lainnya atau (menyerupai) dengan orang fasik, pelaku dosa serta orang ahli tashawwuf dan  orang saleh dan baik  (maka dia termasuk di dalamnya) yakni dalam mendapatkan dosa atau kebaikan.”

9. Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama pada Tanggal 7 Maret 1981.

10. Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

11. Presentasi dan makalah Prof. DR. H. Muhammad Amin Summa, MA, SH., SE tentang Seputar Sya’airillah.
12. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa MUI pada tanggal 14 Desember 2016.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM

Pertama  :  Ketentuan Umum

Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :

Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau  umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.

Kedua  : Ketentuan Hukum

1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

Ketiga  :  Rekomendasi

1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.

2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.

3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.

4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan  tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.

5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.

6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan  (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim  untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.

Ketiga :  Penutup

1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan di :

Jakarta

Pada tanggal :

14 Rabi’ul Awwal 1438 H

14 Desember  2016 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA

KOMISI FATWA

Ketua

PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA

Sekretaris

DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA

Link Dokumen Fatwa :
https://drive.google.com/file/d/0BwWQGmmokbVBYk9Bek9TZWFVUUE/view?usp=sharing

Senin, 25 Juli 2016

Apakah benar di Hari Kiamat ayah dan ibu Nabi Muhammad saw masuk neraka?

Apakah benar di Hari Kiamat ayah dan ibu Nabi Muhammad saw masuk neraka? 

Pertanyaan.

Yang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online. Kami memohon penjelasan tentang hadits riwayat Muslim yang menyatakan bahwa ayah dan ibu Nabi Muhammad SAW masuk neraka. Kami memohon penjelasan hadits ini. Apakah benar di Hari Kiamat ayah dan ibu Nabi Muhammad saw masuk neraka? Terima kasih atas penjelasannya. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Hilmi Qosim Mubah)

Jawaban.

Penanya dan pembaca yang budiman di mana pun berada. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya untuk kita semua. Sebelum berbicara lebih jauh kita terlebih dahulu menyebutkan hadits riwayat Imam Muslim yang menunjukkan bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW termasuk penduduk neraka kelak di akhirat.

Kita setidaknya menemukan dua hadits yang diriwayatkan di dalam kitab Jamuis Shahih Muslim terkait masalah ini. Hadits pertama diriwayatkan oleh Sahabat Anas bin Malik. Hadits kedua diriwayatkan Sahabat Abu Hurairah RA.

Hadits riwayat Anas bin Malik RA menceritakan sebagai berikut.

أَنّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: فِي النّارِ. فَلَمّا قَفّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النّارِ

Artinya, "Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ Nabi Muhammad SAW menjawab, ‘Di neraka.’ Ketika orang itu berpaling untuk pergi, Nabi Muhammad SAW memanggilnya lalu berkata, ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka,’” (HR Muslim).

Sementara hadits riwayat Abu Hurairah RA menyebutkan sebagai berikut.

زَارَ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَبْرَ أُمّهِ. فَبَكَىَ وَأَبْكَىَ مَنْ حَوْلَهُ. فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِي

Artinya, "Nabi Muhammad SAW menziarahi makam ibunya. Di sana Beliau SAW menangis sehingga para sahabat di sekitarnya turut menangis. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Kepada Allah Aku sudah meminta izin untuk memintakan ampun bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengizinkanku. Lalu Aku meminta kepada-Nya agar Aku diizinkan menziarahi makam ibuku, alhamdulillah Dia mengizinkanku," (HR Muslim).

Secara harfiah pemahaman yang kita dapati dari keterangan dua hadits di atas menujukkan bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW termasuk ke dalam penghuni neraka. Tetapi sebenarnya ulama baik dari kalangan ahli hadits maupun kalangan ahli kalam berbeda pendapat perihal ini. Di antara ulama yang memaknai hadits ini secara harfiah adalah Imam An-Nawawi. Dalam kitab Syarah Muslim yang ditulisnya menunjukkan secara jelas posisinya seperti keterangan berikut ini.

قوله ( أن رجلا قال يا رسول الله أين أبي قال في النار فلما قفى دعاه فقال إن أبي وأباك في النار ) فيه أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تنفعه قرابة المقربين وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان فهو من أهل النار وليس هذا مؤاخذة قبل بلوغ الدعوة فان هؤلاء كانت قد بلغتهم دعوة ابراهيم وغيره من الأنبياء صلوات الله تعالى وسلامه عليهم وقوله صلى الله عليه و سلم أن أبي وأباك في النار هو من حسن العشرة للتسلية بالاشتراك في المصيبة ومعنى قوله صلى الله عليه و سلم قفي ولى قفاه منصرفا 

Artinya, “Pengertian hadits ‘Seorang lelaki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ dan seterusnya, menunjukkan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan kufur bertempat di neraka. Kedekatan kerabat muslim tidak akan memberikan manfaat bagi mereka yang mati dalam keadaan kafir. Hadits ini juga menunjukkan bahwa mereka yang meninggal dunia di masa fatrah (masa kosong kehadiran rasul) dalam keadaan musyrik yakni menyembah berhala sebagaimana kondisi masyarakat Arab ketika itu, tergolong ahli neraka. Kondisi fatrah ini bukan berarti dakwah belum sampai kepada mereka. Karena sungguh dakwah Nabi Ibrahim AS, dan para nabi lainnya telah sampai kepada mereka. Sedangkan ungkapan ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka’ merupakan ungkapan solidaritas dan empati Rasulullah SAW yang sama-sama terkena musibah seperti yang dialami sahabatnya perihal nasib orang tua keduanya. Ungkapan Rasulullah SAW ‘Ketika orang itu berpaling untuk pergi’ bermakna beranjak meninggalkan Rasulullah SAW.” (lihat Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, Dar Ihyait Turats Al-Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1392 H).

Sementara ulama lain menilai hadits ini telah dimansukh (direvisi) oleh riwayat Sayidatina Aisyah RA. Dengan demikian kedua orang tua Rasulullah SAW terbebas sebagai penghuni neraka seperti keterangan hadits yang telah dimansukh. Salah satu ulama yang mengambil posisi ini adalah Syekh Jalaluddin As-Suyuthi dalam karyanya Ad-Dibaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj.

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب قالا حدثنا محمد بن عبيد عن يزيد بن كيسان عن أبي حازم عن أبي هريرة قال زار النبي صلى الله عليه و سلم قبر أمه الحديث قال النووي هذا الحديث وجد في رواية أبي العلاء بن ماهان لأهل المغرب ولم يوجد في روايات بلادنا من جهة عبد الغافر الفارسي ولكنه يوجد في أكثر الأصول في آخر كتاب الجنائز ويضبب عليه وربما كتب في الحاشية ورواه أبو داود والنسائي وابن ماجة قلت قد ذكر بن شاهين في كتاب الناسخ والمنسوخ أن هذا الحديث ونحوه منسوخ بحديث إحيائها حتى آمنت به وردها الله وذلك في حجة الوداع ولي في المسألة سبع مؤلفات

Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW menziarahi makam ibunya dan seterusnya. Menurut Imam An-Nawawi, ‘Hadits ini terdapat pada riwayat Abul Ala bin Mahan penduduk Maghrib, tetapi tidak terdapat pada riwayat orang-orang desa kami dari riwayat Abdul Ghafir Al-Farisi. Namun demikian hadits ini terdapat di kebanyakan ushul pada akhir Bab Jenazah dan disimpan. Tetapi terkadang ditulis di dalam catatan tambahan. Hadits ini diiwayatkan Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah.’ Hemat saya jelas, Ibnu Syahin menyebutkan di dalam kitab Nasikh dan Mansukh bahwa hadits ini dan hadits yang semakna dengannya telah dimansukh oleh hadits yang menerangkan bahwa Allah menghidupkan kembali ibu Rasulullah sehingga ia beriman kepada anaknya, lalu Allah mewafatkannya kembali. Ini terjadi pada Haji Wada’. Perihal masalah ini saya telah menulis tujuh kitab,” (Lihat Abdurrahman bin Abu Bakar, Abul Fadhl, Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Dibaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj).

Kalangan ahli kalam juga membicarakan perihal ahli fatrah. Menurut kalangan Muktazilah dan sebagian ulama Maturidiyah, orang-orang ahli fatrah yang wafat dalam keadaan musyrik termasuk penghuni neraka. Karena bagi mereka, manusia tanpa diutus seorang rasul sekalipun semestinya memilih tauhid melalui daya akal yang dianugerahkan Allah kepadanya.

Sementara kalangan Asy-ari menempatkan ahli fatrah sebagai kalangan yang terbebas dari tuntutan tauhid karena tidak ada rasul yang membimbing mereka. Berikut ini perbedaan pendapat yang bisa kami himpun.

واختلف هل يكتفي بدعوة أي رسول كان ولو آدم أو لا بد من دعوة الرسول الذي أرسل إلى هذا الشخص. والصحيح الثاني. وعليه فأهل الفترة ناجون وإن غيروا و بدلوا وعبدوا الأوثان. وإذا علمت أن أهل الفترة ناجون علمت أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان لكونهما من أهل الفترة بل هما من أهل الإسلام لما روي أن الله تعالى أحياهما بعد بعثة النبي صلى الله عليه وسلم فآمنا به... ولعل هذا الحديث صح عند بعض أهل الحقيقة... وقد ألف الجلال السيوطي مؤلفات فيما يتعلق بنجاتهما فجزاه الله خيرا

Artinya, “Ulama berbeda pendapat perihal ahli fatrah. Apakah kehadiran rasul yang mana saja sekalipun Nabi Adam AS yang jauh sekali dianggap cukup bahwa dakwah telah sampai (bagi masyarakat musyrik Mekkah) atau mengharuskan rasul secara khusus yang berdakwah kepada kaum tertentu? Menurut kami, yang shahih adalah pendapat kedua. Atas dasar itu, ahli fatrah selamat dari siksa neraka meskipun mereka mengubah dan mengganti keyakinan mereka, lalu menyembah berhala. Kalau ahli fatrah itu terbebas dari siksa neraka, tentu kita yakin bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari neraka karena keduanya termasuk ahli fatrah. Bahkan keduanya termasuk pemeluk Islam berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Allah menghidupkan keduanya setelah Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai rasul sehingga keduanya berkesempatan mengucapkan dua kalimat syahadat. Riwayat hadits ini shahih menurut sebagian ahli hakikat. Syekh Jalaluddin As-Suyuthi menulis sejumlah kitab terkait keselamatan kedua orang tua Rasulullah SAW di akhirat. Semoga Allah membalas kebaikan Syekh Jalaluddin atas karyanya,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Al-Baijuri ala Matnis Sanusiyyah, Dar Ihya’il Kutub Al-Arabiyyah, Indonesia, Halaman 14).

Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nuruz Zhalam Syarah Aqidatil Awam menegaskan sebagai berikut.

قال الباجوري فالحق الذي نلقى الله عليه أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان على أنه قيل أنه تعالى أحياهما حتي آمنا به ثم أماتهما لحديث ورد في ذلك وهو ما روي عن عروة عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سأل ربه أن يحيي له أبويه فأحياهما فآمنا به ثم أماتهما. قال السهيلي والله قادر على كل شيء له أن يخص نبيه بما شاء من فضله وينعم عليه بما شاء من كرامته.

Artinya, “Syekh Ibrahim Al-Baijuri mengatakan, ‘Yang benar adalah bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari siksa neraka berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Allah SWT menghidupkan kembali kedua orang tua Rasulullah SAW sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. Sebuah riwayat hadits dari Urwah dari Sayidatina Aisyah RA menyebutkan bahwa Rasululah SAW memohon kepada Allah SWT untuk menghidupkan kedua orang tuanya sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. As-Suhaili berkata bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengistimewakan karunia-Nya dan melimpahkan nikmat-Nya kepada kekasih-Nya Rasulullah SAW sesuai kehendak-Nya,” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syarah Nuruzh Zhalam ala Aqidatil Awam, Karya Toha Putra, Semarang, Tanpa Tahun, Halaman 27).

Dari dua pandangan ulama di atas, Penulis lebih cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW termasuk kalangan muslim dan golongan orang-orang yang beriman. Karena sah menurut akal (ja’iz aqli) bahwa Allah SWT mengabulkan permintaan Rasulullah SAW memandang pangkat kekasih-Nya yang begitu agung dan mulia itu di sisi-Nya dan begitu luasnya kemurahan Allah itu sendiri.Wallahu a’lam bis shawab.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami jangan sampai perbedaan pendapat dalam masalah ini menyebabkan kita saling menyalahkan satu sama lain atau bahkan meremehkan ulama besar yang berbeda pendapat dengan kita. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq

(Alhafiz Kurniawan)

Instagram : @shulfialaydrus
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : @shulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/habibshulfialaydrus
Pin BBM : 5F7E41C7
LINE : shulfialaydrus
Facebook : Habib Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/gsayyiroups/160814570679672/
                       
Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
                       
Penulis Ulang : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس


Jumat, 24 Juni 2016

Meninggalkan Shalat Lima Waktu.

Meninggalkan Shalat Lima Waktu.

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.

Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.

Banyak ayat yang membicarakan hal ini (shalat) dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan hanya beberapa ayat saja.

Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. AN Nisaa’ (4) : 103)

Dari ayat tersebut diatas adalah perintah untuk mendirikan shalat.

Allah Ta’ala berfirman :

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya (kesesatan), kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam (19) : 59-60)

Ibnu Abbas berkata tentang tafsir ayat diatas. “bukan makna meninggalkan shalat, tapi shalat pada akhir waktu”. Menurut Said bin Musayyib.” Yang didimaksud dengan ayat diatas adalah mengakhiri zhuhur sampai ashar dan ashar sampai maghrib dan manghrib samapai isya dan subuh sampai terbit matahari”.

Ibnu Mas’ud ra. mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam.

Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.

Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Jika mereka bertobat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. (QS. At Taubah (9) : 11)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. (QS. Al Hujuraat  (49) : 10)

Kebanyakan yang membuat manusia lalai dari shalat dan bahkan mau meninggalkan shalat disebabkan oleh harta dan anak. Makanya Allah telah memperingatkan kepada kita semua bahwa harta dan anak itu adalah cobaan.

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.. (QS. Al Anfaal (8) : 28)

Dan diayat lain Allah memperingatkan kita juga

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.. (QS. At Taghaabun (64) : 15)

Makanya tidak ragu lagi kita, bahwa yang membuat manusia melaikan shalat dan bahkan ada yang sampai meninggalkannya adalah harta dan anak.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.. (QS. Al Munaafiquun (63) : 9)

Jumhur mufassiriin (kebanyak ahli tafsir) mengatakan, yang dimaksud “lalai dari mengingat Allah”. Lalai dari shalat yang lima waktu. Dan yang barangsiapa yang menyia-nyiakankan  shalat akan dilaknat oleh Allah dan seluruh binatang yang ada didunia ini. Kalaulah seandainya pandai rumah berbicara, pasti dia akan bicara bagi penghuninya yang tidak shalat. “wahai musuh Allah keluarlah dari sini, sembahlah Allah”.

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (QS. Al Maa’un  (107) : 4-5)

Sa’ad bin Abi Waqas pernah bertanya kepada Rasulullah saww. tentang shalat yang sahun. Rasul menjawab : ”yaitu orang shalat diakhir waktu”.

Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Hadits.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ كِلَاهُمَا عَنْ جَرِيرٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرًا يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi dan Utsman bin Abu Syaibah keduanya dari Jarir. Yahya berkata, telah mengabarkan kepada kami Jarir dari al-A'masy dari Abu Sufyan dia berkata, saya mendengar Jabir berkata, "Saya mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh, yang memisahkan antara seorang laki-laki dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim No. 116, 117, Abudaud No.4058, Ahmad No.14451, 14650, dan Ibnumajah No.1068)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ نَصْرِ بْنِ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ حَدَّثَنِي قَتَادَةُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ حُرَيْثِ بْنِ قَبِيصَةَ قَالَ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ يَسِّرْ لِي جَلِيسًا صَالِحًا قَالَ فَجَلَسْتُ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ إِنِّي سَأَلْتُ اللَّهَ أَنْ يَرْزُقَنِي جَلِيسًا صَالِحًا فَحَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَنْفَعَنِي بِهِ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَقَدْ رَوَى بَعْضُ أَصْحَابِ الْحَسَنِ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ حُرَيْثٍ غَيْرَ هَذَا الْحَدِيثِ وَالْمَشْهُورُ هُوَ قَبِيصَةُ بْنُ حُرَيْثٍ وَرُوِي عَنْ أَنَسِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوُ هَذَا

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Nashr bin Ali Al Jahdlami berkata; telah menceritakan kepada kami Sahl bin Hammad berkata; telah menceritakan kepada kami Hammam berkata; telah menceritakan kepadaku Qatadah dari Al Hasan dari Huraits bin Qabishah ia berkata; "Aku datang ke Madinah, lalu aku berdo`a, "Ya Allah, mudahkanlah aku untuk mendapat teman shalih." Huraits bin Qabishah berkata; "Lalu aku berteman dengan Abu Hurairah, aku kemudian berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku telah memintah kepada Allah agar memberiku rizki seorang teman yang shalih, maka bacakanlah kepadaku hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, semoga dengannya Allah memberiku manfaat." Maka Abu Hurairah pun berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat pertama kali yang akan Allah hisab atas amalan seorang hamba adalah shalatnya, jika shalatnya baik maka ia akan beruntung dan selamat, jika shalatnya rusak maka ia akan rugi dan tidak beruntung. Jika pada amalan fardlunya ada yang kurang maka Rabb 'azza wajalla berfirman: "Periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?" lalu setiap amal akan diperlakukan seperti itu." Ia berkata; "Dalam bab ini juga ada riwayat dari Tamim Ad Dari." Abu Isa berkata; "Hadits Abu Hurairah derajatnya hasan gharib dari sisi ini. Hadits ini telah diriwayatkan juga dari Abu Hurairah dengan jalur lain. Sebagian sahabat Al Hasan juga telah meriwayatkan hadits lain dari Al Hasan, dari Qabishah bin Huraits. Dan yang lebih terkenal adalah Qabishah bin Huraits. Hadits seperti ini juga pernah diriwayatkan dari Anas bin Hakim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. At Tirmidzi No.378, Ahmad No.16019, 16339, 16342 dan No.22119)

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

Nabi Muhammad saww. bersabda : “Pokok dari perkara agama adalah Islam, tiangnya adalah shalat”. (HR. At Tirmidzi No. 2541, Ahmad No.21054)


الصلاة عماد الدين, من أقامها فقد أقام الدين, ومن تركها(هدمها) فقد هدم الدي

Nabi Muhammad saww. : “Shalat adalah tiang agama, barangsiapa menegakkannya berarti telah menegakkan agama dan barangsiapa yang meninggalkannya (merobohkannya) berarti dia telah merobohkan agama”. (HR. Al Baihaqi)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُسْنَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو رَوْحٍ الْحَرَمِيُّ بْنُ عُمَارَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي يُحَدِّثُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Musnadi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu Rauh Al Harami bin Umarah berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Waqid bin Muhammad berkata; aku mendengar bapakku menceritakan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, MENEGAKKAN SHALAT, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah" (HR. Bukhori No.24, Muslim No.33)

Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa meninggalkan shalat adalah kafir.

Sayyidina Umar bin Khothob ra. mengatakan :

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.

Dari jalan yang lain, Sayyidina Umar ra. berkata :

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat. (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu ‘Asakir. Hadits ini shohih )

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat. (Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Telah sepakat para ulama orang yang meninggalakan shalat lebih jelek dari pada zina, minuman keras, membunuh. Dan bahkan sebagaian ulama ada yang mengatakan kafir bagi siapa yang berani meninggalkan shalat  dengan sengaja.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)

Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)

Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)

Apakah orang yang meninggalkan shalat, kafir alias bukan muslim?

Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat.

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, “Sholat oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un (107) : 4-5)

Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).

Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.

Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)

Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah.

Dalam Kitab Az Zawajir susunan Ahmad bin Hajar Al Haitami berkata:
Tersebut dalam hadits, "Barangsiapa menjaga shalat lima waktu, niscaya di muliakan oleh Allah dengan lima kemuliaan" :

1. Allah menghilangkan kesempitan hidupnya.
2. Allah hilangkan siksa kubur darinya.
3. Allah akan memberikan buku catatan amalnya dengan tangan kanannya.
4. Dia akan melewati jembatan (Shirat) bagaikan kilat.
5. Akan masuk syurga tanpa hisab

Dan barangsiapa yang menyepelekan shalat, niscaya Allah akan mengazabnya dengan lima belas siksaan ; enam siksa di dunia, tiga siksaan ketika mati, tiga siksaan ketika masuk liang kubur dan tiga siksaan ketika bertemu dengan Tuhannya (akhirat).

Adapun siksa di dunia adalah :

1. Dicabut keberkahan umurnya.
2. Dihapus tanda orang saleh dari wajahnya.
3. Setiap amal yang dikerjakan, tidak diberi pahala oleh Allah.
4. Do’anya tidak naik kelangit (tidak diterima).
5. Tidak termasuk (mendapat) bagian dari do'anya orang-orang saleh.
6. Tidak beriman ketika ruh di cabut dari tubuhnya.

Adapun siksa ketika akan mati :

1. Mati dalam keadaan hina.
2. Mati dalam keadaan lapar.
3. Mati dalam keadaan haus, yang seandainya diberikan semua air laut tidak akan menghilangkan rasa hausnya.

Adapun siksa kubur :

1. Allah menyempitkan liang kuburnya sehingga hancur tulang-tulang rusuknya.
2. Tubuhnya dipanggang di atas bara api siang dan malam.
3. Dalam kuburnya terdapat ular yang bernama Suja'ul Aqro' yang akan menerkamnya karena menyia-nyiakan shalat. Ular itu akan menyiksanya, yang lamanya sesuai dengan waktu shalat.

Adapun siksa yang menimpanya waktu bertemu dengan Tuhan :

1. Apabila langit telah terbuka, maka malaikat datang kepadanya dengan membawa rantai. Panjang rantai tsb. tujuh hasta. Rantai itu digantungkan ke leher orang tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya dan keluar dari duburnya. Lalu malaikat mengumumkan : 'Ini adalah balasan orang yang menyepelekan perintah Allah'. Ibnu Abbas r.a berkata, 'seandainya lingkaran rantai itu jatuh ke bumi pasti dapat membakar bumi'.
2. Allah tidak memandangnya dengan pandangan kasih sayang-Nya Allah tidak mensucikannya dan baginya siksa yang pedih.
3. Menjadi hitam pada hari kiamat wajah orang yang meninggalkan shalat, dan sesungguhnya dalam neraka Jahannam terdapat jurang yang disebut "Lam-lam". Di dalamnya terdapat banyak ular, setiap ular itu sebesar leher unta, panjangnya sepanjang perjalanan sebulan. Ular itu menyengat orang yang meninggalkan shalat sampai mendidih bisanya dalam tubuh orang itu selama tujuh puluh tahun kemudian membusuk dagingnya.

Hikayat : Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita (dari Bani Isra’il) berjalan terhuyung-huyung, pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam duka cita yang mencekam, kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya, tanpa rias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya, kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah meruyak hidupnya, ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa as. diketuknya pintu pelan-pelan sambil mengucapkan salam, maka terdengarlah ucapan dari dalam “Silakan masuk”. Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya berderai tatkala ia berkata, “Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya, Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya.” “Apakah dosamu wahai wanita ayu?” tanya Nabi Musa as terkejut. “Saya takut mengatakannya.” jawab wanita cantik. “Katakanlah jangan ragu-ragu!” desak Nabi Musa. Maka perempuan itu pun terpatah bercerita, “Saya telah berzina.” Kepala Nabi Musa terangkat, hatinya tersentak.
Perempuan itu meneruskan, “Dari perzinaan itu saya pun lantas hamil, setelah anak itu lahir, langsung saya cekik lehernya sampai tewas”, ucap wanita itu seraya menagis sejadi-jadinya. Nabi musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia menghardik,” Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!” teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik.

Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit Dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk ke luar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan. Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau di bawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa as.. Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, “Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertobat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?” Nabi Musa terperanjat. “Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?” Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril.
“Betulkah ada dosa yang lebih besar dari pada perempuan yang nista itu?” “Ada!” jawab Jibril dengan tegas. “Dosa apakah itu?” tanya Musa kian penasaran. “Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina. Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut.

Nabi Musa as. menyadari, orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sembahyang itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya. Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman didadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya. (Di dalam Kitab Irsyadul 'Ibad Ilasabilirrosyad - Asy Syaikh Zinuddin Al Maribariy dan Didalam buku 30 kisah teladan - KH . Abdurrahman Arroisy)


رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Rabbij'alnii muqimash shalaati wa min dzurriyyatii, rabbanaa wa taqabbal du'a.

Artinya : Ya Allah Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang mendirikan shalat. Ya Tuhanku perkenankanlah do'aku.

Instagram : https://instagram.com/shulfialaydrus
Twitter : https://twitter.com/shulfialaydrus dan https://twitter.com/shulfi
Telegram : https://telegram.me/shulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa'aadah : https://telegram.me/habibshulfialaydrus
Pin BBM : 5F7E41C7
Pin BBM Channel Majelis Ta’lim Nuurus Sa’aadah : C003BF865
LINE ID : shulfialaydrus dan habibmshulfialaydrus
Facebook : https://fb.me/habibshulfialaydrus
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/
                            
Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.

Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus.

محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس