Senin, 21 Desember 2015
Kamis, 10 Desember 2015
Manfaat Dan Pentingnya Shalat Dhuha.
Manfaat Dan Pentingnya
Shalat Dhuha.
حَدَّثَنَا
مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ
الْجُرَيْرِيُّ هُوَ ابْنُ فَرُّوخَ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا
أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
Telah menceritakan kepada
kami Muslim bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Syu'bah telah
menceritakan kepada kami 'Abbas Al Jurairiy dia adalah anak dari Farrukh dari
Abu 'Utsman An-Nahdiy dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata:
"Kekasihku (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) telah berwasiat
kepadaku dengan tiga perkara yang tidak akan pernah aku tinggalkan hingga aku
meninggal dunia, yaitu shaum tiga hari pada setiap bulan, shalat Dhuha dan
tidur dengan shalat witir terlebih dahulu". (HR. Bukhori No.1107, Muslim
No.1182, At Tirmidzi No.691, An Nasa’I No.2392, Ahmad No.10078, dan Abudaud
No.1220)
و حَدَّثَنِي
يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ
سَعِيدٍ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ أَنَّ مُعَاذَةَ الْعَدَوِيَّةَ حَدَّثَتْهُمْ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَابْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُعَاذِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ
حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ
Dan telah menceritakan
kepadaku Yahya bin Habib Al Haritsi telah menceritakan kepada kami Khalid bin
Al Harits dari Said, telah menceritakan kepada kami Qatadah, bahwa Ma'adzah Al
'Adawiyah menceritakan kepada mereka dari 'Aisyah katanya; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan shalat dhuha sebanyak empat
rakaat, dan terkadang beliau menambah sekehendak Allah." Telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Ibnu Basyar, semuanya dari
Mu'adz bin Hisyam katanya; telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Qatadah
dengan sanad seperti ini. (HR. Muslim No.1176, Ibnumajah No.1371, dan Ahmad
No.23497)
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ
وَهُوَ ابْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى
بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدُّؤَلِيِّ
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ
تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ
وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ
الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ
الضُّحَى
Telah menceritakan kepada
kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba`i telah menceritakan kepada kami
Mahdi yaitu Ibnu Maimun telah menceritakan kepada kami Washil mantan budak Abu
'Uyainah dari Yahya bin 'Uqail dari Yahya bin Ya'mar dari Abul Aswad Ad Du`ali
dari Abu Dzarr dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
"Setiap pagi dari persendian masing-masing kalian ada sedekahnya, setiap
tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah
sedekah, setiap takbir sedekah, setiap amar ma'ruf nahyi mungkar sedekah, dan
semuanya itu tercukupi dengan dua rakaat dhuha." (HR. Muslim No.1181,
Abudaud No.1093, dan Ahmad No.20501)
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
أَبِي لَيْلَى يَقُولُ مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ فَإِنَّهَا
قَالَتْ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا
يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ فَلَمْ أَرَ
صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ
Telah menceritakan kepada
kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Amru bin Murrah Aku
mendengar 'Abdurrahman bin Abu Laila berkata: Tidak ada dari orang yang pernah
menceritakan kepada kita bahwa dia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
melaksanakan shalat Dhuha kecuali Ummu Hani' yang dia menceritakan bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam pernah memasuki rumahnya pada saat penaklukan
Makkah, kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mandi lalu shalat delapan
raka'at" seraya menjelaskan: "Aku belum pernah sekalipun melihat
Beliau melaksanakan shalat yang lebih ringan dari pada saat itu, namun Beliau
tetap menyempurnakan ruku' dan sujudnya". (HR. Bukhori N0.1105, At Tirmidzi
No.436, Ahmad No.25666)
و
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ
وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ الْقَاسِمِ الشَّيْبَانِيِّ أَنَّ
زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنْ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا
لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ
حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Dan telah menceritakan
kepada kami Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair keduanya berkata; telah
menceritakan kepada kami Ismail yaitu Ibnu 'Ulayyah dari Ayyub dari Al Qasim
Asy Syaibani bahwa Zaid bin Arqam pernah melihat suatu kaum yang tengah
mengerjakan shalat dluha, lalu dia berkata; "Tidakkah mereka tahu bahwa
shalat diluar waktu ini lebih utama? sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Shalat awwabin (orang yang bertaubat) dikerjakan
ketika anak unta mulai beranjak karena kepanasan." (HR. Muslim No.1237,
Ahmad No.18470, 18514, 18540, dan Ad Darimi No.1421)
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا النَّهَّاسُ بْنُ قَهْمٍ الصُّبَحِيُّ عَنْ شَدَّادٍ
أَبِي عَمَّارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَافَظَ عَلَى شُفْعَةِ الضُّحَى غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ
وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Telah menceritakan kepada
kami Waki' berkata; telah menceritakan kepada kami An Nahas bin Qahm Ash
Shubahi dari Syaddad Abu 'Ammar dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa menjaga shalat dhuha
maka dosa-dosanya akan diampuni walaupun seperti buih dilautan." (HR.
Ahmad No.9339 dan At Tirmidzi No.438)
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ السِّمْنَانِيُّ
حَدَّثَنَا أَبُو مُسْهِرٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ بَحِيرِ
بْنِ سَعْدٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِي
الدَّرْدَاءِ أَوْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي مِنْ
أَوَّلِ النَّهَارِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ آخِرَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far As
Samnani telah menceritakan kepada kami Abu Mushir telah menceritakan kepada
kami Isma'il bin 'Ayyasy dari Bahir bin Sa'd dari Khalid bin Ma'dan dari Jubair
bin Nufair dari Abu Darda' atau Abu Dzar dari Rasulullah Shallahu 'alaihi wa
sallam dari Allah Azza Wa Jalla, Dia berfirman: "Wahai anak Adam, ruku'lah
kamu kepadaku dipermulaan siang (shalat dhuha) sebanyak empat raka'at , niscaya
Aku akan memenuhi kebutuhanmu di akhir siang." Abu Isa berkata, ini adalah
hadits hasan gharib. (HR. At Tirmidzi No.437, Ad Darimi No.1415)
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ
مُرَّةَ أَبِي شَجَرَةَ عَنْ نُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
يَا ابْنَ آدَمَ لَا تُعْجِزْنِي مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فِي أَوَّلِ نَهَارِكَ
أَكْفِكَ آخِرَهُ
Telah menceritakan kepada kami Daud bin
Rusyaid telah menceritakan kepada kami Al Walid dari Sa'id bin Abdul Aziz dari
Makhul dari Katsir bin Murrah Abu Syajarah dari Nu'aim bin Hammar dia berkata;
saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah
'azza wajalla berfirman; Wahai anak Adam, janganlah kamu meninggalkan-Ku
(karena tidak mengerjakan) empat raka'at pada permulaan siang (dhuha), niscaya
aku akan mencukupi kebutuhanmu di sore hari." (HR. Ahmad No.1097, 16749,
17126, 21431, 21433)
وقال صلى الله
عليه وسلم: {مَنْ صَلَّى الضُّحَى ثِنَتيْ عَشرةَ رَكْعَةً إيمانا واحْتِسَابا
كَتَبَ الله لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ
ورَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ وَبَنى الله لَهُ بَيْتا في الجَنَّةِ
وَغَفَرَ الله لَهُ ذُنُوبَه كُلَّها
Nabi Muhammad saww. bersabda : “Barangsiapa
mengerjakan shalat dhuha sebanyak duabelas roka’at dengan iman dan mengharapkan
pahala, maka Allah Ta’ala menetapkan baginya sejuta kebaikan, menghapus
daripadanya sejuta kejelekan, mengangkat baginay sejuta derajat, dan Allah
membangunkan baginya sebuah rumah disurga dan Allah mengampuni dosa-dosa orang
itu seluruhnya.”. (Kitab Lubabul Hadits)
وروى زيد بن أسلم عن ابن عمر رضي اللَّه تعالى
عنهما قال: قلت لأبي ذر الغفاري رضي اللَّه تعالى عنه أوصني يا عم؟ قال: سألت رسول
اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم كما سألتني فقال: من صلى الضحى ركعتين لم يكتب من الغافلين،
ومن صلاها أربعاً كتب من العابدين، ومن صلاها ستاً لم يتبعه يومئذ ذنب، ومن صلاها
ثمانياً كتب من القانتين، ومن صلاها اثنتي عشرة ركعة بنى له بيت في الجنة
Zaid bin Aslam dari Umar ra. Berkata kepada
Abu Dzar: Nasehatilah aku hai ammi. Abu Dzar ra. Berkata : Saya telah meminta
kepada Nabi saww. apa yang anda minta ini, maka Nabi saww. bersabda :
“Barangsiapa yang shalat dhuha dua roka’at tidak tercatat pada golongan
orang-orang yang lupa/lalai, dan barangsiapa yang shalat dhuha empat roka’at
termasuk orang abid (ahli ibadah), dan barangsiapa shalat dhuha enam roka’at
tidak terkena dosa pada hari itu, dan barangsiapa yang sembahyang dhuha delapan
roka’at dibangunkan untuknya rumah didalam surga.”. (Kitab Tanbihul Ghafilin
dan Kitab Tanqihul Qaul)
وأبو الشيخ عن أنس: رَكْعَتَانِ مِنَ الضُّحَى
تَعْدِلانِ عِنْدَ الله بِحُجَّةٍ وَعُمْرَةٍ مُتَقَبَّلَتَيْنِ
Dalam riwayat Abusy-Syaikh
dari Anas ra. berkata : "Rok'atani minadh-dhuha ta'dilani indallahi
bihajjatin wa umrotin mutqobbilataini. Artinya : Dua roka'at sunnat dhuha
menyamai disisi Allah dengan haji dan umroh yang diterima keduanya.".
(Kitab Irsyadul 'Ibad Ilasabilirrosyad)
والطبراني عن أبي هريرة: إنَّ في الجَنَّةِ
باباً يقال له الضُّحى، فإذا كانَ يَوْمَ القِيَامَةِ نَادَى منادٍ: أيْنَ
الَّذِينَ كانوا يُدِيمُونَ عَلَى صَلاةِ الضُّحَى هذا بَابُكُمْ فَادْخُلُوهُ
بِرَحْمَةِ الله
Abuhurairah ra. berkata Nabi
Muhammad saww. bersabda : "Inna fil-jannati baaban yuqoolu lahu
adh-adhuhaa faidzaa kaana yaumul-qiyaamati naadaa munaadin ainal-ladziina
kaanuu yudiimuuna 'alaa sholaatidh-dhuhaa hadzaa baabukum faad khuluuhu
birohmatillaahi. Artinya : Sesungguhnya di sorga ada pintu yang bernama
Adh-dhuha, maka bila hari qiamat ada seruan : Manakah orang-orang yang selalu
mengerjakan sholat dhuha inilah pintumu maka masuklah dari padanya dengan
rahmat Allah.". (HR. Ath-Thabarani, di Kitab Irsyadul 'Ibad
Ilasabilirrosyad dan Tanbihul Ghafilin)
وسمويه عن سعد: مَنْ سَبَّحَ سَبْحَةَ الضُّحَى
حَوْلاً محولاً كُتِبَ لَهُ بَراءةٌ مِنَ النَّارِ
Samwaih meriwayatkan dari
Sa'ad ra. berkata : "Man sabbaha subhatadh-dhuha haulan muhawwalan kutiba
lahu baro'atun minannaar. Artinya : Siapa yang tetap menjalankan sholat dhuha
hingga setahun penuh, maka dicatat baginya bebas dari api neraka.". (Kitab
Irsyadul 'Ibad Ilasabilirrosyad)
والديلمي عن عبد الله بن جراد: المُنَافِقُ لا
يُصَلّي صَلاةَ الضُّحَى وَلا يَقْرَأُ قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ
Abdullah bin Jarod berkata : "Al-Munafiqu laa yusholli sholatadh-dhuhawa laa yaqro' qul ya ayyuhal kafirun. Artinya : Orang munafiq tidak sembahyang dhuha dan tidak membaca qul ya ayyuhal kafirun.". (Kitab Irsyadul 'Ibad Ilasabilirrosyad)
Abdullah bin Jarod berkata : "Al-Munafiqu laa yusholli sholatadh-dhuhawa laa yaqro' qul ya ayyuhal kafirun. Artinya : Orang munafiq tidak sembahyang dhuha dan tidak membaca qul ya ayyuhal kafirun.". (Kitab Irsyadul 'Ibad Ilasabilirrosyad)
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ
مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
إِسْحَقَ قَالَ حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ فُلَانِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عَمِّهِ
ثُمَامَةَ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الضُّحَى ثِنْتَيْ
عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ قَصْرًا مِنْ ذَهَبٍ فِي الْجَنَّةِ قَالَ
وَفِي الْبَاب عَنْ أُمِّ هَانِئٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَنُعَيْمِ بْنِ هَمَّارٍ
وَأَبِي ذَرٍّ وَعَائِشَةَ وَأَبِي أُمَامَةَ وَعُتْبَةَ بْنِ عَبْدٍ السُّلَمِيِّ
وَابْنِ أَبِي أَوْفَى وَأَبِي سَعِيدٍ وَزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ وَابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ
هَذَا الْوَجْهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al Ala' telah
menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair dari Muhammad bin Ishaq dia berkata,
telah menceritakan kepadaku Musa bin Fulan bin Anas dari pamannya yaitu
Tsumamah bin Anas bin Malik dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah
Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang melaksanakan shalat
dhuha dua belas raka'at, niscaya Allah akan membuatkan baginya sebuah istana
dari emas di syurga." (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat
-pent) dari Ummu Hani', Abu Hurairah, Nu'aim bin Hammar, Abu Dzar, 'Aisyah, Abu
Umamah, Utbah bin 'Abd As Sulami, Ibnu Abu Aufa, Abu Sa'id, Zaid bin Arqam dan
Ibnu Abbas. Abu Isa berkata, hadits Anas adalah hadits gharib, kami tidak
mengetahuinya kecuali dari jalur ini. (HR. At Tirmidzi No.435, dan Ibnumajah
No.1370)
وابن حبان عن عقبة بن عامر: صَلُّوا رَكْعَتَيْ
الضُّحَى بِسُورَتَيْهِمَا وَالشَّمْسُ وضُحَاهَا والضُّحَى
Uqbah bin Aamir ra. berkata,
Nabi Muhammad saww. bersabda : "Shollu rok'atain adh-dhuha bisurotaihima,
wasy-syamsi wadhuhaha wadh-dhuha. Artinya : Sembahyang dua roka'at dhuha itu
dengan membaca surat Wasy-syamsi wadhuhaha dan surat Wadhuha.". (HR. Ibnu
Hibban)
وورد في حديث رواه العقيلي: كان رسول الله يقرأ
فيهما: قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ الله أَحَدٌ
Dan dalam riwayat Al-Uqoili
: "Kaana Saww. yaqro'u fihima qul ya ayyuhal Kafirun, wa qul huwallahu
ahad. Artinya : Adanya Nabi Saww. membaca dalam sembahyang dhuha Qul ya ayyuhal
kafirun dan Qul huwallahu ahad.". (Kitab Irsyadul 'Ibad Ilasabilirrosyad)
وورد
بعد الضحى: رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الغَفُورُ
مائة مرة
Dan
ada hadits yang menerangkan sesudah shalat dhuha membaca Robbighfirlii watub
‘alayya innaka antat tawaabul ghofuuru (Ya Tuhan ampunilah dosaku dan terimalah
tobatku sesungguhnya Engkau yang menerima taubat dan Maha Pengampun) seratus
(100) kali. (Kitab
Irsyadul 'Ibad Ilasabilirrosyad)
اللهم إن الضحى ضحاؤك ، والبها بهاؤك ،
والجمال جمالك ، والقوة قوتك ، والقدرة قدرتك ، والعصمة عصمتك ، اللهم إن كان رزقي
في السماء فأنزله ، وإن كان في الأرض فأخرجه ، وإن كان معسرا فيسره ، وإن كان
حراما فطهره ، وإن كان بعيدا فقربه ، بحق ضحائك وبهائك وجمالك وقوتك وقدرتك ، آتني
ما آتيت عبادك الصالحين
ALLAAHUMMA INNADH-DHUHAA ‘A DHUHAA ‘UKA WAL BAHAA ‘A BAHAA ‘UKA WAL JAMAALA JAMAALUKA
WAL QUWWATA QUWWATUKA WALQUDRATA QUDRATUKA WAL ‘ISHMATA ‘ISHMATUKA. ALLAAHUMMA
IN KAANA RIZQII FIS-SAMAA ‘I FA ANZILHU WA IN KAANA FIL ARDI FA AKHRIJHU WA IN KAANA MU’ASSARAN FAYASSIRHU WA IN KAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU WA IN KAANA
BA’IIDAN FA QARRIBHU, BIHAQQI DHUHAA ‘IKA, WA BAHAA ‘IKA, WAJAMAALIKA, WA
QUWWATIKA, WA QUDRATIKA. AATINII MAA ‘ATAITA ‘IBAADAKASH-SHAALIHIIN.
Artinya : Ya Allah, bahwasannya waktu dhuha itu adalah
waktuMU, dan keagungan itu adalah keagunganMU, dan keindahan itu
adalah keindahanMU, dan kekuatan itu adalah kekuatanMU, dan perlindungan itu
adalah perlindunganMU, Ya Allah, jika rizkiku masih ! di atas langit, maka
turunkanlah, jika masih di dalam bumi, maka keluarkanlah, jika masih sukar,
maka mudahkanlah, jika (ternyata) haram, maka sucikanlah, jika masih jauh,
maka dekatkanlah, Berkat waktu dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan
kekuasaanMU, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan
kepada hamba-hambaMU yang sholeh.
Wahai orang-orang yang mencintai Allah dan RasulNya kerjakanlah sholat dhuha setiap hari walaupun hanya dua roka'at karena ditubuh kita tiap harinya ada ruas-ruas yang harus dikeluarkan sedekahnya (lihat hadist diatas) dengan mengerjakan dua roka'at dhuha itulah yang menjadi penebus sedekah tiap-tiap ruas tubuh kita, dan sedapat mungkin kita mengqodho sholat dhuha kita yang lalu-lalu dengan mengerjakan sholat dhuha lebih dari dua roka'at dalam tiap harinya, agar kita dapat memenuhi sodaqoh ruas-ruas pada tubuh kita dari aqil baliq hingga sampai saat ini.
Wallahu a'lam bishawab..
Dikutip dari :
* Kitab Hadits Kutubu Tis’ah.
* Riyadhus Shalihin => Al Imam An Nawawi.
* Irsyadul
'Ibad Ilasabilirrosyad => Asy Syaikh
Zinuddin Al Maribariy.
* An Nashaaih Ad Diniyah wal
washaaya Al Imaaniyah => Al Imam Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad.
* Risalatul Mu’awanah =>
Al Imam Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad.
* Tanbihul Ghafilin => Al
Imam Abul Laits As Samarqandi.
* Lubabul Hadits => Al
Imam Al Hafidz Jalaluddin Abdurrahman bin Abii Bakar As Suyuthi.
* Tanqihul Qaul => Asy
Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al Bantani.
Penulis : Muhammad
Shulfi bin Abunawar Al ‘Aydrus.
محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس
محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس
Kamis, 03 Desember 2015
Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu.
Adab Bertamu dan
Memuliakan Tamu.
Pembaca
muslim yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, seorang muslim yang beriman kepada
Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan
menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ
وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang
siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan
tamunya.” (HR. Bukhari)
Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.
Adab
Bagi Tuan Rumah.
1.
Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa,
bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ
طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah
engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan
makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2.
Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang
miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى
لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
“Sejelek-jelek
makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan
orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3.
Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
4.
Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan
Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau
bersabda,
مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا
غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
“Selamat
datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR.
Bukhari)
5.
Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja.
Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang
terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam bersama tamu-tamunya:
فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ
سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan
Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian
ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil
berkata: ‘Tidakkah kalian makan?'” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
6.
Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga,
tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau
diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam
menjamu tamu.
7.
Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan
kepada sesama muslim.
8.
Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini
dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
9.
Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana
sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ
كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang
siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati
yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab
Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang
lebih tua.
10.
Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
11.
Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka
berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum
mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka
datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
12.
Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut
kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,
فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ
“Kemudian
Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)
13.
Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan
penghormatan bagi mereka.
14.
Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya
dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah
yang ceria dan berseri-seri.
15.
Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
الضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ
يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ
حَتَّى يُؤْثِمَهُ قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ
:يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu
tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi
seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabatberkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya
sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
16.
Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.
عن أبى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و
سلم : إنَّ مِنَ السُـنَّـةِ أنْ يَخْرُجَ الرَجُلُ مَعَ ضَيْـفِهِ إلى بَابِ الدَارِ
Dari
Abi Huroiroh ra., dia berkata Rosulullahi saw bersabda,: “Sesungguhnya termasuk bagian dari sunnah adalah jika
seseorang mengantarkan tamunya sampai di pintu rumah”. (HR. Ibnu Majah)
Adab
Bagi Tamu.
1.
Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada
udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ
“Barangsiapa
yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ
وَرَسُوْلَهُ
“Barang
siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)
Untuk
menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:
* Orang
yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
* Tidak
ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
* Orang
yang mengundang adalah muslim.
* Penghasilan
orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada
sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya
berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang
diundang.
* Tidak
menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
* Tidak
ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
2.
Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya
ataupun orang yang miskin.
3.
Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim.
Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa,
إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى
“Semua
amal tergantung niatnya, dan akan diganjar dengan apa yang diniatkannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
4. Minta Izin Maksimal Tiga Kali.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita, bahwa batasan
untuk meminta izin untuk bertamu adalah tiga kali. Sebagaimana dalam sabdanya,
عن أبى موسى الاشعريّ رضي الله عمه قال: قال رسول الله صلّى
الله عليه و سلم: الاستئذانُ ثلاثٌ، فان أذن لك و الاّ فارجع
Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiallahu’anhu, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Minta izin masuk rumah itu
tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka
pulanglah!'” (HR.
Bukhari dan Muslim)
5. Untuk Mengucapkan Salam dan Minta Izin Masuk.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا
غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَّكَّرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nuur [24]: 27)
Sebagaimana juga terdapat dalam hadits dari Dari
Kildah bin Hanbal radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
دخلت عليه ولم أسلم فقال النبي صلى الله عليه وسلم : "ارجع !". فقال
: السلام عليكم أأدخل ؟
”Aku
mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu aku masuk ke rumahnya tanpa
mengucapkan salam. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Keluar
dan ulangi lagi dengan mengucapkan Assalamu’alaikum, boleh aku masuk?” (HR. Abu
Dawud dan Tirmidzi, dan ia – yaitu Tirmidzi – berkata : Hadits hasan).
Dalam hal ini (memberi salam dan minta izin),
sesuai dengan poin ke empat, maka batasannya adalah tiga kali. Maksudnya
adalah, jika kita telah memberi salam tiga kali namun tidak ada jawaban atau
tidak diizinkan, maka itu berarti kita harus menunda kunjungan kita kali itu.
Adapun ketika salam kita telah dijawab, bukan berarti kita dapat membuka pintu
kemudian masuk begitu saja atau jika pintu telah terbuka, bukan berarti kita
dapat langsung masuk. Mintalah izin untuk masuk dan tunggulah izin dari sang
pemilik rumah untuk memasuki rumahnya. Hal ini disebabkan, sangat dimungkinkan
jika seseorang langsung masuk, maka ‘aib atau hal yang tidak diinginkan untuk
dilihat belum sempat ditutupi oleh sang pemilik rumah. Sebagaimana diriwayatkan
dari Sahal ibn Sa’ad radhiallahu’anhu bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِنّما جُعل الاستئذان من أجل البصر
“Sesungguhnya disyari’atkan minta izin adalah karena untuk
menjaga pandangan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
6. Ketukan
Yang Tidak Mengganggu.
Sering kali ketukan yang diberikan seorang tamu berlebihan
sehingga mengganggu pemilik rumah. Baik karena kerasnya atau cara mengetuknya.
Maka, hendaknya ketukan itu adalah ketukan yang sekedarnya dan bukan ketukan
yang mengganggu seperti ketukan keras yang mungkin mengagetkan atau sengaja
ditujukan untuk membangunkan pemilik rumah. Sebagaimana diceritakan oleh Anas
bin Malik radhiallahu’anhu,
إن
أبواب النبي صلى الله عليه وسلم كانت تقرع بالأظافير
“Kami
di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetuk pintu dengan kuku-kuku.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod bab Mengetuk Pintu)
7. Posisi
Berdiri Tidak Menghadap Pintu Masuk.
Hendaknya posisi berdiri tamu tidak di depan pintu dan menghadap
ke dalam ruangan. Poin ini juga berkaitan hak sang pemilik rumah untuk
mempersiapkan dirinya dan rumahnya dalam menerima tamu. Sehingga dalam posisi
demikian, apa yang ada di dalam rumah tidak langsung terlihat oleh tamu sebelum
diizinkan oleh pemilik rumah. Sebagaimana amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Bisyr ia berkata,
كان
رسول الله إذا أتى باب قوم لم يستقبل الباب من تلقاء و جهه و لكن ركنها الأيمن أو
الأيسر و يقول السلام عليكم السلام عليكم
“Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendatangi pintu suatu kaum,
beliau tidak menghadapkan wajahnya di depan pintu, tetapi berada di sebelah
kanan atau kirinya dan mengucapkan assalamu’alaikum… assalamu’alaikum…” (HR. Abu Dawud)
8. Tidak
Mengintip.
Mengintip ke dalam rumah sering terjadi ketika seseorang
penasaran apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencela perbuatan ini dan
memberi ancaman kepada para pengintip, sebagaimana dalam sabdanya,
لو
أنّ امرأ اطلع عليك بغير إذن فخذفته بحصاة ففقأت عينه لم يكن عليك جناح
“Andaikan
ada orang melihatmu di rumah tanpa izin, engkau melemparnya dengan batu kecil
lalu kamu cungkil matanya, maka tidak ada dosa bagimu.” (HR. Bukhari Kitabul Isti’dzan)
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِك أَنَّ رَجُلًا اطَّلَعَ مِنْ بَعْضِ حُجَرِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِمِشْقَصٍ أَوْ بِمَشَاقِصَ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَخْتِلُ
الرَّجُلَ لِيَطْعُنَهُ
“Dari
Anas bin Malik radhiallahu’anhu sesungguhnya ada seorang laki-laki mengintip
sebagian kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu nabi berdiri menuju
kepadanya dengan membawa anak panah yang lebar atau beberapa anak panah yang
lebar, dan seakan-akan aku melihat beliau menanti peluang ntuk menusuk orang
itu.” (HR. Bukhari Kitabul Isti’dzan)
9.
Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai
memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal
ini sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَـعَامٍ
غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا فَإِذَا
طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ إَنَّ ذلِكُمْ
كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ يَسْتَحِي مِنَ
اْلحَقِّ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila
kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya!
Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah
kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan
mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah
tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)
10. Pulang
Kembali Jika Disuruh Pulang.
Kita harus menunda kunjungan atau dengan kata lain pulang
kembali ketika setelah tiga kali salam tidak di jawab atau pemilik rumah
menyuruh kita untuk pulang kembali. Sehingga jika seorang tamu disuruh pulang,
hendaknya ia tidak tersinggung atau merasa dilecehkan karena hal ini termasuk
adab yang penuh hikmah dalam syari’at Islam. Di antara hikmahnya adalah hal ini
demi menjaga hak-hak pemilik rumah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَإِنْ
لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ
قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika
kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum
kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: Kembali (saja)lah, maka
hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. An-Nuur [24]: 28)
Makna ayat tersebut disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, “Mengapa demikian? Karena meminta izin
sebelum masuk rumah itu berkenaan dengan penggunaan hak orang lain. Oleh karena
itu, tuan rumah berhak menerima atau menolak tamu.” Syaikh Abdur Rahman bin Nasir As Sa’di
dalam Tafsir Al Karimur Rahman menambahkan, “Jika kamu di suruh kembali, maka kembalilah. Jangan memaksa ingin
masuk, dan jangan marah. Karena tuan rumah bukan menolak hak yang wajib bagimu
wahai tamu, tetapi dia ingin berbuat kebaikan. Terserah dia, karena itu haknya
mengizinkan masuk atau tidak. Jangan ada perasaan dan tuduhan bahwa tuan rumah
ini angkuh dan sombong sekali.” Oleh
karena itu, kelanjutan makna ayat “Kembali itu lebih bersih bagimu. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Artinya supaya hendaknya seorang tamu
tidak berburuk sangka atau sakit hati kepada tuan rumah jika tidak diizinkan
masuk, karena Allah-lah yang Maha Tahu kemaslahatan hamba-Nya.
11. Menjawab
Dengan Nama Jelas Jika Pemilik Rumah Bertanya “Siapa?”
Terkadang pemilik rumah ingin mengetahui dari dalam rumah
siapakah tamu yang datang sehingga bertanya, “Siapa?” Maka hendaknya seorang
tamu tidak menjawab dengan “saya” atau “aku” atau yang semacamnya, tetapi
sebutkan nama dengan jelas. Sebagaimana terdapat dalam riwayat dari Jabir radhiallahu’anhu, dia berkata,
أَتَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دَيْنٍ كَانَ عَلَى أَبِي
فَدَقَقْتُ الْبَابَ فَقَالَ مَنْ ذَا فَقُلْتُ أَنَا فَقَالَ أَنَا أَنَا
كَأَنَّهُ كَرِهَهَا
“Aku
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku mengetuk pintu,
lalu beliau bertanya, ‘Siapa?’ Maka Aku menjawab, ‘Saya.’ Lalu beliau bertanya,
‘Saya, saya?’ Sepertinya beliau tidak suka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
12.
Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri
undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri
undangan, sebagaimana sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ
كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
“Jika
salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa,
doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)
13.
Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke
arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah
disediakan.
14.
Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak
melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
15.
Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan
rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu
selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)
16.
Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini
dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya
kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
17.
Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta
izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu:
كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ يُقَالُ لُهُ
أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ اِصْنَعْ لِي طَعَامًا
اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا
رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ
رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ
دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ
لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ
“Ada
seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia
mempunyai seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan
aku makanan yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada
seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini mengikuti kami.
Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan
meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”” (HR.
Bukhari)
18.
Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah
selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ
طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ
“Orang-orang
yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah memakan
makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud)
اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي,
وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي
“Ya
Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku
dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR.
Muslim)
اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ
وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya
Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki
mereka.” (HR. Muslim)
19.
Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada,
memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan
rumah.
Itulah beberapa adab-adab bertamu dan menerima tamu yang perlu diperhatikan.
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al
‘Aydrus.
محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس
محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس
Langganan:
Postingan (Atom)